Selain mendapatkan perhatian dari Mas Gama, hal menyenangkan lainnya setelah kami resmi berpacaran adalah semua makanku ditanggung olehnya. Maksudku bukan berarti biaya hidupku ditanggung oleh dia, tetapi setiap kali kami bertemu dia pasti akan menawarkan untuk membelikan makanan atau membuatkan ku makan. Dan tentu saja, ini adalah hal yang sangat menyenangkan untuk seorang Olivia Aditama yang memang hobi makan.
Selain itu, hal lain yang tak kalah membuatku merasa amat bersyukur adalah karena perlakuannya. Mas Gama benar-benar tahu bagaimana harus memperlakukan perempuan dengan baik. Meski tidak banyak berbicara, setiap tindakannya benar-benar jauh dari ekspektasi. Dia adalah laki-laki dengan love language act of service dengan prinsip yang menyertainya adalah talk less do more. Dan efeknya, semua yang dia lakukan selalu berhasil membuatku melting.
"Masih kurang bagian apa?" dia meletakkan segelas orange jus di depan ku, lalu duduk di sebelahku yang sedang sibuk dengan laptop di pangkuan.
Mas Gama melirik ke arah layar yang sedang menampilkan bab pembahasan. Matanya memicing, sepertinya berusaha melihat apa yang tertulis di layar.
Menyadari ketertarikannya dengan apa yang aku lakukan, aku sedikit menggeser posisi macbook ku. Memberikan ruang padanya agar bisa melihat lebih jelas. "Target kamu lulus kapan?" tanyanya tidak terduga.
"Pengennya akhir bulan ini bisa daftar sidang sih, Mas. Jadi bisa ikut wisuda periode berikutnya," jelasku sembari merebahkan diri di bahunya.
Fun fact setelah kami berpacaran, aku menyadari bahwa aku adalah perempuan yang cukup manja, dan mungkin juga nakal karena sering menggoda. Aku tidak tahu kenapa ingin terus berdekatan dengannya. Entah karena love language ku adalah physical touch, atau memang sedang di fase bahagia saja karena akhirnya memiliki bahu yang legal untuk bersandar.
"Masih kurang banyak?" setelah mengangguk untuk merespon pertanyaanku, dia kembali bertanya. Tangannya mengusap pelan bahu kiriku, membuatku enggan melanjutkan mengerjakan skripsi dan justru ingin berlama-lama quality time saja dengannya. Apa sekarang gue udah jadi cegil ya?
"Ini tinggal pembahasan yang terakhir. Abis itu bikin simpulan dan saran."
"Ya udah dilanjut,"
Bibirku mengerucut, "Cape."
"Butuh moodboster," lanjutku. Menambahkan sedikit kode agar dia memberikan sesuatu.
"Nanti kalau udah selesai, kita movie date."
Senyumku mengembang mendengarnya. Dia selalu tahu bagaimana membuatku semangat, tanpa perlu memaksa atau memberikan banyak nasehat yang membosankan. "Di mana?" tanyaku antusias.
"Di sini?" tawarnya. Pasalnya kami sudah memutuskan untuk menyembunyikan hubungan kami sementara waktu, jadi tempat paling aman yang bisa gunakan ya adalah apartemennya ini.
"Sambil cuddle gak?" sepertinya aku benar-benar sudah menjadi perempuan gila. Jika sampai orang tuaku tahu bagaimana kelakuan anak gadisnya ini, bisa-bisa aku akan dicoret dari kartu keluarga.
Mas Gama kelihatan kaget, "Siapa yang ngajarin?"
Aku meringis. "Bercanda, Mas."
Sebenarnya serius, tapi aku takut khilaf. Aku juga sadar bahwa Mas Gama adalah laki-laki dewasa, jadi aku harus selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Bukannya tidak percaya, hanya sebagai tindakan preventif semata.
Mas Gama mengelus pelan rambutku, "Udah-udah, lanjut aja. Mas mau ambil tab dulu, mau nemenin kamu kerja." Lanjutnya sembari berdiri lalu masuk ke ruangan yang menjadi ruang kerjanya. Mengambil peralatan kerjanya agar kami bisa menjalani productive relationship. Aku mengerjakan skripsi, sementara dia mengerjakan sisa pekerjaannya yang belum selesai.
***
"Ini rencana pengembangan wisata yang di Bali itu bukan sih, Mas?" tanyaku setelah melirik apa yang sedang dia baca. Otakku sudah mengebul karena menulis skripsi, jadi sedikit mencari hiburan dengan mengintip apa yang dia lakukan.
"Iya," Mas Gama mengeser tabnya untuk memberikan akses yang lebih besar padaku. Persis seperti apa yang aku lakukan ketika dia melirik progres pengerjaan skripsiku tadi.
"Kalau tujuannya meningkatkan kesejahteraan, baiknya identifikasi masalahnya dari perspektif masyarakatnya gak sih?" aku mengutarakan apa yang ada dipikiran. Pasalnya di rencana pengembangan yang ada di depan kami, identifikasi masalahnya masih menggunakan POV pemerintah, which means bisa saja salah atau mis karena tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Mas Gama terlihat tertarik dengan komentar yang aku ajukan. "Maksud kamu ini nggak sesuai?"
Aku menggeleng. "Nggak salah sih, Mas. Tapi menurut aku bisa lebih baik kalo kita juga lihat dari perspektif yang lain."
Aku menunjuk ke sisi kanan atas layar, "Di sini kan masalahnya karena kemiskinan, jadi fokus pengembangannya cuma meningkatkan pendapatan. Padahal di sini, ada pernyataan kalau masyarakat merasa baik-baik saja dengan kehidupannya yang sekarang."
"Jadi harusnya ada survei buat tau perspektif masyarakat?"
Aku mengangguk. "Kalau tujuannya untuk kebaikan mereka, harusnya ada survei buat identifikasi masalah dan keinginan mereka kaya gimana juga. Biar lebih tepat sasaran." Aku tidak tau apa yang aku katakan ini benar atau tidak, hanya saja dari apa yang aku pelajari dari salah satu mata kuliah, pengembangan wisata berbasis ekonomi lokal juga harus memperhatikan benar partisipasi dari masyarakat yang bersangkutan. Sebagai outsider, pengembang sebenarnya hanya bertugas membantu dan melakukan penyadaran kritis, bukan menentukan. Biarkan masyarakat lokal menyadari apa yang menjadi masalah mereka, dan bagaimana kondisi yang nantinya ingin mereka capai. Hal ini agar pembangunan bisa sustain karena ada sense of belonging dari mereka. Mereka juga mendapatkan benefit dari apa yang dilakukan, sehingga dalam menjalankan program juga akan lebih baik.
"Semacam sosialisasi?"
Aku mengangguk. "Bisa aja,"
"Nanti dari pemerintah ngejelasin rencana pengembangannya, terus di akhir buka ruang diskusi buat nerima saran dan masukan dari masyarakat."
Mas Gama terlihat setuju dengan apa yang aku katakan. "Kok pacar Mas pinter banget sih?" ujarnya yang langsung membuat pipiku berubah warna. Astaga, kenapa gampang banget baper sih?
Siapa yang kangen sama pasangan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...