Triple Job

11.9K 936 34
                                    

Usai menyapukan liptint, sekali lagi aku mengamati penampilanku sendiri. Memastikan bahwa pakaian yang aku kenakan sudah sopan, sebelum akhirnya mengambil tas dan berlalu keluar. Tanpa membawa kamera, sesuai instruksinya di dalam panggilan.

"Pak?" aku menemukan Pak Gama di lobi hotel. Sedang duduk dan menunduk — sepertinya sedang memeriksa dokumen dari layar tabnya yang terlihat menyala.

Jantungku dag dig dug der tidak karuan. Padahal dia hanya menatapku sekilas, tapi rasanya aku sudah begitu lemas. "Udah siap?" tanyanya sembari berdiri.

Aku mengangguk. "Ayo!"

"Pak?" Pak Gama yang sudah siap berjalan mengurungkan niat. Memandangku heran — terlihat dari kedua alisnya yang kini menyatu.

Tau akan kebingungannya, cepat-cepat aku mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku. "Mas Budi?" tanyaku pelan. Pasalnya aku tidak menemukan personal asistennya itu, yang biasanya sudah menjadi satu paket dengannya.

"Di kamar "

"Hah?" jawabku spontan.

"Kok masih di kamar, Pak?" tanyaku lagi, dengan memberanikan diri. "Kenapa belum ke sini?"

"Siapa bilang dia ikut?"

Kini aku malah yang dilanda kebingungan karena pertanyaannya. Memang benar, tidak ada yang mengatakan bahwa Mas Budi akan ikut pertemuan kali ini. Tapi bukankah asisten akan selalu ikut kemanapun atasannya pergi? bahkan Mas Aldo —  which is asistennya Bang Jeno sering kali ke rumah. Padahal itu bukan bagian dari pekerjaannya.

"Ini cuma pertemuan singkat, jadi Budi saya suruh tinggal. Nanti dia juga akan dapat banyak kerjaan, jadi biarkan dia istirahat dulu." Aku hanya mengangguk atas penjelasannya. Selain tidak tahu harus merespon bagaimana, aku juga tidak mau terlalu dianggap cerewet olehnya.

"Baik, Pak."

"Kamu bisa menyetir?"

"Bisa, Pak." Aku masih berusaha mengimbangi langkahnya yang cepat. Mungkin karena perbedaan tinggi badan di antara kami, aku cukup kesulitan untuk mengimbanginya.

Entah aku terlalu percaya diri atau tidak, dapat kurasakan bahwa langkahnya memelan. Buktinya jarak kami sudah tidak terlalu jauh, padahal aku tidak menambahkan kecepatan langkah. "Tolong kamu yang nyetir ya, saya mau istirahat sebentar di perjalanan."

Aku menerima kunci mobil dari Pak Gama. Lalu memilih diam sepanjang perjalanan menuju mobil, yang sepertinya sudah di sewa sebagai akomodasi kami selama bepergian.

Tadinya aku menduga bahwa aku benar-benar menjadi supir. Maksudku, dia (meski agak kurang sopan, sepertinya ini akan jadi kata ganti yang aku gunakan untuk Pak Gama) akan duduk di belakang dan aku akan duduk di depan sendirian. Namun Pak Gama memilih duduk di sampingku, yang efeknya malah membuatku sedikit gugup.

"Untuk alamatnya sudah saya kirimkan ke WhatsApp kamu ya. Nanti bisa pakai google map."

"Baik, Pak." Jika sedang berinteraksi dengan Pak Gama, tidak ada lagi Oliv yang hobi berbicara. Entah menghilang kemana, yang tertinggal hanya Oliv yang hanya 'iya-iya saja".

"Saya mau tidur dulu sebentar. Nanti kalau sudah sampai, tolong bangunkan." Lagi-lagi hanya iya dan anggukan kepala yang menjadi responku. Sepertinya aku sudah resmi jadi duta yes girl sehingga apapun permintaan yang dilontarkannya, akan langsung aku iyakan tanpa pikir panjang.

Aku menghela napas lega. Saat akhirnya laki-laki dewasa di sebelahku tertidur, akhirnya aku bisa mengambil napas dengan tenang.

Meski tidak ada yang salah, aku malah menahan napas. Entah kenapa aku merasa ada kecanggungan, sehingga tidak berani berbuat apapun ketika Pak Gama masih membuka matanya. Termasuk dengan bebas mengambil pasokan udara.

"Hah, jantung gue." Aku memegang dadaku menggunakan tangan kiri. Sepertinya aku butuh ke dokter, sebab sejak aku mulai bekerja detak nya sering  kali menjadi tidak wajar.

Diam-diam aku melirik ke samping kiri. Melihatnya yang menyedekapkan kedua tangan, menyandarkan punggung, dan memejamkan mata dengan tenang. Terlihat damai — dan juga sangat tampan hingga tidak sadar membuatku menarik kedua bibir ke samping. Apa tipe gue sekarang udah jadi om-om ya? pikiran nyelenehku sudah mulai berputar di dalam kepala.

***

Sudah lebih dari dua menit mobil yang kami tumpangi mendarat manis di parkiran sebuah restoran. Aku masih bingung dengan apa yang harus dilakukan, sebab Bapak Menteri yang ada di sebelahku terlihat masih nyenyak dengan tidurnya.

Ingin membangunkan kasian, tapi dibiarkan takut kami akan terlambat dalam melakukan pertemuan. Keputusan macam apa yang harusnya aku buat?

Mengambil napas panjang, lalu akhirnya memilih opsi yang pertama. Meski ini terlihat seperti pertemuan informal, aku tidak boleh mengambil keputusan bahwa ini bukan pertemuan penting. Jika Pak Gama sampai memintaku untuk mengikuti, berarti ini bukan pertemuan sembarangan kan?

"Pak?" aku mengguncang pelan tubuhnya.  Membuatnya terusik dan pelan-pelan membuka mata.

Ternyata bukan tipe yang susah dibangunin, aku berkata dalam hati. Terbiasa dengan Bang Jeno yang sangat sulit dibangunkan, tidak sadar aku jadi membandingkannya dengannya.

"Udah sampai?"

Gila, suara serak-serak khas bangun tidurnya benar-benar menggoda. Tahan, Liv, tahan!

"Iya, Pak."

Pak Gama terlihat mengumpulkan kesadaran. Memandang sekitaran, sebelum akhirnya kembali menoleh ke arahku. "Udah lama?"

Aku menggeleng. "Baru aja kok, Pak."

Pak Gama mengangguk, lalu membenarkan penampilannya dan turun. "Saya mau ke kamar mandi dulu, tolong kamu ke dalam dulu ya. Reservasi atas nama saya."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Sepertinya untuk hari ini aku tidak hanya bertugas menjadi seorang fotografer, tapi juga merangkap sebagai supir pribadi dan juga asisten.

Siapa mau kalo cerita Pak Gama tiap hari update? wkwk
Jangan lupa komen dan kasih pendapat kalian ya

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang