Lucky Me, Liv

3K 214 0
                                    

Ternyata udah terlalu banyak ya partnya
Apa kita langsung end aja ceritanya?

Menikah itu bukan hanya menyatukan dua orang, tetapi menyatukan dua keluarga. That's it. Satu kalimat yang terlalu sering aku dengar dari orang yang menasehati orang lain yang akan menikah.

No no. Bukan aku tidak setuju dengan kalimat ini, karena faktanya ini adalah kebenaran. Namun aku ingin meng highlight sedikit bahwa kalimat di atas adalah sebuah proses. Proses yang seharusnya berurutan, di mana pernikahan harus didahului oleh kompromi dua orang yang akan menanggung beban bersama, baru kemudian kedua keluarga menjadi support system di belakangnya.

Well, aku tidak membenci perjodohan. Secara personal, aku baik-baik saja dengan hal itu. Toh selagi tidak ada paksaan dari pihak manapun, sah-sah saja jika seseorang ingin menemukan jodohnya dengan bantuan orang tua atau yang lainnya. Asalkan tetap bertanggung jawab, dan tak membawa-bawa orang yang menjodohkannya ketika terjadi masalah dalam rumah tangga mereka.

Bagaimana pun cara seseorang menemukan jodohnya, orang lain tidak bisa menghakimi. Jodoh itu salah satu rahasia Tuhan, begitu juga dengan cara-cara memperolehnya. Bahkan ketika sangat plot twist sekali pun.

"Halo Oliv ..." ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian di mana aku bertemu dengan Tante Rina untuk pertama kali, yang mana pertemuan ini sengaja beliau agendakan untuk bertemu denganku. Olivia Aditama.

Aku membalas pelukan Tante Rina. Sembari tersenyum kikuk, aku berujar. "Hai Tante, apa kabar?" sejujurnya hatiku dibuat dag dig dug ser. Namun mau bagaimana lagi? aku tidak mungkin mundur dari medan perang yang perangnya bahkan belum dimulai ini.

"Terima kasih ya karena sudah mengizinkan saya bertemu Oliv," setelah melepaskan pelukan di antara kami,  aku melihat Tante Rina menoleh ke arah mama dan tersenyum. Sebuah senyum tulus sebagai ucapan terima kasih karena membiarkan beliau bertemu denganku.

"Nggak papa, itung-itung kenalan tidak resmi dulu." Aku melotot ke arah mama. Bisa-bisanya beliau ini bercanda, apalagi di depan calon mama mertua.

Aku memang penganut proses pernikahan harus diawali oleh dua orang yang saling berkomitmen ini. Namun jika ditambah dengan restu langsung dari sang ibunda pihak laki-laki, bukankah itu akan lebih menguntungkan?

Di luar sana ada banyak cerita soal kegagalan pernikahan karena campur tangan oleh mertua — khususnya ibu dari pihak laki-laki. Bukan bermaksud mendiskreditkan seseorang, aku hanya berhati-hati. Mengantisipasi segala kemungkinan agar kehidupan pasca pernikahanku tidak dipenuhi drama.

Menit per menit mulai berganti. Seolah waktu terus ingin berlalu dengan buru-buru, tanpa perlu repot menunggu. Namun sisi baiknya,  akhirnya aku juga bisa bernapas sedikit lega karena obrolan di meja kami sudah kembali normal. Bak tak pernah terjadi apa-apa. Hanya obrolan ngalor ngidul untuk mengakrabkan diri.

"Kalau boleh tau, gimana perkembangan hubungan kamu sama Gama?" aku menoleh kaget. Apalagi saat kedua tanganku dipegang oleh Tante Rina. Aduh, tanda apa ini? sebuah izin atau justru peringatan?

"Tante tau kalau saya ...." Aku menjeda kalimat yang ingin aku ucapkan. Sedikit bingung bagaimana mengatakannya. Masa langsung to the point. Tante tau kalau saya udah sering tinggal di apartemennya? bisa di geprek gak sih sama calon ibu mertua kalau begini?

Tante Rina tersenyum, lalu mengangguk. "Nggak papa, Oliv. Tante justru seneng kalau Gama udah bisa nemuin pasangan yang dia suka."

Mama tiba-tiba pamit ke kamar mandi. Aku tau bukan karena beliau ada urusan seperti membenarkan riasan, tetapi karena membiarkanku mengobrol serius bersama Tante Rina.

"Maaf Tante, karena ga ngaku kalau Oliv pacarnya Mas Gama." Aku menunduk. Takut akan mengalami penolakan dan tumpahan air seperti yang ada di film-film. Tapi itu kejadian kalau ceweknya miskin kan? tapi aku kan orang kaya. Kenapa takut?

"Nggak papa sayang. Tante justru merasa senang dan bersyukur karena bertemu dengan sosok perempuan baik seperti kamu." Dan satu kalimat yang beliau ucapkan itu mampu menciptakan suasana yang nyaman di antara kami. Pada akhirnya, juga membuat kami saling terbuka dan bercerita satu sama lain. Bukankah ini sebuah lampu hijau bahwa hubungan kami direstui?

"Gama udah cerita soal kondisi keluarganya?" Aku mengangguk.

"Nggak usah sedih ya, Tan. Ayo kita bahagia

Buat yang bingung kapan Gama cerita kondisi keluarganya, ini ada di POV Bapak ya

Selamat berpuasa

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang