Sweet

9.8K 784 33
                                    

It's better to try more than never

***

Apa gue nggak baper?

Entah kenapa, satu pertanyaan tersebut terus terngiang-ngiang di kepala. Padahal sekarang sudah hampir tengah malam, tapi otakku tetap tidak mau diistirahatkan hanya gara-gara satu pertanyaan.

"Jantung gue sekarang udah agak gak normal kayaknya,"lagi-lagi aku bergumam. Sembari memegang dada, aku menyadari bahwa ada yang aneh dari detak jantungku sendiri.

"Ini gue berlebihan apa nggak sih?"

Meski bisa dibilang perhatian, sebenarnya Pak Gama tidak pernah menghubungiku secara personal. Maksudnya jika itu bukan perkara pekerjaan, dia tak pernah menghubungiku sama sekali. Meski kelakukannya di dunia nyata berpotensi besar menimbulkan kesalahpahaman.

"Dia inget sama gue gak sih?" 

Sejujurnya, sampai saat ini aku masih sanksi dengan fakta yang satu ini. Dia tidak pernah menyinggung masalah tentang keluarga, sehingga aku tidak yakin apakah dia mengingatku sebagai anak bungsu keluarga Aditama atau tidak. Namun jika dia mengetahui dan memilih untuk tidak mengungkitnya, mungkin ini akan jadi alasan yang paling rasional mengapa dia memperlakukanku lebih baik dibandingkan anak lain. Kenyataan bahwa papa adalah seniornya, adalah hal paling mungkin kenapa dia bersikap cukup baik denganku selama ini.

Tok-tok!

Suara ketukan kamarku berhasil mengembalikanku di dunia nyata. Menghentikan pemikiran-pemikiran berat yang sedari tadi aku pikirkan, yang sebenarnya tidak terlalu baik untuk dipikirkan di waktu yang hampir tengah malam.

Memilih untuk mengambil ponsel dan melirik jam yang tertera di layarnya, dahiku mengernyit heran. Siapa yang mengetuk kamar di jam malam seperti ini?

"Gak di kunci, masuk aja." Tepat setelah aku mengatakannya, suara knop pintu yang di dorong terdengar. Terlihat sosok Bang Jeno dibaliknya, yang entah kenapa mengunjungi kamarku di jam yang tidak normal ini.

"Belum tidur, dek?"

Mataku memandangnya jengah. "Menurut lo?" bukan berarti tidak suka dengannya, hanya malas menanggapi pertanyaan retoriknya.

Jika Bang Jeno datang, biasanya dia hanya akan menjahiliku. Dan mood ku yang sedang tidak terlalu baik saat ini membuat responku cuek terhadapnya.

"Lo ada rencana nggak besok?"

"Kenapa?" tanyaku penuh selidik. Aku harus tau dulu apa yang dia inginkan, sebelum memberi jawaban agar tidak merugikan diriku sendiri. Pasalnya kali terakhir aku mengatakan 'tidak' untuk pertanyaan yang sama, berakhir dengan aku yang harus memijitnya yang katanya pegal-pegal akibat terlalu banyak pekerjaan.

Bang Jeno mendorong penuh pintu kamar dan berjalan masuk. "Ke Pulau Komodo yuk besok."

"Ngapain?"

"Ya liburan lah, mumpung weekend."

To be honest,  aku tidak akan bersikap munafik dengan tidak mengakui privillage kami yang satu ini. Terlahir sebagai anak orang  yang cukup kaya, kami memang cenderung tumbuh dalam lingkungan yang lebih mapan. Seatle secara finansial dan seringkali juga diberi akses ke sumber daya yang lebih melipah dibandingkan anak-anak dari keluarga lain, seperti bebas memilih pendidikan yang berkualitas, pengalaman wisata yang luas, dan koneksi sosial yang kuat.

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang