Setelah membenarkan posisi duduk, aku menggunakan sabuk pengaman. Menarik napas secara perlahan untuk mengurangi kegugupan, sekaligus agar tidak disadari oleh laki-laki yang duduk di sebelahku bahwa pacarnya ini sedang merasa grogi yang amat luar biasa.
"Maaf ya telat. Tadi sedikit macet."
Aku mengangguk mengiyakan. Toh sebenarnya aku juga tidak menunggu lama, jadi keterlambatannya tidak perlu diperdebatkan.
"Kamu marah?" tanyanya. Mungkin melihat ekspresi wajahku yang tak seceria biasanya. Padahal ekspresiku yang tidak enak dipandang ini bukan karena dia yang terlambat, tetapi karena ketakutan-ketakutan di dalam kepalaku yang sangat tidak masuk akal.
"Nggak, Mas." Jawabku sembari memandangnya nelangsa. "Oliv takut ketemu tante." Aku ku akhirnya.
"Jadi deg-degan terus seharian."
Aku merasa ada yang menggenggam tanganku. Membuatku menoleh, dan menemukan bahwa tangannya lah yang menggandengku. Dia hanya menyetir menggunakan satu tangan, sementara tangannya yang lain dia gunakan untuk menguatkan ku dari rasa kekhawatiran. So sweet banget, sih!
"Mama Mas gak gigit, sayang. Jadi gak usah khawatir."
"Malah kayanya beliau lebih sayang kamu daripada Mas. Makanya tadi ngebuhungin Mas buat ngasih tau kalau makannya di rumah aja." Lanjutnya diakhir senyuman. Senyuman yang membuatku semakin tidak tenang karena informasi darinya menandakan bahwa aku akan lebih cepat bertemu dengan calon mama mertua.
Memang benar bahwa sosok mamanya Mas Gama sangat baik dan ramah. Namun aku bertemu kemarin saat statusku sebagai anak temannya. Lalu kalau statusku sekarang adalah calon mantunya? bukankah bakal ada acara tes-tes mantu idaman seperti yang di curhatkan orang-orang di sosial media? walau setengah pikiranku juga tidak mendengarkan. Sebab dari awal beliau sudah tahu bahwa aku ini memiliki hubungan 'apa-apa' dengan anak semata wayangnya.
"Aku gak disuruh masak kan ya, Mas? Oliv baru bisa masak mie doang soalnya." Setelah hari ini, sepertinya aku akan mengikuti kelas memasak. Aku perlu mempersiapkan diri untuk kejadian darurat yang mungkin terjadi. Seperti contohnya diajak masak bareng oleh mamanya Mas Gama.
Mas Gana menggeleng. "Tadi mas udah sempet nanya, katanya masakannya udah siap. Kamu tenang aja."
Akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega. Mas Gama cukup ahli melakukan tindakan preventif, sehingga aku tidak perlu was-was terkait masalah sebelumnya.
"Nanti cuma ketemu mama kamu aja sau ..." Aku menjeda kalimatku. Bingung melanjutkan karena takut akan membutnya sedih.
Mas Gama tersenyum, seolah tau kata apa yang harusnya aku ucapkan barusan. Dia mengelus pelan rambutku, lalu berujar. "Cuma sama mama aja kok."
Aku mengangguk. Merasa salah menanyakan kalimat tersebut, karena aku sadar bahwa Mas Gama kelihatan lebih murung setelah aku berkata demikian.
Namun aku juga penasaran. Bagaimana kalau misalnya aku bertemu kedua orang tuanya langsung, padahal aku tahu hubungan diantara keduanya tidak pernah baik-baik saja.
"Maafin Oliv ya, Mas. Oliv gak bermaksud." Kali ini, aku berujar sembari memandang ke arahnya. Sementara yang dipandang sudah mengembalikan fokus ke arah jalanan yang ada di hadapannya.
Mas Gama menggeleng. "Gapapa sayang,"
"Mama sama papa sekarang udah hidup sendiri-sendiri."
"Dan kayanya mama juga jadi sedikit lebih bahagia."
Aku memaksakan tersenyum. "Nanti kalau Oliv ditanya-tanya terus gabisa jawab, bantuin ya, Mas?" aku mencoba mengubah suasana dengan melempar pertanyaan lain.
"Kan bukan mau ujian sayang, kamu pasti bisa jawab." Dia terkekeh. Pasti gemas karena tingkahku.
"Mau muter musik aja biar rileks?" tawarnya.
"Boleh," jawabku. Lalu kemudian suara merdu Tulus memenuhi seisi mobil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...