Too Late

9.7K 697 24
                                    

Sejak dahulu aku punya prinsip yang cukup unik. Aku bukan tipe yang senang menjadi pusat perhatian sehingga tidak pernah melakukan hal yang tidak wajib. Kalau yang lain bisa kenapa harus aku? kalau yang lain nggak bisa, ya berarti harus aku. Satu prinsip yang aku pegang sehingga aku akan melakukan hal-hal tertentu ketika tidak ada orang lain yang melakukannya.

Seperti saat ini, saat dimana Mas Shua mengatakan bahwa dia tidak bisa ikut kunjungan maka akhirnya aku harus dengan ikhlas pergi sendirian. Menjadi satu-satunya tim digital creative intern yang ikut pergi ke Bali bersama dengan Bapak Menteri yang menakutkan, Pak Gama Pradikta.

"Lo lagi ngapain?" aku menengok ke arah sumber suara. Melihat penampakan Bang Jeno yang berada di balik pintu kamar yang sedikit terbuka.

Kembali ke kesibukanku sebelumnya, aku menjawab. "Packing." Jawabku singkat.

Dapat kudengar suara pintu berderit. Sepertinya dia memilih masuk, entah karena rasa penasaran atau hanya kehabisan kegiatan semata.

"Mau kemana?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang.

"Bali," aku memasukan beberapa skincare ke dalam pouch sebelum akhirnya menaruhnya di sisi baju yang sudah aku susun.

"Sama siapa?" aku tidak tahu apa yang sedang merasuki Bang Jeno. Biasanya dia tidak pernah mau tau apa yang aku lakukan, tetapi sekarang malah terdengar sangat cerewet seperti apa yang biasanya mama lakukan.

"Urusan kantor, Bang. Sama orang-orang kantor," aku berdiri dan menuju ke arah ranjang. Lalu merebahkan diri tepat di sebelah Bang Jeno duduk. "Gue ada tugas buat ngeliput kegiatan Pak Mentri." 

"Bukannya lo baru dua hari masuk?" aku berdehem mengiyakan. "Kok langsung di kasih kerja lapangan?"

"Gue juga nggak tahu,"jawabku jujur. Memang aku tidak tahu alasan kenapa aku sudah ditugaskan, padahal belum satu minggu aku masuk kerja. Teman-teman di divisi lain juga hanya diberi pekerjaan research dan observasi, sementara aku sudah harus pergi-pergi.

"Bang,"

"Apa?" 

"Gue mau nanya boleh?" tanyaku hati-hati.

Bang Jeno menoleh, "Apa?"

"Lo kenal nggak sih sama Pak Gama?"dia mengangguk.

"Kaya gimana orangnya?"

"Ya kaya orang pada umumnya."

Aku mendengkus mendengar jawabannya. Benar-benar menyesal karena sudah berharap lebih dengannya.

"Maksud gue kepribadiannya," aku mendudukan diri dan menyilakan kedua kaki di atas ranjang. "Kenapa ya gue takut kalo ketemua dia?" sebenarnya ini bukan sebuah pertanyaan untuknya, hanya suara hati yang tidak sengaja aku suarakan.

"Lo udah kena omel?" tanyanya tertarik. Entah hanya penglihatanku atau memang benar, Bang Jeno kelihatan tertarik ketika aku mengatakan bahwa aku merasa takut bertemu dengan Pak Menteri yang satu itu.

Aku menggeleng, "Belum sih, cuma dia keliatannya gak ramah. Jadi gue rasanya serem aja liatnya."

Bang Jeno tertawa, "Nggak serem kok, tapi emang orangnya kaya gitu aja. Agak sinis kalo sama cewe."

"Lo deket sama dia?" dilihat dari jawabannya, Bang Jeno sepertinya tidak hanya kenal dengan sosok bernama Pak Gama.

"Lumayan," belum sempat aku mengklarifikasi maksud dari kata 'lumayan' dia justru beranjak dan berjalan ke luar kamar.

"Gue balik dulu, dek. Kalo ada info-info menarik soal Gama, jangan lupa kabarin."

Keningku mengernyit heran, mereka temenan apa nggak sih?

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang