Sudah sejak berpuluh-puluh menit yang lalu, aku mati-matian menahan diri. Menahan diri untuk tidak memejamkan mata karena dilanda kebosanan ditengah pembicaraan dua orang yang tidak bisa aku pahami.
Aku tidak paham kenapa akhirnya terjebak di sini. Duduk di meja yang sama dengan Pak Gama dan Pak Elang dengan status yang tidak jelas. Maksudku, bukankah terdengar sangat aneh jika ada tim media yang akan ikut dalam obrolan berat yang membicarakan rancangan pengembangan tempat wisata?
"Untuk saat ini kayaknya lebih baik fokus ke wisata kultural dulu, Gam." Ujar Pak Elang serius. "Mumpung kita punya potensi besar, desa adat bisa jadi permulaan," lanjutnya menambahkan.
FYI, Pak Elang ini adalah seorang dosen di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. Dari pembicaraan keduanya yang aku curi dengar, sepertinya mereka adalah teman lama yang sengaja bertemu untuk membahas pengembangan wisata kultural di daerah-daerah di Indonesia.
Pak Gama meminta banyak saran darinya. Mungkin karena dia adalah seorang akademisi dan juga praktisi di bidang yang sama dengan Pak Gama, dia banyak memberikan insight perihal teori-teori dan apa yang harus dilakukan sebelum memulai pembangunan wisata baru.
"Gue sebenernya agak bingung juga, Lang. Pengembangan wisata kultural risikonya juga agak berat. Lo tau sendiri kan wisata ini biasanya identik dengan pengembangan sarana dan prasarana. Gue agak takut kalau misalnya justru kealamian dari budaya-budaya yang bakalan kita angkat nanti ini malah memudar." Pak Gama menyatakan keluh kesahnya.
Bersama temannya itu, dia berbicara santai. Membuatku sempat kaget karena baru pertama kali melihat gaya bicaranya yang cukup santai itu.
Selain itu, aku juga cukup amaze karena kupikir orang seperti dia tidak akan mengambil pusing urusan seperti ini. Hanya akan mengevaluasi ide-ide yang diberikan oleh staf di bawahnya, tanpa harus repot-repot pergi untuk mencari informasi sendiri.
"Nggak ada hal yang nggak ada konsekuensinya, Gam. Lo tau betul untuk mendapatkan sesuatu, kita juga harus membayarnya dengan harga yang setimpal."
"Tinggal bagaimana sikap yang nantinya diambil, biar gak ada pihak yang benar-benar dirugikan."
"Lo bisa coba versi pengembangan wisata berbasis masyarakat. Lo bisa memberdayakan warga disekitaran wisata, karena mereka ini yang sebenarnya paling tau situasi dan kondisi alam yang ada di sekitarnya." Pak Elang menjeda kalimatnya dan menyeruput segelas kopi yang ada di hadapan.
"Karena fokusnya lebih ke wisata kultural ya, berarti yang jadi nilai utamanya kan experience dari si wisatawan? lo bisa ajak diskusi tokoh-tokoh masyarakat biar punya insight."
"Lo nggak bisa memaksa kehendak, nggak boleh nerapin hal-hal baru di luar persetujuan masyarakat lokal. Point utama yang lo mau angkat juga soal kehidupan mereka, gimana interaksi mereka dengan alam, hubungan sosial yang terjalin, dan langkah apa yang mereka ambil untuk merespon perubahan alam."
"Intinya lo harus inget. Lo memang mungkin punya niat baik, mengembangkan ekonomi lokal dengan memanfaatkan potensi yang ada. Tapi sejatinya cuma mereka yang tau apa yang mereka butuhin. Jadi jangan sampe program lo justru ngebuat mereka terekslusi dari wilayahnya sendiri."
Pak Gama mengangguk mengerti, sementara aku blunder dengan pikiran sendiri. Obrolan mereka terdengar berat, untuk aku yang sehari-hari hanya memegang komputer dan juga kamera. Namun begitu, aku tetap sedikit paham bahwa sepertinya Pak Gama sedang menimbang untung rugi dari membuka wisata baru, dan langkah seperti apa yang harus dia ambil untuk memulainya.
Entah berapa lama waktu yang sudah aku habiskan untuk memikirkan obrolan mereka sebelumnya, saat aku sadar obrolan sudah berganti ke hal yang lebih ringan. Mereka sedang mengobrol kan kehidupan sehari-hari, sebelum akhirnya satu pertanyaan dari Pak Elang terlontar tentangku.
"Sejak kapan Budi udah nggak kerja sama lo, Gam?" tanya Pak Elang sembari melirikku.
Aku yang merasa akan segera dilibatkan menoleh ke arah Pak Gama. Mengirimkan signal untuk meminta bantuan jawaban, sebab takut salah berbicara jika harus mengatakannya sendiri. Toh sepertinya pertanyaan tersebut juga dilontarkan padanya. "Masih kerja di gue kok,"
"Terus dia?" dapat kurasakan Pak Elang melirikku. Entah apa yang ada dipikirannya tentang posisiku, tetapi harusnya dia tahu bahwa aku bukan menggantikan Mas Budi. Sebab tak ada hal penting yang sedari tadi aku lakukan, selain duduk diam dan berusaha menikmati obrolan.
Pak Gama kini melirikku, hanya sekilas tetapi efeknya sangat membekas. "Anak magang,"
"Ngebantuin Budi?"
Pak Gama menggeleng. "Nggak juga. Dia anak media yang tugasnya bikin dokumentasi kegiatan gue."
Sumpah aku tidak berbohong bahwa aku melihat Pak Elang tertawa. Entah apa yang dia tertawakan, yang jelas tatapan matanya seperti menggoda Pak Gama. "Jangan terlalu gerak lambat, Gam. Ntar lo nyesal."
Aku tidak paham dengan ucapan Pak Elang. Apalagi dengan respon Pak Gama yang mendengkus, aku semakin dibuat bingung oleh keduanya."
"Nama kamu Oliv bukan?" aku mengangguk. "Masih kuliah?" lagi-lagi aku mengangguk.
"Semester berapa?" Pak Gama benar-benar membiarkanku di cerca pertanyaan oleh Pak Elang.
"Tinggal skripsian aja, Pak." Dia mengangguk.
"Udah lama magang di kementerian?"
"Belum ada seminggu," jawabku pelan.
Pak Elang langsung menoleh ke arah Pak Gama. "Gue kira lo geraknya lambat, Gam. Ternyata malah cepet banget!"
Pak Gama tidak merespon perkataan Pak Elang. Dia justru menoleh ke arahku dan meminta bantuan. "Tolong fotokan kami sebentar ya..." Aku menerima ponsel dari Pak Gama dan berdiri dari kursi. Bersiap untuk mengabadikan momen keduanya, yang sebenarnya hanya terlihat seperti pertemuan dua teman lama yang tidak perlu di dokumentasikan.
"Satu dua tiga," aku menghitung pelan. Lalu mengambil gambar keduanya, yang sebenarnya terlihat cukup enggan. Maksudnya untuk Pak Gama, dia terlihat tida ikhlas menunjukkan ekspresinya.
"Senyum ngapa, Gam. Biar modus lo nggak ketahuan" Pak Elang meledek Pak Gama. Entah apa yang sebenarnya sedang mereka bahas, pokoknya aku tidak akan ikut campur dan hanya akan menjalankan perintah.
Namun jika tugasku hanya memfotokan seperti ini, bukankah mereka bisa meminta tolong kepada pramusaji di restoran elit ini saja? kenapa harus sampai bawa-bawa aku segala?
Nah loh, kenapa nih?
![](https://img.wattpad.com/cover/341357869-288-k879620.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Chick-Lit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...