Baper

11.1K 712 30
                                    

"Saya suka panggilan baru kamu untuk saya," aku yang akan menuruni panggung pelaminan sedikit oleng. Untunglah orang yang membuatku hilang fokus ini gercep, sehingga tak ada insiden memalukan yang aku alami — jatuh dari panggung pelaminan karena terpeleset akibat kurang fokus.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik, dan sampai sepuluh detik berlalu kedua mata kami saling berpandangan. Seolah tak ada orang lain di acara pernikahan ini, aku dan Pak Gama saling memandang dengan pikiran di dalam kepala yang sulit dijelaskan. Pandangan kami saling berlarut, entah untuk alasan apa. Hingga akhirnya aku menyerah, karena tak kuasa terus melihat wajahnya yang tampan. "Makasih, Pak."

Air wajah Pak Gama seketika berubah, masam. "Kenapa pak, lagi?" tanyanya. Terlihat tidak senang karena panggilanku padanya kembali ke setelan awal. Mas to be pak.

Aku menggigit bibirku pelan. Aku lupa juga dia memintaku memanggilnya 'mas' sepanjang acara ini berlangsung. "Maaf, saya belum biasa." Akuku pelan. Entah kenapa aku merasa malu memanggilnya seperti itu. Rasanya pipiku langsung berubah merah setiap memikirkannya. Jadi daripada wajahku memerah karena hal yang aku lakukan sendiri, aku memilih untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu. Apalagi setelah melihat perubahan ekspresi wajahnya tadi, rasanya aku menjadi besar kepala.

Sebelum semakin larut dengan pikiranku yang mulai kemana-mana, untunglah aku kembali tersadar. Kedatangan beberapa orang yang baru turun dari panggung membuat kami akhirnya memilih untuk menyingkir dan menjauh dari posisi kami — aku dan Pak Gama masih saling diam. Obrolan kami sebelumnya belum dilanjutkan, karena tempat di mana kami tadi berbicara mendadak semakin ramai setelah kedatangan teman-teman dekat dari mempelai wanita.

"Di sini aja ya," setelah berjalan beberapa langkah Pak Gama tiba-tiba berhenti. Lalu mengatakan agar kami menghabiskan sedikit waktu di tempat baru ini. Salah satu sisi ruangan yang tidak cukup banyak di tempati orang.

Well, aku tidak tahu apakah dia akan melanjutkan obrolan terkait kata panggilan itu. Kedatangan beberapa orang tadi telah menyelamatkanku, dan semoga dia tidak membawa naik lagi obrolan ini. Lagi.

"Kamu mau sesuatu?" dia ternyata memilih untuk tidak menanggapiku yang merasa tak enak memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Namun justru karena itulah, tiba-tiba aku diliputi rasa tak tenang. Apa Pak Gama marah?

Aku menggeleng. "Bapak marah sama saya, ya?" aku berbisik pelan padanya. Tak mau sampai orang lain dengar bahwa aku memanggilnya 'pak'.

"Nggak," ujarnya pelan. Tapi aku tahu, ada sorot yang berbeda dari kedua matanya.

"Kamu mau makan sesuatu gak sebelum pulang? biar saya ambilkan." Aku masih diam. Lalu karena masih tak kunjung memberikan jawaban, Pak Gama kembali berujar. "Tunggu di sini ya, biar saya ambilkan camilan." Sebelum aku tersadar, dia sudah menghilang di antara orang-orang.

Ini dia fix marah kah?
Gara-gara gak gue panggil mas lagi?

****


"Terima kasih, Mas." Ujarku ketika dia memberikan segelas kecil orange jus. 

Setelah kepergiannya tadi, aku memang banyak berpikir. Lalu dengan banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk kembali memanggilnya mas sesuai dengan permintaannya tadi. Selain karena sebuah kesepakatan yang sudah dia minta sebelumnya, sisi hatiku yang lain juga tak ingin melihatnya marah, atau cuek terhadapku.

Kulihat Pak Gama terlihat membeku. Bahkan tubuhnya terlihat tegang, tepat ketika aku kembali memanggilnya dengan sebutan yang dia inginkan.

Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia mengangguk, lalu mengiyakan terima kasihku. "Jangan dipaksa kalau kamu gak nyaman, Liv." Jawabnya di luar dugaan. Membuatku sedikit kecewa karena responnya yang tak sesuai dengan apa yang aku harapkan.

Kenapa dia malah bilang gitu?
Apa dia udah gak nyaman gue panggil mas?

Aku menggeleng. "Saya gapapa kok, Mas." Meski agak kaku, tetap saja aku menggunakan panggilan itu. Sekali lagi, rasanya memang sangat tak nyaman mendapati orang di hadapanku memilih banyak diam. Jadi aku semakin yakin memilih untuk keluar zona dari nyaman.

"Saya nggak marah sama kamu," seolah tau apa yang ada di pikiranku, Pak Gama menimpali. "Saya diam dan nggak bahas lagi soal itu karena takut kamu ngerasa nggak nyaman, bukan karena saya marah." Lanjutnya sembari tersenyum. Senyum yang meneduhkan, yang membuat hatiku menjadi tenang.

Waduh aku salah paham ternyata, cuma ovt aja!

"Udah di makan dulu, abis itu temani saya sebentar untuk menemui beberapa orang." Lanjutnya sembari mengelus pelan kepalaku.

Heh, apa ini?
Yang dielus kepalaku kenapa kena efek jantung sama kakiku?

Aku butuh sandaran astaga!

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang