Gambling

6K 414 12
                                    

"Bang!" Aku mempercepat langkahku agar tidak tertinggal. Pasalnya langkah kaki Bang Jeno cukup jauh, sehingga aku yang hanya setinggi 162 cm ini cukup sulit untuk mengimbanginya.

Setelah pembicaraan di mobil dan keterdiaman kami selama perjalanan, Bang Jeno sepertinya berniat terus mendiami ku. Bahkan ketika kami tiba di depan rumah, dia langsung turun dan masuk ke dalam. Meninggalkanku sendirian hingga berlari terseok-seok karena ingin mengejarnya. 

"Bang," akhirnya untuk percobaan kesekian kalinya, aku berhasil meraih tangan kirinya. Membuat si yang punya menoleh, lalu menaikan salah satu alisnya.

"Kenapa?" tanyanya sudah tak sesinis tadi, tetapi masih saja tidak ramah.

Aku menarik-narik ujung bajuku. Sebuah gerak refleks karena gugup, sekaligus upaya untuk mengumpulkan keberanian. "Soal yang tadi ..." aku menjeda kalimatku. Bukan karena berubah pikiran, tetapi karena otakku sedang memilih pandanan kata yang tepat. "Lo nggak bakal kasih tau mama dan papa, kan?" lanjutku akhirnya.

Jujur aku belum siap jika hubunganku yang sedikit absurd ini diketahui mama dan papa. Bukan karena takut akan kena marah — karena dari segi mana pun Mas Gama memenuhi kriteria sebagai menantu idaman, tetapi karena aku khawatir mama terlalu bersemangat hingga memaksaku untuk segera menikah. Aku masih ingin bebas, dan mengeksplor dunia di luar yang selama ini aku lihat dan rasakan.

Memang sebenarnya mama sudah tau kami berpacaran, tetapi beliau belum tau sejauh mana hubungan kami telah terjalin. Makanya aku akan memohon pada Bang Jeno agar diam, karena tak mau dituntut ini itu oleh mama dan papa. Aku belum siap dengan konsekuensinya.

"Gak tau," aku mendengkus mendengarnya.

"Kok nggak tau?" responku kesal. Ini sama saja aku digantung, dan justru malah membuatku semakin was-was sekaligus khawatir karena harus menebak tentang semua hal yang mungkin akan dilakukannnya itu.

Bang Jeno berdecak. "Ya gue mau cari tahu dulu, udah ngapain aja lo berdua selama pacaran."

Aku melongo. "Lo nggak percaya sama gue, Bang? gue beneran nggak ngapa-ngapain, Bang, sama Mas Gama." Aku tidak terima tentu saja. Pasti dipikirannya itu aku telah melakukan banyak hal-hal dengan sahabatnya. Memangnya aku sama seperti dia?

Meski sedikit gila, pikiranku masih cukup waras. Aku tidak mungkin mempertaruhkan masa depanku untuk kenikmatan sesaat, apalagi membiarkan diriku berakhir dengan penyesalan yang dalam.

"Gimana gue bisa percaya kalau baru dateng aja, lu udah minta kelon."

Buset, bahasanya....

"Itu cuma bercanda, Bang. Sumpah!" Sebisa mungkin, aku harus terlihat sangat menyakinkan. Bagaimana pun, dia harus percaya dengan semua yang aku utarakan hari ini.

"Siapa yang bisa jamin?" tanyanya menantang. Seolah tidak percaya dengan penjelasan yang aku berikan.

Tentu saja aku jadi kehabisan kata-kata. Siapa yang bisa jamin? sepertinya tidak ada. Sebab selama ini, kami memang hanya berdua di apartemennya.

"Sekarang abang tanya, udah berapa kali lo main ke sana?"

Lagi-lagi aku terdiam. Bukan karena tidak ingin menjawab, tetapi sedang sibuk di kepala untuk menghitung sudah berapa kali aku mengunjungi apartemen Mas Pacar.

Astaga, kayaknya mending bohong aja sih kalo segini banyaknya.
Bisa dibunuh ntar gue sama Bang Jeno.

"Lupa," jawabku bohong. Makanya aku mengatakannya dengan pelan, sebab sebenarnya aku ingat kalau sudah mengunjungi apartemennya lebih dari 20 kali.

Tapi kan harusnya dia sadar ya? dimana lagi coba aku bisa pacaran dengan aman?
Pasti di ruangan tertutup lah

Bang Jeno memicing curiga. Sebagai orang yang telah hidup bersama puluhan tahun, dia pasti menyadari ada gelagat aneh dariku. Apalagi dasarnya aku tidak pandai berbohong, jadi aku harus segera mengambil langkah agar tidak ketahuan.

Sepertinya mau usaha bagaimanapun, gue gak bakal bisa bikin dia percaya.

"Ngapain nanya kalau dijawab nggak percaya," ujarku sewot. Padahal dia belum mengatakan apapun atas kebohonganku itu. Di otakku, ini adalah cara terbaik untuk melawan. Pura-pura merajuk!

"Udah lah, capek Oliv. Terserah Abang mau gimana." Aku berpura-pura kesal. Bahkan aku tidak menunggunya merespon, dan malah melanjutkan jalan menunggu tangga untuk ke lantai atas. Semoga mempan ya Allah, semoga.

"Oliv udah jawab semua ya, Bang. Terserah abang mau ngadu atau nggak." Sebenarnya ini adalah sebuah gambling. Tapi karena tak ada pilihan lain, aku mencoba untuk terlihat tidak peduli.

"Tapi kalau sampai Abang ngadu ke mama papa dan Oliv disuruh cepet-cepet nikah, Oliv nggak bakal mau ngomong sama Abang lagi."

Bismillah ini keputusan terbaik
Semoga dia gak macem-macem lagi

Bungsu emang begitu gaes, mohon maklum 😁

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang