"Nanti tolong buat monthly report untuk seluruh konten yang udah publish ya, Liv." Pinta Mas Shua sembari berjalan. Dia baru saja muncul — entah dari mana, dan langsung memberikanku pekerjaan.
"Sama MoM yang tadi pagi, tolong di email ke gue, ya?" lanjutnya menambahkan.
Aku hanya mengangkat ibu jari. Tanda paham dengan pekerjaan yang dia berikan, dan akan segera melakukan apa yang dia pinta. "Ada lagi gak, Mas? biar sekalian." Aku sudah tau bagaimana sistem kerja Mas Shua. Aku juga sudah tau bagaimana keinginannya terkait pekerjaan, jadi sudah merasa aman ketika dia memberi tugas.
Aku sudah tau apa yang harus aku lakukan ketika diberi tugas. Apa yang harus aku cantumkan dalam setiap tugas yang diberikan, juga apa yang harus aku tanyakan ketika merasa dia kurang jelas dalam memberikan detail pekerjaan.
Mas Shua menarik kursi yang ada dia seberangku. Kebetulan meja kami memang berseberangan. "So far itu aja sih, ntar kalo ada lagi pasti gue kabarin." Ujarnya sebelum kembali fokus dengan kertas-kertas yang ada di tangannya.
Aku mengangguk. "Padahal tadi itu sarkas, Mas." Jawabku sedikit bercanda.
"Gue gak beneran minta tambahan kerjaan." Lanjutku yang di respon tawa olehnya.
"Habisnya lo udah mau udahan sih magangnya, jadi ya banyak kerjaan." Tidak terasa aku sudah cukup lama menjadi intern di sini. Waktuku tinggal dua minggu lagi sebelum selesai, jadi memang ada banyak kerjaan yang harus aku kerjakan sebelum meninggalkan tempat yang mulai membuatku nyaman.
Jika diingat sedikit sedih, tetapi di sisi lain juga ada rasa bangga karena akhirnya aku bisa menyelesaikan sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabku.
"Cepet banget ya, Mas." Komentarku. Pasalnya aku baru saja menikmati pekerjaanku, tetapi ternyata malah masa magangku sudah hampir selesai.
Mas Shua mengangguk. "Iya nih, padahal gue suka ada lo di sini." Dia kembali tertawa.
"Karena bisa di eksploitasi ya, Mas?" ujarku bercanda. Kebetulan kami sudah cukup akrab untuk saling melempar candaan.
"Haha, kagak lah. Gue kan senior baik," responnya memuji diri sendiri. "Cuma emang keberadaan lo sedikit membantu kerjaan gue sih,"
"Banyak kali, Mas. Nggak papa ngaku aja." Akhirnya kami tertawa bersama. Sedikit mengurangi rasa lelah dari penatnya pekerjaan. Juga sedikit refreshing karena sedari pagi memang terus fokus di depan layar komputer.
"Biasanya ada farewell party sebelum anak magang bener-bener udahan," setelah tertawa, Mas Shua memberikan informasi.
"Acara kantor?" tanyaku penasaran. Sebab di grup magang kami belum ada sama sekali yang membahas topik ini.
"Acara anak-anak sih," aku mengangguk mengerti. Dari ucapannya, itu berarti bahwa acara perpisahan di kantor hanya acara kecil, tetapi mungkin senior akan mengadakan acara makan-makan setelah jam kerja selesai.
"Sama bapak?" tanyaku hati-hati. Penasaran juga apakah Mas Pacar akan ikut dengan acara kami.
"Biasanya sih bapak nggak dateng ya, paling kartunya aja yang nyampe." Lagi-lagi Mas Shua tertawa. Sepertinya hari ini suasana hatinya sedang baik, jadi banyak tertawa dibandingkan hari biasanya.
Aku mengangguk, "Bukannya itu yang paling penting?"
Umumnya, keberadaan bos besar pada suatu acara nonformal akan membuat suasana menjadi canggung. Orang menjadi tidak terlalu lepas dalam mengobrol atau melempar candaan, sebab dihantui oleh rasa ketakutan.
"Bisa aja lo,"
"Udah ketebak kali, Mas." Aku dan Mas Shua benar-benar sudah seperti teman. Tidak ada sungkan, bahkan ketika membicarakan atasan seperti ini.
"Emang gak mau apa nggak diajak?" aku masih cukup penasaran kenapa Mas Gama tidak pernah ikutan.
"Diajak sih, cuma biasanya gak bisa. Ada urusan katanya, jadi cuma ngirim Budi sama kartu itu."
***
"Pulang nanti kita makan bareng." Aku mendengkus membaca pesan yang beberapa detik lalu masuk ke ponselku. Tidak ada sapaan, atau bahkan panggilan sayang yang mendahului. Hanya ada sebaris informasi yang menyatakan bahwa sang pengirim pesan ingin mengajak makan bersama — atau lebih tepatnya memaksa untuk makan bersama.
"Baik, Pak." Tulisku sebelum menekan enter.
"Kok pak lagi?"
"Loh, emang ini yang ngirim pesan pacar saya? bukannya atasan?" sindirku tipis. Pasalnya dia terlalu formal untuk ukuran pacar yang sedang mengajak makan.
"Nanti pulang kantor, temani Mas makan ya?"
Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping. Kena kamu, Mas!
"Oke, Mas. Siap ❤️" aku menambahkan emoticon hati di akhir kata. Menunjukkan ekspresi hatiku yang memang sedang bahagia.
"Nanti Mas tunggu di basement, gak usah lari-lari kaya kemarin."
"Berapa lama pun akan tetap Mas tunggu."
Ya Allah, kenapa aku bisa punya pacar yang sepengertian ini?
"Siap lagi, mohon ditunggu tuan putri yang lama ini." Aku terkikik sendiri setelah menuliskan pesan balasan untuknya.
Ah Oliv, kenapa alay begini ya?
Menurut kalian siapa yang bakal lebih aktif di hubungan ini? si bapak atau Oliv?
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...