Bertaruh?

3K 245 0
                                    

Sebelum menentukan pasangan, kebanyakan orang akan memperhatikan bibit, bebet, dan bobot dari calon pasangannya. Tidak asal cocok langsung gas, tetapi memerhatikan faktor luar sebagai bentuk pertimbangan yang nyata.

Dari yang aku tahu selama ini, bibit berkaitan dengan garis keturunan. Bagaimana kita melihat calon pasangan dan latar belakang keluarganya, dan dari keluarga seperti apa mereka.

Singkatnya kita  melihat berdasarkan garis keturunannya, apakah berasal dari keluarga yang baik-baik atau justru sebaliknya. Hal ini untuk menghindari penyesalan terkait orang seperti apa yang kita inginkan untuk menurunkan garis keturunan.

Bebet berkaitan dengan status sosial  dalam masyarakat. Bagaimana lingkup kehidupannya, seperti apa pergaulannya, dan dengan siapa juga mereka biasanya mengabiskan waktu.

Dengan memerhatikan faktor ini, maka kita bisa menentukan apakah calon pasangan berasal dari lingkungan yang baik dengan reputasi baik, atau justru kebalikannya.

Adapun terkait dengan bobot, ini berkaitan dengan bagaimana kita  melihat seseorang berdasarkan materi atau segi keduniawian yang dimiliki. Apakah calon pasangan berasal dari keluarga kaya atau miskin, memiliki pangkat atau tidak, berpendidikan tinggi atau rendah, bahkan sampai apakah dia tampan atau biasa saja.

Pada dasarnya, ketiga hal ini tidak salah untuk dilakukan. Harapan untuk mendapatkan pasangan yang tepat pasti dimiliki oleh semua orang, jadi sangat wajar untuk menggunakan ketiga penilaian di atas.

Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa ketiga penilaian di atas bukan satu-satunya parameter untuk menentukan kelayakan seseorang untuk dijadikan pasangan. Seorang anak tidak bisa memilih dilahirkan dari keluarga seperti apa, dan tidak semua anak akan bersikap seperti orang tuanya.

Pada akhirnya semua tergantung si individu, apakah dia mau belajar dari kesalahan orang tuanya sehingga bisa membangun keluarga yang baik, apakah dia cukup selektif dalam memilih lingkungan untuk berkembang, dan apakah dia mau bekerja keras sehingga bisa meningkatkan taraf hidupnya.

Faktor-faktor dari si individu tetap harus diperhatikan, sebab rasanya tidak adil jika yang dilihat adalah hal-hal yang berkaitan dengan generasi sebelumnya.

Perubahan itu nyata dan kekal. Jadi semua orang punya kesempatan untuk berubah.

"Ma, lagi sibuk gak?" hari ini aku berencana untuk stay di rumah. Selain karena tidak ada aktivitas yang mengharuskan ku untuk ke luar rumah, aku juga punya sedikit pertanyaan kepada perempuan paru baya yang sedang sibuk memasak.

"Lagi bikin kue sih ini, tapi tinggal manggang aja." Aku mengupas jeruk yang memang sudah ku ambil dari meja makan. Mengumpulkan kulitnya di meja dapur, sebelum akhirnya menanggapi jawaban mama.

"Oliv mau ngobrol sama mama, boleh gak?"

Mama terlihat heran. Namun kemudian mengangguk mengiyakan. "Boleh dong dek. Mama masukin ini ke oven dulu, abis itu kita ngobrol di ruang keluarga."

Aku mengangguk semangat. Untung aku turun di waktu yang tepat, jadi tidak perlu menunggu, atau membantu beliau membuat kue.

"Kenapa?" mama membawa dua gelas air putih dan meletakkannya di atas meja. Aku yang sedari tadi sibuk menjelajahi video tiktok pun menghentikan aktivitas, lalu meletakkan ponsel ku tepat di sebelah gelas.

"Terima kasih, ma."

Mama mengangguk. Lalu duduk di sebelahku.

"Kemarin Oliv diajak Mas Gama ketemu mama papanya."

Mama terlihat kaget, tetapi kemudian menetralkan ekspresi wajahnya. "Mama papanya?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Harusnya cuma ketemu Tante Rina aja, ma. Tapi gatau gimana tiba-tiba ada Om Aryo juga."

Aku melirik ke arah mama yang kini terlihat biasa-biasa saja. "Mama tau kan soal masalah keluarga mereka?" lanjutku hati-hati. Sedikit bingung juga bagaimana untuk membangun bridging dari masalah ini. Padahal awal mula aku tau masalah mereka juga karena spill dari mama.

Lagi-lagi mama hanya mengangguk. "Kami rencana mau makan malem bareng. Tapi gajadi gara-gara Mas Gama ribut sama papanya."

Setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untuk menceritakannya pada mama. Sudah aku katakan bahwa aku tak punya pengalaman, jadi aku ingin mencari solusi melalui orang yang paling aku percayai.

"Oliv bingung, ma."

Mama tersenyum. "Bingung gimana?"

"Oliv lihat sendiri gimana bencinya Mas Gama sama Om Aryo. Oliv ngerti sih, karena sebagai orang luar aja Oliv juga benci." Lanjutku. Aku paling tidak suka dengan pengkhianatan, jadi aku langsung lost respect dengan calon mertuaku itu.

"Nggak boleh gitu, dek. Itu masalah keluarga mereka dan kamu gak berhak buat ikut. Apalagi sampai benci sama Aryo." Dilihat dari bagaimana mama memanggil Om Aryo, sepertinya beliau mengenal baik papa Mas Gama. Namun untuk saat ini aku tidak peduli, sebab tak ada korelasi tentang bagaimana hubungan para orang tua ini dengan apa yang ingin aku ketahui.

"Iya ma, Oliv ngerti. Makanya Oliv cuma diem aja." Secara hukum maupun agama, aku belum terikat dengan keluarga Mas Gama. Oleh karena itu, aku juga paham kalau aku tidak memiliki hak apa pun untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

"Kemarin Mas Gama sempet nanya sama Oliv, apakah dia salah karena udah benci sama papanya." Aku menaikkan kedua kakiku menjadi bersila. "Terus Oliv bingung jawabnya, soalnya beneran gak tau."

"Salah gak sih ma kalau kaya gitu?"

"Tapi Om Aryo kan jatuhnya dzolim ya, harusnya gapapa gasi kalau Mas Gama marah-marah sama beliau ini?" fakta ini terus saja menggangguku. Aku takut memberikan jawaban yang salah, dan justru memperkeruh hubungan ayah dan anak.

Mama menggeleng. "Bukan hak manusia untuk menilai baik buruknya seseorang, dek. Kebenaran itu gak mutlak, tetapi tergantung sumber kebenarannya sendiri. Entah itu sumber yang berdasarkan agama, hukum, atau kebenaran sosial."

Aku baru sadar dengan apa yang dikatakan mama barusan. Benar bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia. Semua kebenaran biasanya didasarkan sesuatu. Seperti keputusan di pengadilan yang didasarkan hukum dalam suatu negara, juga kebenaran dalam agama yang didasarkan pada apa yang tertera di dalam kita sucinya.

"Kalau mau pake penilaian agama, harusnya sih gak boleh ya. Tapi kalau mau dilihat dari sisi kemanusiaannya, mama rasa wajar kalau Gama marah sama papanya."

Tiba-tiba aku merasa lega. Semua yang aku katakan sepertinya tidak salah. "Yang penting marahnya masih batas wajar, dan tidak ada dendam di dalamnya. Toh bagaimana pun, ikatan darah lebih kental daripada air."

Aku tidak menceritakan banyak hal mengenai masalah keluarganya Mas Gama. Selain karena tidak enak membicarakannya — karena termasuk aib, aku juga merasa tak punya hak untuk melakukannya.

"Tapi dengan kondisi keluarga Mas Gama yang kaya gitu, mama sama papa gak keberatan kan kalau nantinya Oliv sama Mas Gama bawa hubungan ini ke arah yang lebih serius?"

Aku semakin hati-hati dalam berkata. Jika menitikberatkan pada bibit, bebet, dan bobot, secara terang-terangan Mas Gama tidak memenuhi untuk syarat pertama. Ayahnya berselingkuh, yang berarti bahwa keluarganya tidak baik-baik.

Mama menggeleng. "Mama sempet ngobrolin ini sama papa waktu Gama pertama kali bilang mau deketin kamu."

Aku cukup kaget dibuatnya. "Mama papa sempet ngobrol lumayan lama, Sampai akhirnya punya keputusan."

"Apa, ma?" tanyaku tak sabar.

Mama tersenyum. "Memang benar kalau masalah keluarganya gak sepele. Dan gak menutup kemungkinan juga, bahwa bibit dari seorang pengkhianat akan menjadi pengkhianat."

Bahuku lemah. Rasanya sangat sedih ketika pikiranku menyimpulkan suatu hal. Semoga bukan kaya yang gue pikirin. Hubungan ini udah lumayan lama, dan kayaknya mama papa juga enjoy-enjoy aja.

"Tapi mama papa inget, selama ini Gama adalah anak yang baik. Dia bahkan baru tau kelakuan papanya setelah dewasa."

"Bukankah akan sangat tidak adil jika mama papa tidak memberikan kesempatan padanya? apalagi anak mama sendiri udah cinta sama dia."

Siapa yang sering curhat sama ibu kalau lagi stress sama sesuatu?
Selamat menikmati libur untuk kamu yang masih libur

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang