Cuddle

7.9K 516 9
                                    

"Kamu mau hidup kaya gimana?" Mas Gama mengusap-usap kedua lenganku yang berada satu selimut dengannya.

Aku menoleh dan tersenyum, "Mau slow living aja sih, biar gak cape."  Setelah terjebak dengan ungkapan akan memberikan hadiah, di sinilah aku sekarang. Dia hanya tidur sebentar, dan ketika bangun sudah seperti anak kecil yang tantrum karena menagih janji yang tak kunjung ditepati. Padahal bukan bermaksud mengingkari, hanya saja aku juga ikut ketiduran karena kurang tidur semalaman.

"Mana hadiahnya?" tanyanya setelah bangun. Aku yang juga baru melek di kursi dekat ranjangnya pun hanya bisa mengernyitkan dahi, berusaha memahami maksud dari perkataannya .

"Nanti ya, aku kelupaan, Mas." Ujarku meringis. Juga belum kepikiran juga ingin memberikan apa.

Aku memegang dahinya. Bersyukur karena panasnya sudah benar-benar mereda. "Demam kamu udah turun, Mas." Aku memberitahu.

"Mana hadiah, Mas?" lah, masih ditagih. Kaya anak kecil banget.

"Oliv belum jadi beli, nanti ya."

"Atau mau aku pesenin online?" melihat raut wajahnya yang masam, aku menawarkan pilihan lain. Sebenarnya agak tak menyangka bahwa dia yang biasanya sangat bersikap dewasa ini, mendadak jadi seperti anak kecil. Bahkan untuk masalah kecil semacam ini.

"Nggak mau hadiah yang beli,"

"Terus?" tanyaku heran.

Mas Gama menepuk pelan sisi ranjang yang ada di sebelahnya. "Cuddle aja yuk!"

Aku mengedipkan mata berkali-kali. Tidak menyangka bahwa bahan bercandaan ku kemarin, kini malah dijadikannya sebagai sebuah permintaan.

"Kata mas gak boleh cuddle, bahaya." Aku memperingatinya. Pasalnya saat kemarin aku mengajukan opsi itu, menurutnya ini adalah permintaan yang tergolong cukup berbahaya. Makanya dia belum bisa mengiyakan, karena belum yakin dengan kemampuannya dalam mengontrol diri sendiri.

"Mas masih lemes, jadi gak bakal terjadi apa-apa." Jika ditelisik, pembicaraan kami sebenarnya agak cringe. Namun sebagai dua orang yang sama-sama sudah dewasa, tentu kami paham jalan pikiran masing-masing. Dan tentu saja, membicarakannya bukanlah sebuah hal yang tabu.

Dalam sebuah hubungan, akan sangat baik untuk membicarakan segala hal. Jangan mudah mentabukan sesuatu, atau mungkin sungkan membahas hal yang dianggap tidak penting. Salah satu kunci sukses sebuah hubungan adalah komunikasi yang baik. Jadi apa pun permintaannya, aku tidak akan mengkonfrontasi. Namun akan coba mendengarkan dan mendiskusikannya dengannya.

"Liv," aku yang sedari tadi mengingat kejadian sebelum ini kaget. Suara dan ucapan lembut dari Mas Gama berhasil mengembalikan kesadaran.

"Kamu gak papa?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk. "Aku baik-baik aja," ujarku sembari menambahkan senyuman di akhir kata untuk meyakinkan.

"Mas punya target menikah di umur berapa?" tanyaku penasaran. Umurnya sudah lebih dari kepala tiga, dan pasti menikah adalah hal yang sudah mulai dipertimbangkannya.

Hingga kini, Mas Gama masih mengusap lenganku yang ada di pelukannya. "Mas ngikut kamu,"

"Ngikut Oliv?"

Dia mengangguk. "Kok?"

"Lah terus harus ngikut siapa?" tanyanya heran. "Kan mas maunya nikah sama kamu. Ya nunggu kamu siap berarti,"

Aku speechless. "Tapi Oliv belum lulus, Mas."

Mas Gama menarik pinggangku hingga berada lebih dekat dengan dada bidangnya. "Ya nggak papa, kan Mas gak minta buru-buru juga."

"Tapi Oliv belum tau bisa lulus kapan, "

"Bukannya kemarin skripsinya sudah selesai?" ujarnya. Kebetulan saat kami menjalani hubungan sehat kemarin, aku berhasil menyelesaikan draft skripsiku.

"Iya, tapi masih dikoreksi," jawabku memberitahu.

"Nggak papa, semoga gak banyak revisian."

"Amin." Aku mengaminkan doanya.

"Mas beneran mau nikah sama aku?" hubungan kami memang baru seumur jagung, tapi sepertinya baik aku maupun dia, sama-sama tidak ada niatan bercanda.

"Iya,"

"Udah yakin?"

Mas Gama mengangguk. "Kamu masih ragu sama, Mas?"

"Bukan gitu ..." Cepat-cepat aku mengonfirmasi. Bukan maksudku tidak mau menikah dengan dia, hanya saja ....

"Terus?"

Aku menggeleng. "Kayaknya aku belum siap nikah cepet-cepet," jelasku pelan. Sedikit khawatir dengan respon yang akan dia berikan.

Bukannya mempertanyakan alasan, dia malah tersenyum. "Mas kan udah bilang, mas gak buru-buru."

"Nggak harus sekarang. Mas gak akan maksa." Tambahnya sembari menoel pelan hidungku. "Mas juga gak punya target. Pokoknya kalo kamu siap, ya Mas juga siap datang ke rumah kamu."

"Tapi ...." dia menjeda kalimatnya.  Membuatku sedikit was-was, takut dia bilang tidak tahu sampai kapan bisa sabar menunggu.

"Tapi apa, Mas?" tanyaku menuntut.

Mas Gama tidak langsung menjawab. Terlihat berpikir, sebelum akhirnya berujar. "Tapi semakin lama kamu berpikir, semakin tua juga, Mas."

"Kamu emang gak masalah punya suami tua?"

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang