Lagi ada waktu nulis, jadi harus dimanfaatkan dengan baik
Manusia adalah bentuk cobaan paling nyata untuk manusia lainnya. Dan aku yakin pasti bahwa manusia yang menjadi cobaan untuk kehidupanku adalah orang yang sedang cengengesan itu, Jenoandro Aditama.
Aku tidak tau hal besar macam apa yang akan aku saksikan di liburan kali ini. Namun mengingat cobaan-cobaan yang aku lewati, harusnya itu adalah hal yang luar biasa.
"Olive nggak sebangku sama abang?" dengan entengnya Bang Jeno mengangguk. Membuatku ingin menangis saja karena dia memilih duduk dengan orang asing (dibaca salah satu temannya) dibandingkan dengan adiknya sendiri.
Aku mencatat ini sebagai sebuah kesalahan yang tidak akan aku ulangi. Ketidakacuhanku membuatku terjebak, berkali-kali di situasi yang tidak menguntungkan.
Aku terlalu malas untuk menanyakan hal-hal terkait liburan, bahkan untuk sekedar nomor kursi sekali pun. Sampai tadi pagi aku masih berpikir positif bahwa kami hanya akan pergi berdua, maksudku bersama dengan beberapa temannya saja. Aku tidak menduga bahwa beberapa temannya ada lumayan banyak, dan semuanya adalah laki-laki matang.
Sabar, Liv. Sabar.
"Perkara duduk doang, Liv. Lo nggak bakal ilang kok walaupun nggak duduk bareng gue." Tidak bohong jika aku ingin meninjunya sekarang. Sekali lagi aku tegaskan bahwa ini bukan karena aku manja dan tidak mandiri, hanya saja aku tidak habis pikir dengan kelakuannya — lagi dan lagi.
Ada pilihan untuk duduk bersama, tetapi dia mengabaikannya. Mungkin jika ada perempuan yang ikut bergabung di kelompok liburan ini, aku masih bisa memahami jika dia membuatku duduk dengan perempuan itu. Namun faktanya tidak, lalu kenapa dia malah membiarkanku duduk dengan orang asing? Sialan memang, bakal aku aduin mama kalo nanti udah pulang.
Memilih tidak menanggapinya, aku berlalu untuk mencari kursiku sendiri. Meninggalkannya yang dengan ekspresi kaget, karena aku memilih tak mengkonfrontasi seperti biasanya. Aku sudah terlalu lelah, padahal masih ada di Jakrta. Jadi dari pada semakin lelah karena berdebat dengannya, aku memilih untuk pergi. Toh berdebat sampai berbusa pun, tidak ada fakta yang akan berubah. Semoga teman sebangkuku bukan salah satu temannya.
***
Seperti adegan dalam sebuah drama, aku yang sedang melihat ke arah luar dari jendela pesawat memalingkan wajah. Melihat ke arah samping, tepat ke arah tempat duduk yang ada di sebelahku.
Apabila diberi efek slow motion, ini akan benar-benar sempurna seperti sebuah scene drama yang dirancang oleh penulis naskahnya. Saat di mana sang tokoh utama perempuan akhirnya bertemu dengan tokoh utama laki-laki, dalam sebuah pesawat untuk tujuan yang sama.
"Kok Bapak yang duduk di sini?" masih setengah kaget, satu kalimat pertanyaan meluncur manis dari bibirku. Aku bahkan belum sadar, sampai akhirnya orang yang merima pertanyaan tersebut menaik turunkan alis heran.
"No kursi saya di sini," jawabnya santai. Lalu duduk manis.
Aku melihatnya dengan seksama. Entah setan apa yang merasuki, aku berani memperhatikannya dalam jarak sedekat ini. Padahal biasanya aku tak punya keberanian, bahkan untuk sekedar menatap matanya ketika kami sedang saling bicara.
"Ini bapak nggak sengaja pilih duduk sama saya kan?" sepertinya aku benar-benar menggila sekarang. Bahkan hingga berani melontarkan pertanyaan tak masuk akal pada laki-laki yang beberapa waktu ini membuat kerja jantungku sedikit lebih keras.
Pak Gama terlihat kaget. Namun sedetik kemudian mencoba terlihat biasa seperti sebelumnya. Kaget nih pasti bapak, gue yang nanya juga. Kaget banget! Kayaknya gue beneran udah gila — batinku setelah melihat responnya itu.
"Kamu ternyata sangat percaya diri ya?"
Aku sudah pasrah jika besok selasa, saat aku kembali bekerja itu ternyata adalah hari terakhirku. Aku bertekad tidak akan mundur dari obrolan tidak jelas ini, walaupun yang aku pertaruhkan adalah posisi magangku yang baru sebulan.
"Bukan sangat percaya diri, Pak. Saya hanya tipe yang tidak suka terjebak dalam ketidakpastian." Jika sampai terjadi sesuatu setelah ini, aku sepenuhnya akan menyalahkan Bang Jeno. Dia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kegilaanku sekarang.
"Saya nggak bisa menutup mata kalau selama ini bapak selalu memperlakukan saya berbeda dibandingkan teman-teman saya yang lain. Ditambah dengan kejadian hari ini, saya nggak mau besar kepala." Aku menghembuskan napas dan mengipas-ngipas wajahku dengan tangan. Rasanya atmosfir di sekitarku menjadi panas, entah sungguhan atau hanya perasaanku saja.
Aku juga tak mau berpikir panjang, sebab baru saja mulai beraksi dan aku tidak ingin menyesal. "Sebagai perempuan, jujur saya mulai baper, Pak. Makannya untuk mencegah saya semakin baper, saya butuh kejelasan dari bapak." lanjutku seadanya. Tidak menutupi apapun, termasuk apa yang aku rasakan selama ini.
Pak Gama masih diam, tetapi tatapannya terlihat sangat dalam. "Apa jawaban saya akan memengaruhi sikap kamu ke saya?"
Aku mengangguk. "Kalau saya jawab saya tertarik sama kamu gimana?"
MAMA JEMPUT OLIV SEKARANG!
SEBELUM PESAWATNYA TERBANG
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...