Senior

3.8K 297 2
                                    

Selain takdir, satu hal yang biasanya terjadi tanpa campur tangan manusia adalah kebetulan. Umumnya orang akan menggunakan satu kata ini ketika kejadian di luar rencana terjadi sekali atau dua kali, dan menggunakan satu kata lainnya, which is takdir apabila kejadian di luar rencana terjadi berkali-kali. Memang Tuhan telah mentakdirkannya seperti itu.

Dari berjuta-juta kemungkinan kebetulan yang bisa terjadi, salah satu yang ingin ku tertawai adalah kebetulan yang baru saja aku alami. Kebetulan dimana aku bertemu dengan anak Tante Ani, yaitu Mas Farhan, yang ternyata adalah salah satu seniorku di kampus. Bahkan kemarin melakukan wisuda bersama dengan angkatanku.

“Loh, Olivia?” aku tersenyum menanggapi. Wajahnya kelihatan kaget, terlihat jelas dari ekspresi yang ditunjukkannya.

“Iya, Mas. Gue.” Jawabku. Tentu saja, sebenarnya sama kagetnya dengan dia. Namun bedanya, aku lebih cepat sedikit sadar dibandingkan dengan dia.

“Kok bisa di sini?” seolah hanya ada kami berdua, Mas Farhan kembali mencercaku dengan pertanyaan. Padahal di sini masih ada kedua orang tua kami, yaitu mama dan juga Tante Ani.

“Loh, kamu kenal sama Oliv, Hans?” aku melirik ke sumber suara. Tentu saja ibu-ibu tidak bisa dikesampingkan eksistensinya, sehingga sebelum aku menjawab sudah keduluan olehnya.

“Ini adek tingkat Hans di kampus, Ma.”

Mendengar jawaban anaknya, Tante Ani kelihatan sangat antusias. “Wah, beneran, Hans?”

“Iya, tante.” Kali ini, aku menginterupsi obrolan ibu dan anak ini. Sekalian mengonfirmasi bahwa apa yang dikatakan oleh Mas Hans adalah fakta.

“Kemarin malah wisuda bareng, Ma,”

Mama ikut terkejut mendengar fakta ini. “Lah, beneran dek?” aku mengangguk.

“Kok gak bilang mama?” 

Aku meringis. “Lah, kan Oliv gak tau kalau Mas Hans ini anaknya Tante Ani temennya mama.” Meski kami satu jurusan, memang sangat mungkin jika kami tidak bertemu di acara wisuda. Selain karena kami yang memang beda angkatan, kami dan keluarga masing-masing juga sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Apalagi waktu itu kami juga tidak tahu, bahwa ada orang lain yang kami kenal yang ikut wisuda bersama.

“Wah, kebetulan apalagi ini ya, Jeng.” Respon Tante Ani. “Bisa-bisanya kita gak ketemu di kampus, padahal sama-sama wisudanya.” 

Kami berempat berakhir dengan tertawa bersama. Menertawakan kebetulan ini, sebab terasa lucu jika dipikir-pikir kembali.

***


“Kok gue gak pernah tau ya kalo lo anaknya temen nyokap gue?” aku yang sedang santai di pinggir kolam renang di villa yang kami tempati, menoleh. Menemukan sesosok laki-laki yang kini sudah ikut duduk di pinggir kolam sepertiku.

FYI Mas Farhan ini adalah senior satu tingkat di jurusanku. Kami sama-sama pernah tergabung dalam club photography sehingga lumayan saling tau secara personal. Ya, meski tidak akrab. Hanya beberapa kali mengobrol ketika ada urusan, atau sekedar saling sapa ketika tidak sengaja berpapasan.

“Jangankan lo, Mas. Gue aja yang cewek gak tau.” Responku. “Tapi gue emang jarang ikut kumpul-kumpul juga sih, jadi wajar kalo gak banyak tahu.” Lanjutku.

Pertemuan kami sekarang, sama-sama sudah mengonfirmasi bahwa latar belakang keluarga kami berada di bidang yang sama. Namun baik aku maupun Mas Farhan, tidak ada yang tertarik untuk membicarakan lebih spesifik di mana anggota keluarga kami berada.

Dapat ku dengar Mas Hans terkekeh. “Bener sih,”

“Tapi gue bersyukur sih ada lo. Paling gak, gue gak kaya orang ilang di sini.”

“Gue juga, Mas.” Akuku. Memang awalnya aku sedikit khawatir, merasa tidak nyaman dengan partner kerjaku yang seorang profesional. Namun setelah sadar bahwa si profesional adalah seniorku di kampus, aku jadi bisa bekerja tanpa beban. “Tadinya gue ngeri juga, Mas, takut kalau ternyata partner gue yang profesional ini gak enak diajak kerja bareng.” 

Mas Hans tertawa. “Untungnya gak ya. Untung gue orangnya enak diajak kerja sama, kan?”

Aku mengangguk.

“Kok bisa nyampe sini?” tanyanya setelah tidak ada lagi yang bersuara di antara kami.

“Lumayan, bayarannya gede.” Jawabku jujur.

Lagi-lagi Mas Hans tertawa. “Kerjanya juga gampang ya, gak di protes-protes.”

Aku mengangguk menyetujui pendapatnya. Sebab yang kami hadapi adalah ibu-ibu yang tidak terlalu mengerti fotografi, semua gambar yang berhasil kami ambil selalu dipuji. Tidak peduli bagaimana pencahayannya, sudut pengambilan gambarnya, juga beberapa hal yang lainnya.

“Kalo lo sendiri, Mas?” meski pendapat kami sama, siapa tau dia juga memiliki pendapat yang lain.

“Lagi nambah portofolio buat studio gue juga.”

“Sama nyari-nyari relasi.” 

Aku baru ingat bahwa Mas Hans sudah memiliki studi fotonya sendiri. Fakta ini yang membuat dia cukup terkenal di jurusan, yang sayangnya malah sempat aku lupakan. “Lah iya, ya. Gue lupa lo udah punya studio sendiri.”

“Ya gini, masih merintis. Jadi sering dilupain keberadaannya” Jawabnya merendah. Padahal aku tahu bahwa studionya sudah cukup terkenal. Bahkan sudah memiliki ratusan ribu pengikut di Instagram.

“Sibuk ngapain setelah wisuda?” tanyanya lagi. Kebetulan aku tidak tau harus mengangkat topik obrolan apa dengannya, jadi memilih diam dan menunggu dia yang melontarkan pertanyaan.

Aku memandang dalam isi kolam. “Ya masih gini-gini aja, Mas. Nganggur.” 

“Minat jadi fotografer gue gak?” tanyanya tiba-tiba. Tentu saja membuatku yang mendengarnya langsung menoleh. Kaget.

“Maksudnya gimana, Mas?”

Mas Hans terlihat menggaruk pelan tengkuk belakangnya. “Kebetulan belakangan ini studio gue lagi berkembang. Jadi kami mau hire beberapa fotografer lagi.”

“Barangkali lo minat kan ..”

Aku tidak tahu ini dia sedang bercanda atau tidak. “Kalau ditanya minat apa gak, ya minat, Mas. Namanya juga pengangguran. Ya kali ditawari kerjaan kaga mau.”

“Cuma gue belum terlalu berpengalaman soal foto-foto.” Jawabku.

“Foto lo bagus-bagus kok. Gue sering lihat di komunitas.”

Aku meringis malu. Tidak menyangka bahwa dia akan memujiku seterang-terangan ini. “Ah, jadi malu.” Jawabku sembari tertawa, sekaligus berniat sedikit mencairkan suasana.

“Asli deh, anak-anak lain juga pasti bakal setuju.”

“Tapi kalau kerja sama gue, belum bisa kasih gaji gede.” Tiba-tiba dia sudah membicarakan bayaran. Padahal aku saja belum menerima tawarannya.

“Bukan masalah bayarannya, Mas. Ini masalahnya gue masih meragukan kemampuan gue sendiri.”

“Takut ntar berharap, taunya saingan nya berat-berat.”

“Langsung keterima kok.”

“Hah?” tanyaku kaget. Masa iya dua kali kerja harus pake jalur orang dalam semua?


Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang