Suasana yang sebelumnya serius tiba-tiba buyar. Tepat ketika suara gedoran kaca dari luar yang tidak sabaran, menyapa telinga.
Tanpa membukanya, aku sudah tau siapa sosok di luar yang merusak momen ini. Pasti sudah laki-laki yang sedang menjadi bahan pembicaraan kami, Jenoandra Aditama. Si perusak suasana!
Pak Gama membuka kaca jendela yang ada di sebelahnya. Dan dengan cepat, Bang Jeno langsung berujar. "Kalau masih mau berduaan, aturan jangan balik dulu." Lirikannya padaku, yang ku balas dengan dengusan.
"Apaan sih, Bang?" tentu saja itu adalah respon yang aku tunjukkan.
Bang Jeno hanya mengendikkan bahu, sementara Pak Gama belum bereaksi apapun. "Gue juga gak mau kali ganggu."
"Noh lihat, si papa udah penasaran sama apa yang kalian lakukan." Bang Jeno melirik ke arah tempat duduk yang memang sengaja diletakkan di halaman rumah, yang ternyata sudah ada Pak Aditama di sana. Waduh, kenapa papa tiba-tiba udah di sana? sejak kapan?
"Gue suruh nyamperin di sini, takut kalian ngapa-ngapain." Aku refleks melotot. Hubungan kami saja arahnya belum jelas. Masa iya sudah melakukan yang iya-iya?
"Kita nggak ngapa-ngapain, Jen. Tadi cuma ngobrol sebentar." Merasa bahwa emosiku mulai tersulut, dengan cepat Pak Gama mencoba mendinginkan situasi. Dia menjelaskan bahwa kami hanya mengobrol, tidak melakukan hal-hal lain yang dia tuduhkan.
Lagi-lagi Bang Jeno hanya mengendikkan bahu. Lalu malah berbalik dan mengangkat tangan kanannya seolah tidak peduli.
Terlanjur kesal, aku pun berniat keluar. Sudah tak ada minat untuk melanjutkan obrolan yang sebenarnya masih belum selesai itu.
Namun ternyata, pintu masih dikunci olehnya. "Pak," panggilku sembari menoleh. Mengirimkan signal bahwa aku ingin ke luar, jadi tolong dibuka kuncinya.
"Sebentar," ujarnya singkat.
"Ada apa lagi?" aku tidak sadar bahwa nada bicaraku sedikit sewot. Moodswing ku sangat buruk hari ini, dan sepertinya dia adalah korban yang paling banyak menerima dampaknya.
"Saya mau bilang satu hal lagi,"
Aku melirik ke arah papa yang masih menatap lurus ke arah kami. Aku tak mau dituduh macam-macam, jadi sepertinya harus langsung aku iyakan saja permintaaannya. "Apa?"
"Saya sayang sama dan cinta sama kamu."
Aku mendadak speechless.
"Saya mau tanya, kamu mau jadi pasangan saya?"
Sati detik. Dua detik. Tiga detik. Otakku kosong. "Saya belum lulus kuliah, Pak."
Kenapa malah jawaban itu yang ke luar dari mulut lo, Liv?
***
"Dek," aku menghentikkan langkah.
"Please ya, pa, jangan suruh Oliv ikut dalam obrolan kalian. Hari ini suasana hati Oliv lagi kacau," Sebelum papa mengatakan sesuatu, aku langsung menyuarakan keberatanku bila ingin di ajak mengobrol. Aku tidak siap harus lebih lama terjebak dengan Pak Gama, apalagi setelah dia mengatakan sesuatu yang sebenarnya sudah cukup lama aku duga.
Tebakan gue bener, tapi malah perasaan gue jadi nggak karuan.
Papa mengangguk. Beliau ini memang best papa ever after di seluruh dunia. "Oliv masuk dulu ya,"
"Nanti biar Pak Gama yang jawab kalau papa penasaran sama sesuatu." Toh papa juga sudah tau bahwa hari ini aku diajak kondangan olehnya, jadi outfit kami yang akan terlihat sama tidak akan terlalu mengherankan.
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menghubunginya. Waktu rasanya berjalan lama sekali, karena aku masih saja kepikiran dengan kejadian beberapa jam lalu.
Terhitung dua jam sejak suara mobilnya menghilang dari halaman rumah. Harusnya dia sudah tiba di rumahnya, karena lokasi perumahan kami terbilang cukup dekat.
Aku membuka gorden jendela karena membutuhkan udara malam yang dingin. Tidak ada lagi semangat untuk memejamkan mata dan menyambut hari berikutnya dengan istirahat, padahal jam sudah hampir menunjukkan tengah malam.
There's something missing, a whole of my heart.
"Kenapa ya gue gak inget apapun soal Pak Gama?" aku bergumam pada diriku sendiri. Lalu berjalan ke arah ranjang, dan menunduk untuk mencari sebuah kardus yang memang sengaja aku letakkan di kolongnya.
Bisa dibilang aku adalah tipe orang yang tidak mudah membuat sesuatu, meski barang tersebut sudah tidak berguna. Aku selalu beranggapan bahwa ada cerita dibalik setiap barang yang aku miliki. Makanya untuk beberapa barang yang sudah tidak terpakai, aku akan menyimpannya di dalam kardus atau box, lalu menyimpannya di tempat yang tidak terjangkau oleh mata.
Aku duduk dan bersandar di pinggir ranjang. Mulai memilah satu persatu barang yang ada di dalam kardus, sampai akhirnya menemukan sebuah kotak kado kecil berwarna merah muda.
"Sampai bertemu di versi kita yang lebih dewasa, dan saya akan mengatakan semua yang saya rasakan. I promise with you," begitu tulisan tertera yang ada di dalamnya.
Otakku tiba-tiba menemukan sebuah ingatan singkat. Tentang seorang anak kecil yang menggunakan bando warna merah muda dan seorang remaja tampan, sedang asyik bermain di taman.
Apa gue pernah kecelakaan dan lupa ingatan?
Tapi kayaknya nggak deh.
Emang guenya aja yang pelupa tingkat dewa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Literatura Feminina"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...