"Bang, tolong mejanya di pindah ke sebelah sana ya." Aku meminta tolong pada seorang bapak yang membantu bekerja menata barang di rumah. Hari ini mama berniat untuk membuat acara pengajian bersama anak-anak yatim, dan sejak pagi sudah banyak orang datang untuk mempersiapkannya.
Aku yang didapuk sebagai ketua acara dadakan pun ikut sibuk. Sejak pagi sudah ke sana ke sini untuk melengkapi logistik, termasuk bertanggung jawab untuk memindahkan barang-barang yang ada di rumah kami karena acara yang diselenggarakan berada di ruang tamu.
"Di sini neng?" aku mengangguk. Mengangkat ibu jariku untuk menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh si bapak sudah bagus. Sangat sesuai dengan instruksi.
"Dek!" Aku menoleh ke belakang. Menemukan Bang Jeno yang baru turun dari lantai atas, dengan kaos lengan pendek dan celana di atas lututnya.
"Kenapa, Bang?" aku berbalik dan melangkah mendekat ke arahnya. Sepertinya ada hal penting, sebab dia yang tadi ku ajak turun ke lantai bawah tidak mau, kini dengan suka rela datang sendiri.
"Gue mau minta tolong."
Nah kan bener!
Lagian kenapa gak langsung to the point."Kenapa, Bang?" satu-satunya pekerjaan yang tersisa adalah menunggu makanan dari pihak catering datang. Meski aku tak tau apa menunya, aku cukup percaya diri bahwa makanan yang dipilih sendiri oleh mama tidak akan mengecewakan.
Aku pun bisa bernapas tenang. Dan membantu si abang-abang satu ini sepertinya bukan masalah.
"Tolong ambilin hp gue dong."
Aku menatapnya heran. "Di mana?"
"Apartemen Jay."
"Lah?" ujarku bingung. Kenapa hp nya ada di sana sementara yang punya ada di sini?
"Gue semalem abis main ke sana. Terus karena pulangnya buru-buru, tuh hp jadinya ketinggalan." Jelasnya singkat.
Aku mengangguk, lalu menggeleng. "Nggak mau ah. Mager." Putusku.
Bukannya aku ingin berbohong, aku hanya tak mau untuk mendatangi apartnya Bang Jay. Bukan karena masih suka — karena kini aku sudah memiliki Mas Gama yang super perfect dari segala sisi. Hanya murni malas, sebab jarak tempat tinggalnya memang lumayan jauh dari sini.
"Ayo lah. Gue butuh banget."
"Gue bayar deh." Tawanya. Dia tahu betul bahwa adik semata wayangnya ini memang lemah terhadap hal yang bernama uang. "Satu juta."
"Lo bukannya lagi nganggur? kenapa gak pergi sendiri aja."
Bang Jeno menggeleng. "Kalau gue bisa, gak mungkin gue minta tolong lo lah, dek."
"Bentar lagi gue mau ada zoom kerjaan, jadi gabisa ke luar."
"Ya udah ntar aja ngambilnya." Jawabku enteng.
"Gue butuhnya sekarang. Ada beberapa hal yang kudu gue cek." Dia sudah terlihat kesal, tetapi masih berusaha untuk menahan diri.
Mataku berbinar. Namun tetap saja harus bersikap jual mahal. Ini adalah kesempatan langka yang tidak boleh aku lewatkan. "Tambahin lah. Segitu mah cuma buat beli bensin sama bayar tol doang."
Tidak papa aku menggunakan alasan yang berlebihan, yang penting uang yang ditawarkannya bisa bertambah.
Bang Jeno mendengkus. "Satu setengah," kan apa aku bilang?
"Dua atau gue gak jadi." Putusku final. Agak kurang ajar, tetapi tidak apa-apa karena ku tahu dia punya banyak uang.
Dengan ekspresi tidak relanya yang ketara sekali, Bang Jeno akhirnya mengangguk. "Deal."
"Gue transfer pas hp udah di tangan."
Aku mengangguk semangat. Demi dua juta di tangan, berjalan di bawah terik matahari sekali pun akan aku lakukan.
Setalah terjadi kesepakatan di antara kami, Bang Jeno memilih berbalik. Sepertinya akan kembali ke dalam kamarnya.
Namun saat berada di tangga paling bawah, dia berhenti dan berbalik. "Jangan lupa kasih tau Gama. Gue gak mau ikutan repot kalau kalian ada salah paham lagi."
***
"Mas, lagi sibuk gak?" sembari bersiap, aku mengirim pesan pada Mas Gama.
Belum juga aku selesai menyapukan sunscreen ke seluruh wajah, pesan balasan darinya sudah muncul.
"Nggak, yang. Mas lagi nyantai aja di apart."
"Kenapa?"
"Aku mau minta izin ke tempatnya Bang Jay, Mas."
"Mau ngambil hp nya Bang Jeno yang ketinggalan," cepat-cepat aku memberitahu alasannya. Aku tak mau membuatnya curiga, sebab dia adalah salah satu orang yang tahu bahwa dulu aku sempat ada rasa dengan Bang Jay.
Kali ini, pesan balasannya datang lebih lama. Membuatku sedikit was-was khawatir.
"Sama Jeno?" akhirnya dia membalas.
"Sendiri, Mas. Bang Jeno bentar lagi ada meeting online katanya, jadi gak bisa ikut. Makanya minta tolong Oliv."
"Kamu tau di mana apartnya?"
"Cuma tau alamatnya sih, tapi kalau unitnya gak tau."
"Tapi gampang sih kalau itu, bisa nanya Bang Jeno atau Bang Jaynya langsung lewat chat."
"No no," tanggapannya. Sepertinya untuk pilihan opsi nomor dua — I guest.
"Kamu sekarang di mana?"
"Masih di rumah, lagi siap-siap." Jawabku jujur. Sebenarnya belum bisa dibilang sedang bersiap juga, sebab sedari tadi aku malah berbalas pesan dengannya.
"Udah gak usah dilanjutin. Biar Mas aja yang bantu ambil hp Jeno."
"Mas serius?"
"Emang gak ngerepotin?" tanyaku memastikan. Sebenarnya sih aku justru senang, tetapi tak enak dengannya. Dia yang harusnya beristirahat di hari liburnya, justru harus ke luar untuk membantu pekerjaan yang sebenarnya bisa aku lakukan sendiri.
"Nggak, yang. Nggak ada yang ngerepotin."
"Mas juga lagi nganggur kok ini." Tambahnya meyakinkan.
"Bantu Mas, ya? biar Mas aja yang ambil. Mas gak mau over thinking gara-gara mikirin kamu yang mau ketemu Jay."
"Oliv sayang Mas, Mas tau kan?" jika yang dikhawatirkannya adalah perasaanku, maka dia harus berhenti. Aku sudah tak punya perasaan apa pun lagi dengan Bang Jay, sebab semua rasaku sudah beralih padanya. Gama Pradikta.
"Mas tau sayang,"
"Atau mau mas nemenin aja?"
"Tapi apart mas ada di tengah, ntar bolak-balik." Aku yang menawarkan, aku juga yang merasa itu bukan ide yang baik. Lokasi apartemennya Mas Gama ada di tengah, dan jika dia menjemput ku maka hanya akan menambah waktu tempuh.
"Nggak papa Mas aja yang ambil. Biar sekalian ada alasan mampir ke rumah kamu."
Aku tersenyum. Kenapa dia segemes ini sih?
Kalo adem ayem gini, kan enak ya dilihat

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...