Pekerjaanku benar-benar berantakan.
Sejak mendapatkan informasi dari Mas Gama, pikiranku menjadi bercabang-cabang. Berkali-kali tidak bisa fokus hingga mendapat teguran dari Mas Hans.
Aku tau ini adalah kabar yang membahagiakan. Setiap perempuan pasti akan merasa bahagia apabila diperkenalkan dengan ibu pasangan. It means bahwa si laki-laki memang tidak main-main dan ingin menyeriuskan hubungan.
Namun dalam konteks ini, aku tidak tau apa yang aku rasakan. Aku bahagia, tentu saja. Tetapi ada perasaan lain yang juga datang, seperti kekhawatiran. Padahal ini bukan pertama kalinya kami akan bertemu, karena beberapa bulan yang lalu mama sempat mengajakku untuk bertemu dengan mama Mas Gama.
"Lo kenapa deh," Mas Hans terlihat lelah. Kesalahan yang sedari tadi aku buat memang tidak fatal, tetapi terlalu sering dilakukan untuk ukuran orang yang menyebut dirinya profesional.
Aku menggeleng, "Sori, Mas."
Tidak ada kata lain yang bisa aku ucapakan. Aku memang salah, dan tidak ada pembenaran untuk alasan kenapa sedari tadi aku terus berbuat salah.
"Udah lo duduk aja sana." Pintanya. Padahal tadi dia memintaku untuk mengatur beberapa lampu karena klien meminta pengambilan foto juga dilakukan menjadi di dalam ruangan.
"Tapi ini, Mas?" jawabku sembari menunjuk beberapa alat untuk mengatur lighting.
"Udah gapapa. Gue bisa handle sendiri."
"Lo istirahat aja," lanjutnya.
Meski tidak enak, aku tetapi mengikuti anjurannya. Toh jika aku bersikeras, mungkin malah hasilnya akan jauh lebih berantakan. Aku banyak melamun, dan semua instruksi yang diberikan Mas Hans tidak benar-benar aku lakukan.
***
"Nih, minum." Aku mendongak dan menemukan Mas Hans yang sudah di depan ku. Dia memberikan sebuah kaleng softdrink padaku, yang aku terima dengan senang hati.
"Thanks, Mas."
Mas Hans mengangguk, lalu duduk di sebelah kananku. Kebetulan saat ini aku duduk di sebuah bangku kecil yang muat untuk tiga atau empat orang
"Lagi ada masalah?" tanyanya tiba-tiba. Membuatku sedikit heran karena ternyata dia memperhatikanku.
"Nggak kok," jawabku sembari tersenyum. Selain karena kami tidak 'se akrab' itu untuk saling berbagi cerita, aku juga tidak mungkin menceritakan keresahanku padanya.
Selain keluarga kami, orang luar belum ada yang tahu bahwa aku dan Mas Gama menjalin hubungan. Kami memang sempat menghadiri beberapa acara bersama, tetapi baik aku maupun Mas Gama belum ada yang secara terang-terangan berbicara mengenai hubungan kami. Sudah tidak backstreet, tetapi belum go public. Entah apa kata yang tepat untuk menggambarkannya.
"Sori banget ya, Mas. Gue hari ini gak fokus banget." Mengaku salah adalah hal yang memang harus aku lakukan. Aku hampir mengacaukan pekerjaannya gara-gara pikiranku yang kemana-mana.
"Gapapa, tapi lain kali jangan kaya gitu ya."
"Lo harus bisa make sure kalau perasaan pribadi lo gak bakal ganggu pekerjaan, Liv." Nasehatnya. "Lo baru mulai bangun karir profesional, jadi kalau bisa serve the best for your client."
Aku hanya mengangguk. Apa yang dia katakan semuanya benar, jadi aku harus mengingatnya dalam pikiran. Jangan mencampur-campurkan urusan pekerjaan dengan perasaan pribadi. Jika aku terus begitu, aku tidak akan sukses. Tidak ada orang sukses yang selalu mengikuti mood. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah bekerja keras, baik dalam kondisi suasana hati yang menegangkan atau sebaliknya.
Belum juga kami melanjutkan obrolan, suara getaran ponsel yang ada di saku celanaku menginterupsi ku dengan Mas Hans. Sepertinya dia juga sadar jika ada yang menghubungi ku, jadi memilih diam ketika aku sedang berusaha untuk mengambil alat komunikasi tersebut dari kantong.
"Halo, Mas?" aku menyapa orang di balik telepon. Sepertinya dia sudah jalan untuk menjemput ku.
"Mas udah dekat ya," jawabnya. Membuatku menarik napas diam-diam karena hal yang sedari tadi aku pikirkan, kini sudah tak bisa lagi dihindari.
"Oke, Mas."
"Nanti infoin aja kalau udah sampai." Lanjutku."Oliv udah kelar kok,"
Mas Gama hanya mengiyakan semua yang aku katakan. Lalu menutup telepon, membiarkanku sendiri kembali ke dalam kekhawatiran-kekhawatiran yang terus berputar di dalam kelapa.
"Sori, Mas. Gue udah di jemput nih."
"Mau prepare dulu." Aku memberitahunya bahwa tidak bisa lagi mengobrol singkat dengannya.
"Lo gapapa kan gue tinggal?" tanyaku tidak enak. Sudah menjadi beban di pekerjaan hari ini, dan sekarang ingin meninggalkannya pulang lebih dulu.
Mas Hans mengangguk. "Dijemput kakak lo?"
Aku menggeleng. "Pacar gue, Mas." Jawabku sembari meringis, lalu berdiri dan bersiap pergi. Tanpa sadar bahwa ternyata ada perubahan ekspresi dari laki-laki yang baru ku ajak berbicara ini.
Tunggu saya Ibu Mertua.
Gimana perasaan kalian pas pertama kali dikenalin sama calon ibu mertua?
Sharing dong
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...