What's about dating?
Dating is knowing***
Menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis as known as pacaran adalah hal yang lumrah dilakukan oleh anak muda. Entah hanya untuk main-main saja, atau memang ada attention untuk mengarah hal yang lebih serius.
To be honest, aku belum pernah yang namanya pacaran. Bukan berarti karena tidak ada yang mendekati, tetapi karena aku belum siap untuk menjadi diri sendiri di depan orang lain. Dating is about being transparant, and it's true that I'm not ready to show him everything about me.
Menjalin hubungan berarti berkomitmen untuk menunjukkan seperti apa diri kita. Bersikap seperti biasa, juga mengkomunikasikan setiap hal agar bisa saling mengetahui sifat diri masing-masing. Bukannya malah diam-diam, tetapi set the expectation that the partner will understand. Terdengar too much, tapi memang seperti itu penilaian ku terhadap kata 'pacaran'.
"Boleh saya muter musik, pak?" setelah meninggalkan apartemen, baik aku maupun dia — laki-laki so call Gama tidak ada yang berbicara. Mendadak suasana sedikit canggung akibat tidak ada yang membuka obrolan.
"Boleh," dia mengangguk. Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara merdu Rizky Febian mengalir lembut memenuhi seisi mobil.
"Liv," aku yang sedari tadi sibuk melihat luar, menoleh. Mengernyitkan dahi karena Pak Gama tiba-tiba menghentikan mobilnya. Namun saat sadar bahwa lampu lalu lintas di depan kami berwarna merah, aku langsung mengerti.
"Soal permintaan saya yang tadi, tolong dipikirkan dengan serius ya?" pintanya sembari memandang lurus ke arahku.
Ditatap sedemikian itu, tentu saja aku deg-degan. Perasaan ingin mengiyakan ada, tetapi otakku masih cukup waras untuk tidak melakukannya. "Bapak nggak masalah sama perbedaan umur kita?" tanyaku hati-hati.
Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan perbedaan umur kami yang cukup besar. Namun mengingat bahwa dia seorang yang cukup penting di negeri ini, aku sedikit takut bahwa jika hubungan kami kelak terekspos, dia akan dihakimi banyak orang. Lebih parahnya lagi, akan dianggap pedofil, ya meski sebenarnya aku sudah tergolong perempuan dewasa yang sudah lebih dari dua puluh. Tapi siapa yang tahu kan? tidak ada yang tahu soal masa depan.
Selain itu, aku juga kurang yakin dengan diriku sendiri. Sebagai anak bungsu, aku cenderung dimanja. Suka memaksakan keinginan, juga mudah emosi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Makanya aku juga meragukan diri ini, ragu bahwa sifatku yang masih sangat childish ini akan merepotkannya di masa depan.
"Nggak," jawabnya mantap.
"Atau kamu yang keberatan kalau punya pasangan yang sudah tua?" kali ini nada bicaranya berbeda. Terdengar sedih di telingaku yang cukup sensitif ini.
Cepat-cepat aku menggeleng. Enggan membuatnya salah paham bahwa aku mempermasalahkan perbedaan usia di antara kami. "Saya nggak masalah, pak."
"Tapi ..." aku sedikit bingung bagaimana menjelaskannya. Perbedaan umur mungkin tidak akan menjadi masalah bagi kami. Namun bagi orang lain? bisa saja iya. Aku takut bahwa hal itu akan memengaruhi perjalanan karirnya. Meski begini, aku tidak egois untuk tidak peduli dengan mimpi orang lain. Aku tahu bahwa dia mencintai pekerjaannya, jadi akan sangat disesalkan jika karirnya mandek karena terlibat skandal dengan bocah ingusan sepertiku.
Mendengar kalimatku yang terjeda, alisnya bertaut heran. "Kenapa?" Pak Gama kembali melajukan mobil. Mobil di belakang kami sudah dua kali membunyikan klakson, membuat kami akhirnya sadar bahwa lampu sudah berganti menjadi berwarna hijau.
"Saya khawatir sama pandangan orang, Pak." Akhirnya aku memilih jujur. Semua yang diawali dengan kebohongan tidak akan berakhir baik, jadi mengutarakan apa yang aku pikirkan adalah keputusan yang paling bijak.
Terdengar helaan napas dari sebelah. Lalu kemudian sebuah tangan terasa menggenggam tanganku, dan mengalirkan kehangatan. "Liv, jangan terlalu memikirkan pendapat orang." Ujarnya sembari menoleh ke arahku. Lalu sedetik kemudian kembali ke jalanan karena bagaimana pun dia sedang fokus menyetir.
"Tapi bapak seorang menteri," responku sembari menatap ke arahnya.
"Terus kenapa?"
Aku bingung sendiri bagaimana menjawabnya. "Ya masa pacaran sama anak kuliahan,"
"Emang salah?" tanyanya. Kali ini hanya melirik, sebab kondisi jalanan cukup ramai. Dia harus membagi fokus antara mengemudi dan melanjutkan obrolan yang cukup berat ini.
"Ya enggak sih," jawabku ragu-ragu.
"Emang anak kuliahan yang mau saya pacarin masih di bawah umur?" lagi-lagi aku menggeleng.
"Apa dia punya pacar?" tanyanya lagi.
"Nggak," responku cepat. Bahkan sangat cepat hingga membuatnya menoleh.
Pak Gama tersenyum. "Terus masalahnya dimana?"
Iya, masalahnya dimana?
"Saya takut bapak dihujat orang." Akhirnya kalimat itu ke luar dari mulutku. Kekhawatiran yang memiliki porsi paling besar diantara kekhawatiran-kekhawatiran yang lain.
"Kenapa?"
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar tidak paham atau hanya berpura-pura. Sebagai seorang yang kehidupannya tidak lepas dari komentar orang — karena termasuk dalam public figure, harusnya dia paham betul bahwa jika aku mengiyakan permintaannya yang mengajak pacaran, maka ini sudah bukan lagi terkait aku dan dia saja. Tetapi juga orang tua kami, dan juga para netizen yang akan siap sedia ikut berkomentar. And off course, aku tidak akan mau menghadapi kebrutalan orang-orang di dunia maya.
"Sekarang saya mau tanya," Pak Gama masih setia menggandeng tanganku. "Kamu tertarik dengan saya?"
Setelah diam beberapa saat, aku mengangguk pelan. Membuat si penanya tersenyum cerah dari balik kemudinya. "Kamu bahagia setiap kali lagi sama saya?" lagi-lagi aku mengangguk.
"Kamu mau jadi pacar saya?" untuk ketiga kalinya, aku mengangguk.
"Oke. Berarti mulai sekarang, kamu udah resmi jadi pacar saya."
Hah?
Kok jadi gini?Kan barusan gue nggak fokus sama pertanyaannya.
Sia-sia dong waktu dua hari yang gue minta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...