Obrolan Masa Depan

4.3K 306 1
                                        

Standar kebenaran bukanlah berasal dari banyaknya orang yang berbuat. Sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang itu belum tentu benar, begitu juga sebaliknya.

Menjadi wanita karir di zaman modern sudah bukan lagi hal yang tabu. Para perempuan berlomba-lomba untuk menjadi independent woman agar bisa berdikari di atas kaki sendiri. Di zaman dulu, hal ini mungkin akan mendapatkan kecaman dari lingkungan. Namun untuk sekarang, ini sudah termasuk dalam hal yang normal.

Baik pria maupun wanita, keduanya punya hak yang sama untuk menggapai cita-citanya. Menikah dan membangun rumah tangga bukan lah sebuah halangan, tetapi harusnya menjadi sebuah dorongan semangat karena adanya dukungan dari pasangan. 

Bahkan dalam beberapa kasus, menjadi wanita yang bekerja setelah memiliki pasangan justru memiliki sisi positif karena waktu yang dihabiskan setiap harinya tidak hanya bersih-bersih rumah sehingga rasa stres pun akan jauh lebih berkurang.

"Mas," aku memanggil Mas Gama yang sedang sibuk dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya.

Kejadian beberapa hari yang lalu tidak mengubah apa pun di antara kami. Baik aku maupun Mas Gama, kita sama-sama bersikap biasa. Tidak menyinggung apa yang terjadi, dan menjalani kehidupan seolah tak pernah terjadi apa-apa. 

"Dalem, sayang."

Aku menahan senyumku sekuat tenaga. Baru saja aku membaca alternative universe di tiktok, di mana tokoh utamanya adalah mas-mas jawa yang ketika dipanggil menjawab dalem. Pantes sih, main lead nya langsung meleleh, batinku.

"Kenapa?" tak mendengar jawaban dariku, Mas Gama mendongak. Membuatku menahan napas karena tampilannya dengan kacamata selalu membuatku terpesona.

"Masih banyak kerjaannya?"

Pulang dari studio aku memang tak langsung balik ke rumah. Alih-alih beristirahat dengan rebahan di dalam kamar, aku justru meminta Mas Gama untuk menjemput karena aku ingin main di apartemennya. Menemani dia bekerja sembari rebahan dan menikmati banyak camilan.

"Kenapa? bosen ya?" bukannya menjawab, dia malah balik bertanya. Lalu meletakkan kertas-kertas yang sedari tadi di pegangnya dan mendekat ke arahku.

Dengan polosnya, aku mengangguk. Sudah hampir tiga puluh menit aku hanya diam dan melihatnya bekerja, sampai tidak sadar sudah menghabiskan banyak camilan. Namun lama-lama aku bosan, sebab ingin mengajaknya ngobrol tetapi takut mengganggu.

"Ya udah, Mas temenin ngobrol kamu dulu."

Aku tersenyum senang. Mas Gama selalu sangat pengertian. Tanpa aku meminta pun, dia akan langsung paham akan apa yang aku butuhkan.

"Sambil nyender boleh gak?" hari-hariku sekarang cukup monoton. Pagi hingga sore pergi bekerja, lalu pulangnya quality time bersama Mas Gama. Namun demikian, aku tak pernah merasa bosan. Rasanya tetap menyenangkan, meski kegiatan yang aku lakukan terus terulang.

Mas Gama mendekat ke arahku dan menarik tubuhku. Kini kepalaku sudah menyandar di bahunya, dengan salah satu tangannya berada di bahuku yang lain. "Maaf ya kita gak bisa ke luar. Mas ada banyak kerjaan yang harus cepet-cepet diselesin."

"Nggak papa kok, Mas. Oliv juga males ke luar." Jujur aku memang sedang malas menghabiskan waktu di luar. Selain karena harus tampil hati-hati dan tertutup, aku juga merasa tidak leluasa karena takut ketahuan.

Memang kami tidak backstreet, tetapi tetap saja kami tak siap untuk mengumbar hubungan di publik. Masih sama seperti beberapa bulan yang lalu.

"Gimana pekerjaan kamu?"

Ini adalah salah satu hal yang aku sukai dari Mas Gama. Dia selalu siap menjadi pendengar dari segala ceritaku, dan bahkan seringkali menawarkan diri dengan diam-diam melempar pertanyaan.

Sejak dahulu aku selalu bercita-cita mendapatkan pasangan yang mau mendengarkan ceritaku. Meski tergolong introvert, aku tetap senang membagikan perasaan. Terutama kepada orang terdekat.

"Biasa aja sih, Mas. Tadi ada foto produk buat iklan dari salah satu brand."

Mas Gama masih diam, seolah tau bahwa masih ada hal yang ingin aku ceritakan. "Kayaknya makin ke sini, Oliv mulai ngerasa nyaman. Kayaknya emang ini passion Oliv deh." 

Sejak dahulu, aku memang tidak terlalu senang belajar akademik. Dibandingkan membaca buku pelajaran, aku lebih senang untuk menonton video tutorial. 

"Bagus dong kalau kamu udah mulai nyaman,"

Aku mengangguk. "Oliv mau nanya deh!" Aku menegakkan posisi duduk dan menatap ke arahnya.

"Mas Gama keberatan nggak kalau punya istri yang bekerja?" sebagai orang yang cukup secara finansial, Mas Gama pasti lebih dari mampu untuk menghidupi keluarga. Apalagi dengan statusnya, membiarkan pasangannya bekerja juga bukan sebuah hal yang mudah. Kemungkinan timbulnya spekulasi buruk di luar bisa saja terjadi, apalagi jika pekerjaan pasangannya cukup bebas.

"Kenapa harus keberatan?" tanyanya balik menatap ke arahku.

Aku mengendikkan bahu. "Ya gak tau juga sih, cuma yang sering Oliv lihat biasanya istri pejabat gak pada kerja."

"Paling pada punya usaha, cuma ya asal aja." Dari pengamatan sosial yang aku lakukan pada mama dan teman-temannya, mereka cenderung tidak memiliki pekerjaan. Jika toh memiliki, biasanya mereka menjalankan usaha sendiri. Usaha yang tidak berjalan begitu baik karena tidak untung. Namun demikian tetap bisa bertahan karena selalu mendapat suntikan dana dari para suaminya.

"Kalau Mas gak keberatan sih. Asal suka ya fine-fine aja." Jawabnya yakin. "Pekerjaan rumah nanti bisa dibagi, atau bisa cari orang lain buat ngerjainnya."

"Yang pasti kerja buat bikin seneng, karena semua kebutuhan tetep jadi tanggung jawab, Mas." Lanjutnya menambahkan.

"Kamu mau tetep kerja setelah kita menikah?"

Aku tersenyum. "Emang mas yakin kalau yang bakal nikah sama Mas itu Oliv?"


Mau satu yang sepengertian Mas Gama gak?


Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang