"Dek, udah siap?" aku menoleh ke arah pintu. Tepat di mana Bang Jeno berdiri. "Itu udah ditanyain mama. Masih lama gak?" lanjutnya setelah mendapatkan atensi dariku.
"Bentar lagi, Bang. Gue tinggal masukin make up sebentar." Jawabku sembari kembali fokus untuk memasukan beberapa make up dan skin care ke tas ransel yang akan aku bawa. Ternyata acara yang dilakukan mama dan teman-temannya dilakukan di puncak, jadi aku harus sedikit prepare karena akan ikut menginap bersama mereka.
"Cepetan lah, itu mama udah teriak-teriak di bawah." Kulirik Bang Jeno masuk ke dalam kamar. Aku membiarkannya saja, selagi apa yang dia lakukan tidak menghambat ku dalam bersiap-siap.
"Bentar lah, gue kelupaan packing semalam." Aduku. Aku asyik maraton drama A Shop for Killer hingga lupa bahwa aku belum bersiap untuk kegiatan hari ini.
"Makanya jangan nonton mulu,"
Aku mendengkus. "Kalau gak bisa bantu, mending diem aja deh, Bang."
"Gue juga maunya gak ikut campur kali."
"Cuma kan gue ditugasin mama buat nganter kalian. Jadi gue mau cepet-cepet lah, biar bisa balik tidur lagi."
"Ini udah selesai," aku menarik resleting ranselku. Lalu berdiri dan menghadap ke arahnya. "Ayo!" Ajakku sembari mencangklongkan tas ke punggung.
"Kamera lo udah di bawa?"
Aku mengangguk. "Aman,"
"Udah ngabarin Gama belum?" aku yang sibuk menata posisi tas menghentikan aktivitas tanganku.
"Perlu kah?" tanyaku. Mas Gama masih sibuk dengan tugas luar kotanya, jadi aku tidak mau menganggu. Apalagi sejak kemarin dia slow respon, jadi aku tak yakin jika aku menghubunginya dia akan langsung menjawab.
Bang Jeno berdiri dan menoyor kepalaku. "Ya perlu lah, Dek. Seenggaknya dia tau lo mau ada kegiatan. Jadi kalau nanti lo nya susah dihubungi, dianya nggak khawatir."
Aku mengikuti langkah Bang Jeno yang sudah ke luar dari kamar. "Tapi dari kemarin dianya yang slow respon, Bang. Kayaknya lagi sibuk banget."
"Lagian gue juga cuma mau ikut acaranya mama. Bukan mau ke mana-mana." Lanjutku. Sebenarnya sedang sedikit malas juga menghubunginya, sebab beberapa pesanku yang dikirimkan sebelumnya pun belum mendapat balasan.
"Ya kan lagi dines. Gue juga kalo lagi ada kerjaan di luar kota suka susah dihubungi kan?" aku mengangguk.
"Makanya sana hubungin dulu. At least lo chat, ngabarin kalau ikut acaranya mama di puncak, terus nginep."
Aku mengangguk. Setelah dipikir-pikir memang apa yang dia katakan itu benar, jadi aku memutuskan untuk mengikutinya. Aku tidak mau memberi celah akan sebuah kesalahpahaman, jadi sebisa mungkin selalu mengkomunikasikan apa yang sedang aku lakukan. Namun belum juga aku mengirim pesan, teriakan sang nyonya rumah yang sudah tak sabaran berhasil menginterupsi kegiatan mengirim pesan yang belum juga aku lakukan.
***
"Dek, bangun." Suara seseorang yang memanggil namaku terdengar.
Aku melenguh pelan, lalu membuka mata perlahan sembari menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. "Udah sampai, Dek. Ayo bangun." Kali ini, aku tau bahwa mama yang ada di bangku belakang lah yang berbicara. Suaranya sudah sangat ku hapal, bahkan di luar kepala.
"Abang mau ikut turun apa langsung balik?" tanya mama pada supir pribadi kami khusus untuk saat ini— Bang Jeno.
"Langsung balik aja, Ma." jawabnya. Pasti enggan untuk bertemu dengan teman-teman mama yang memang suka menjodohkannya dengan anak-anak gadis mereka.
"Nggak cape, Bang?" tanya mama. Sementara aku pun masih memilih diam, sebab masih mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang masih tercerai berai.
"Nggak kok, Ma. Aman."
"Abang ada janji juga sama temen di Bogor. Jadi gak langsung balik ke Jakarta." Aku sedikit curiga bahwa dia sedang berbohong. Pasalnya tadi di rumah, dia mengatakan ingin kembali tidur setelah mengantar kami. Kenapa tiba-tiba jadi ada janji? terserah dia lah.
"Ya udah. Hati-hati ya..." Mama akhirnya mengalah. Toh dipaksa pun, Bang Jeno pasti tidak akan mau. "Nanti kabarin ya kalau udah sampai."
"Mampir dulu aja, Bang. Siapa tau lo nemu calon mertua kan di dalem." Iseng saja, aku ikut menimpali obrolan mereka. Setelah kembali tersadar, tentu aku tidak tahan jika hanya diam dan mendengarkan.
"Diem deh, bocil. Lo gak diajak."
Aku mendengkus. "Iya deh, iya. Siap sama yang udah tua." Lalu tertawa karena melihat wajah masamnya yang aku ejek sudah tua.
"Bantu mama bawa barang-barang ke dalam dulu ya?" ujar mama untuk menengahi kami — yang mungkin akan segera bertengkar jika tidak dihentikan.
"Iya, Ma." Bang Jeno membuka pintu kemudi, lalu membuka pintu bagasi untuk mengeluarkan barang-barang keperluan kami.
"Oliv turunnya bentar dulu ya, Ma. Mau touch up sebentar." Meski yang aku temui adalah ibu-ibu, aku tetap tidak mau berpenampilan asal-asalan. Apalagi dengan wajah bangun tidur ku, aku tidak akan membiarkan orang lain untuk membicarakan ku.
Aku mengambil pouch make up yang sengaja aku letakkan di depan. Lalu mengambil bedak dan liptint untuk me re touch tampilan wajahku, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan melangkah ke luar.
"Ma," panggilku pada mama yang sedang mengobrol dengan temannya. Kalau tidak salah bernama Ibu Ani, yang merupakan istri dari ketua partai tempat Bang Jeno bernaung.
Mama dan Tante Ani menoleh, lalu keduanya tersenyum. Mama melambaikan tangan, tanda untuk memintaku mendekat ke arah mereka. "Sini, Dek."
Aku mengikuti arahannya, lalu salim kepada mereka berdua. "Halo Tante ..." sapaku. "Saya Oliv," lanjutku memperkenalkan diri. Berjaga-jaga kalau beliau lupa siapa diriku.
"Wah, Oliv udah gede ya sekarang.." sembari mengelus pelan ujung rambutku, Tante Ani berujar. Aku pun hanya bisa senyum dan mengangguk, sebab tak tahu juga harus merespon bagaimana.
"Selisihnya kan cuma setahun sama Hans," Timpal mama.
"Loh, iya kah?" jawab Tante Ani. Terdengar kaget.
"Iya. Inget banget aku dulu," kali ini mama berbicara dengan yakin.
Aku melirik ke arah Tante Ani yang tersenyum senang. "Wah, bakal nyambung ini obrolannya. Lah wong seumuran."
"Anaknya tadi udah mencak-mencak pas tau disuruh nginep. Katanya takut gak ada temen loh, Jeng."
"Untuk ada Olivia ya, bisa jadi temen." Lanjutnya. "Lagian belum mau ngikutin jejak papanya. Ya udah lah, saya ajak aja ke sini." Tante Ani tertawa, begitu juga dengan mama.
Aku? tentu saja tertawa garing, sebab tak tahu apa yang sebenarnya sedang ditertawakan.
"Lah wong belum minat, Jeng. Baru lulus juga kan?"
"Iya. Telat setahun itu, gara-gara sibuk mulu sama studionya. "
Jika menelisik dari obrolan ini, sepertinya yang sedang dibicarakan adalah sosok yang akan menjadi partner kerjaku. Anak Tante Ani yang umurnya selisih satu tahun denganku.
"Oliv gimana? udah lulus atau belum?"
"Baru wisuda kemarin, Tan" jawabku sopan. Namun belum juga direspon, suara seorang laki-laki yang memanggil mamanya berhasil menginterupsi kegiatan kami.
"Loh?" ujar kami bebarengan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...