Be Brave, Lin!

8.4K 587 13
                                        

Kalau tembus 50 komen aku update lagi

Selamat membaca

***

Setelah meminta izin, Pak Gama terlihat memejamkan mata. Sepertinya dia memang kelelahan, karena pekerjaannya yang memang begitu banyak. Siapa suruh jadi workaholic.

"Pusing," entah sungguhan atau hanya akal-akalannyasemata, yang jelas gumamannya itu berhasil membuatku menggerakkan telapak tangan.

Aku mengusap pelan rambut hitamnya, lalu memijat pelan dahinya. "Makanya kalau kerja ingat waktu, Pak." Nasehatku pelan. Tak ingin dianggap terlalu ikut campur dengan melarang-larangnya melakukan sesuatu. Meski sebenarnya, dari kalimatku barusan sudah menunjukkan hal itu.

"Jangan terlalu memaksa diri." Aku tau betul bagaimana orang yang memang  sudah terlanjur gila kerja. Terbiasa dengan papa dan juga Bang Jeno, aku tau bahwa Pak Gama mungkin juga tidak akan jauh berbeda dari mereka. Ingin cepat menyelesaikan pekerjaan, meski tubuhnya sudah kelelahan akibat terlalu banyak bekerja. Tekadnya lebih besar dari energi yang dimiliki.

Pak Gama menggeleng, "Rasanya saya pengen cepat-cepat selesein semuanya dan berhenti." Jawabnya tidak aku duga.

Aku tidak menyangka jika Pak Gama akan seterbuka ini. Aku kira dia cukup tertutup perihal pekerjaan, ternyata tidak. Apa karena aku ini dianggapnya sebagai orang spesial?

"Bapak berapa lama lagi jadi menteri?" tanyaku hati-hati. Aku memang kurang up to date perihal ini. Bahkan tau dia menjabat sebagai menteri saja ketika aku sudah diterima magang.

"Kurang dari satu tahun," jawabnya masih dengan memejamkan mata. Sepertinya kata pusing yang dia gumamkan bukan hanya sebuah keluhan tak berdasar. Namun memang kondisi nyata yang sedang dia rasakan.

Aku mengangguk, meski dia tak akan melihatnya. 

Dari yang aku tahu, kampanye-kampanye untuk pemilihan presiden dan wakil presiden sudah mulai dilakukan, jadi aku tebak dia memang sebentar lagi akan selesai dalam menjalankan tugas.

"Setelah jadi menteri, bapak tetep mau lanjut karir di dunia politik atau bagaiman?" entah kenapa membicarakan tentangnya menjadi lebih menarik daripada mengorek informasi soal pembicaraannya dengan papa semalam. Jadi mumpung momennya tepat, aku lebih memilih untuk mengobrol mengenai kehidupannya. 

Kebetulan jika dipikirkan ulang, belum banyak yang kutahu mengenainya. Bahkan fakta bahwa dia temannya Bang Jeno sejak dulu saja masih menjadi sedikit misteri, sebab sampai saat ini aku masih mencoba untuk mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan yang masih tercecar entah di mana. Maka dengan pemikiran ini, kesempatan yang ada di depan mata sekarang tidak akan aku biarkan berlalu begitu saja.

Saatnya mengorek informasi lebih banyak soal Pak Gama, Liv!

"Sepertinya saya mau berhenti," Pak Gama membuka matanya dan tersenyum. "Saya mau hidup tenang dengan keluarga kecil saya nanti." 

Ini jawaban normal kan?

Aku merasa bahwa pipiku memanas. Bahkan ucapannya tidak disertai dengan subyek, tapi aku merasa bahwa itu memang ditujukan padaku.

"Lucu banget sih," dia bangkit dan memegang pelan pipiku — yang saat ini pasti sudah berubah warna menjadi kemerahan.

"Pak, saya malu." Menyadari ada kesempatan untuk pergi, aku memilih bangkit dari posisi dudukku. Lalu cepat-cepat melarikan diri kemana pun. Asal tidak lagi harus bertatapan dengannya.

Belum juga aku melangkah, cekalan tangan dari seseorang berhasil menghentikan langkahku. Pak Gama ikut beranjak, lalu berjalan mendekat ke arahku.

Menyadari bahwa dia semakin mendekat, tidak sadar aku memundurkan langkah. Biasanya adegan ini sering aku lihat di drama, sehingga tak sadar otakku telah berkelana kemana-mana.

Please, bakal ada kejadian apa ini?

"Kenapa pergi hm?"

SOS.SOS.SOS. Punggungku sudah menabrak tembok. Sudah tak ada lagi ruang bagiku untuk menjauh darinya.

Pak Gama mengukung tubuhku. Membuat jantungku berdebar tidak karuan karena posisi kami yang memang terlampau dekat. Aku bahkan bisa mendengar deru hembusan napasnya, yang sepertinya juga tidak normal seperti yang aku rasakan.

"Can I kiss you?" aku tidak menyangka bahwa pertanyaan itu akan ke luar dari mulutnya.

Dilema. Itu yang aku rasakan. Aku ingin mengiyakan tapi tak mau terkesan gampangan, tapi mau menolak juga tak mau menyesal. Kenapa sih  nggak langsung dilakuin saja?

"Liv...." Suara Pak Gama semakin rendah. Aku tebak dia sudah tak sabar, tapi dia masih menunggu respon dariku.

Tak kunjung juga mendapatkan jawaban yang dia inginkan, Pak Gama akhirnya menghela napas. Lalu kemudian malah meminta maaf dan berbalik. "Maafkan saya karena sudah kurang ajar," ujarnya sebelum berbalik dan membebaskanku dari kungkungannya.

Tak ingin menghilangkan kesempatan, tanganku meraih tangannya. Mencoba untuk menghentikannya, yang untungnya berhasil.

Pak Gama berhenti, lalu berbalik dan menatap ke arahku. Namun sebelum dia mengatakan sesuatu, dengan tekad yang sudah bulat aku langsung menempelkan bibirku ke bibirnya, dengan sedikit berjinjit tentu saja.

Mama, anak mu kenapa jadi agresif banget?






Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang