To Good To Be True

10K 670 18
                                        

Cerita-cerita tentang seseorang yang memendam perasaan dan mendapatkan feed back yang sama dari orang yang dicintainya secara diam-diam ini kadangkala seperti sebuah ungkapan, too good to be true. Terlalu tidak mungkin untuk menjadi nyata sebenarnya, tetapi bisa saja terjadi untuk kasus-kasus langka.

Well, dunia itu luas. Manusianya berjumlah miliyaran, dan tentu saja kisah-kisah cinta orang-orangnya juga akan sangat beragam. Entah sahabat jadi cinta, musuh jadi pasangan, tetangga tapi berjodoh, bawahan dicintai atasan, dan jutaan kemungkinan lainnya. Yang jelas, setiap kisah cinta dua orang insan manusia akan sangat menarik untuk dikulik lebih dalam. Termasuk juga kisah cinta kami — Olivia Aditama dan Gama Pradikta.

"Mas Gama sering tidur di sini?" tanyaku setelah mengamati berbagai sisi apartemen. Sembari menunggunya yang sedang masak spaghetti, aku melakukan observasi pada tempat yang kemungkinan besar akan sering aku kunjungi.

"Lumayan," jawabnya sembari menuangkan susu ke atas teflon yang dia gunakan untuk memasak.

Aku mengangguk. "Kesepian dong tante gak ada temennya,"

To be honest, aku tidak terlalu tau dengan keluarganya. Aku hanya pernah beberapa kali bertemu di sebuah acara, dan tidak pernah terlibat langsung dalam obrolan empat mata.

Pak Gama sempat terdiam, lalu kemudian menjawab pertanyaanku dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya. "Mama papa sibuk terus, jadi malah Mas yang kesepian kalau tinggal di rumah. " Setelah obrolan di dalam mobil, kami memutuskan untuk mengubah panggilan untuk satu sama lain. Aku untuk ganti aku, dan Mas untuk kata ganti dia.

"Emang masih sering pergi-pergi?" sebagai keluarga yang berasal dari lingkungan yang sama, aku paham apa yang dia rasakan. Dulu mama dan papa juga sering sekali pergi — entah ke luar kota atau luar negara, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan asisten rumah tangga dan juga Bang Jeno. Namun setelah aku menginjak cukup dewasa, mama jadi jarang pergi dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Mungkin saja untuk kasus Mas Gama tidak demikian.  I literally never know, jadi aku juga tak ingin memaksakan jika dia belum cerita.

"Lumayan," jawabnya sembari menuangkan spaghetti yang sudah jadi ke atas piring. Tidak repot-repot memperhatikan penyajian, tapi tetap saja tampilannya terlihat menggiurkan. Atau aku yang emang udah kelaparan?

"Udah jadi kah?" tanyaku.

Mas Gama mengangguk. "Coba kamu isi air dan bawa ke depan ya. Biar mas selesaikan ini dulu."

Aku mengangguk semangat. Dilihat dari tipenya, sepertinya tidak akan ada ketimpangan dalam pembagian kerja rumah tangga jika kami akhirnya menikah. Mas Gama bukan laki-laki yang patriarki, jadi kami bisa membagi pekerjaan dengan seadil mungkin. Tapi emang udah pasti kita bakalan nikah?

"Kemarin Bang Jeno nanyain soal Mas Gama," daripada diselimuti keheningan, aku memilih untuk mengadakan sesi curcol — curhat colongan. Sekaligus aku ingin meminta izin, agar untuk sementara hubungan kami dirahasiakan dulu.

Mas Gama menggeser piring ke depan ku, lalu menuangkan segala susu yang baru diambilnya dari dalam kulkas. Kenapa harus ada minum susu di makan malam?

"Kamu masih proses pertumbuhan, jadi harus banyak konsumsi kalsium." Aku mendengkus mendengar ucapannya. Tanpa aku mengatakan apapun, dia sudah tahu bahwa aku sedang protes dengannya yang malah menyuruhku minum  susu di malam hari. Sangat tidak normal.

"Jeno nanya apa?" aku kira dia tak mendengar ceritaku sebelumnya. Namun ternyata aku hanya salah sangka saja.

"Nanyain soal sikap mas ke aku, ada yang aneh apa nggak."

Bukannya heran, Mas Gama malah menyunggingkan senyumnya. "Abang kamu pasti takut Mas apa-apain kamu," jawabnya sembari menarik kursi untuk diduduki.

"Dia orang yang paling tau sebesar apa mas sayang ke kamu, Liv. Jadi dia pasti was-was karena mas selalu ada di sekitar kamu."

"Masa sih?" tanyaku tak percaya.

Mas Gama mengangguk yakin.

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang