Pagi ini, aku mengawali pekan dengan penuh semangat. Minggu ini aku akan melakukan bimbingan untuk draft finalku, yang dua hari terakhir ini sudah aku kebut hingga hampir tak tidur.
Aku sudah siap di depan cermin kamar ku untuk mematut diri, sebelum akhirnya tersenyum karena akhirnya dosen pembimbingku yang begitu sibuk itu bisa meluangkan waktu untuk bertemu. Anjir, cakep juga gue.
"Jadi bimbingan, dek?" aku menoleh ke arah pintu. Tepat di posisi Bang Jeno yang sedang berdiri di tengahnya, karena kebetulan pintu kamarku tidak ku tutup rapat.
"Jadi dong, bang." Jawabku semangat. Beberapa temanku sudah mulai mendaftar sidang, bahkan sudah ada yang mendapat tanggal. Makanya aku menjadi semangat, sebab tak mau tertinggal mereka. Aku ingin wisuda bersama, jadi aku sudah bertekad untuk mengebut skripsiku ini.
"Udah izin, kan?" aku mengangguk. Kebetulan setelah dikabari oleh Pak Bayu minggu kemarin, aku langsung mengkontak Mas Shua untuk meminta izin. Aku tak bisa datang ke kantor di hari senin ini karena harus melakukan bimbingan.
Well, aku memang punya tanggung jawab sebagai anak magang. Namun tetap saja, kewajiban utamaku adalah menyelesaikan pendidikan. Jadi priorotas pun tidak bisa ditukar, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya. Kantor punya aturan, dan sebagai bagian di dalamnya aku juga harus mengikuti aturan tersebut.
"Berangkat sendiri apa dianter?" aku mengambil tas slempang yang ada di atas meja di hadapanku, lalu mengcangklongnya di bahu sebelah kiri.
"Berangkat sendiri sih, bang. Mau KRL an aja," jawabku. Aku mengabil macbook ku di atas ranjang, lalu bergegas ke luar kamar.
Aku dan Bang Jeno berjalan bersisian. Turun ke lantai bawah untuk sarapan, sekaligus meminta izin bahwa hari ini akan pergi ke kampus.
"Pagi pa, pagi ma," sapaku pada mama dan papa. Memang biasanya aku atau Bang Jeno yang terakhir datang ke meja makan, makanya tak heran saat kami tiba keduanya sudah berada di sana.
"Pagi pa, pagi ma," kali ini Bang Jeno yang menyapa. Dia lalu menarik kursi, dan mendudukinya.
"Pagi abang, adek,"
Sarapan berjalan dengan khidmat seperti biasa. Papa memang tak suka kalau acara makan diselingi obrolan, sehingga kami harus menyelesaikan sarapan terlebih dahulu untuk bisa memulai obrolan meja makan.
"Kamu hari ini ke kampus?" aku yang masih sibuk dengan gawai di tangan mendongak. Melihat ke arah mama yang bertanya, lalu mengangguk.
"Iya, ma. Pak Bayu ngajak ketemu, jadi hari ini aku izin gak ngantor dulu."
"Mau di antar apa naik kereta?"
Aku selalu bersyukur mendapat keluarga yang seperhatian ini. Perihal mau bimbingan saja, papa, mama, dan juga Bang Jeno tak henti menanyakan segala kebutuhanku, bahkan untuk hal yang kecil. "Oliv mau naik kereta aja sih, pa. Ntar paling gojek dari rumah ke stasiun."
Meski terbilag cukup secara finansial, papa dan mama tidak terbiasa memanjakan kami. Kami tetap diajari untuk bersikap mandiri, termasuk juga mulai melepas kami untuk tidak diantar jemput ketika kami mulai menginjak dewasa. Hidup itu berputar, jadi kami harus selalu siap untuk kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
"Di anter abang aja ya?" Mama yang biasanya tidak menentang keputusanku, kali ini memberikan saran. "Mama kasian liat kamu. Dari kemarin kerja terus, terus weekendnya malah begadang."
Aku hanya meringis. Aku kira karena kamar ku di lantai atas, mama tidak tahu bahwa dua hari ini aku hampir tak tidur. Tetapi ternyata, kasih sayang seorang ibu memang tidak terbatas. Beliau ternyata tahu, tetapi memilih untuk tidak berkata apa-apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Chick-Lit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...