Unpredictable

9.1K 716 29
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian malam itu, hubunganku dan Pak Gama tidak banyak berubah. Hal ini karena ada banyak pekerjaan yang ada di kantor, sehingga baik aku ataupun dia tidak punya waktu untuk bertemu — bahkan untuk sekedar saling bertegur sapa.

Well aku tidak tau bagaimana sibuknya dia sekarang. Aku yang hanya anak magang di divisi digital kreatif saja, sibuknya amat sangat terasa. Kegiatan pameran wisata lokal di kancah internasional membuat seisi kantor menjadi sangat kelimpungan. Semuanya mendadak punya pekerjaan, karena dalam pameran kali ini kemenkraf akan mengusung beberapa nama tempat wisata berbasis ekomoni lokal untuk dipromosikan.

Aku menunduk, mencatat beberapa hal yang dikatakan Mas Shua dari seberang telepon. "Jadi videonya maksimal 3 menit ya, Mas?" ulangku untuk memastikan.

Pada kesempatan ini, aku bertugas untuk mengedit video. Adapun Mas Joshua dan Gabriel datang langsung ke lokasi untuk mengambil beberapa footage untuk dijadikan bahan dalam pembuatan video bertema 'pesona baru wisata Indonesia'.

"Iya, Liv. Maksimal banget tiga menit ya." Jawabnya lugas. "Tolong untuk scriptnya nanti dikirim gue dulu juga, buat make sure kalo gak ada kesalahan." Aku mengangguk, meski orang yang sedang berbicara ini tidak akan bisa melihatnya.

"Buat yang mau ngisi voice over gimana?" Dalam proses pembuatan video semacam ini, biasanya tidak hanya anak videografer saja yang terlibat. Biasanya akan ada test suara untuk beberapa orang di divisi kami, untuk memutuskan siapa yang akan mengisi suara untuk script video yang sudah dibuat sebelumnya.

"Ntar gue minta tolong Gaby aja," Selanjutnya Mas Shua terdengar mengatakan sesuatu tentang sudut pengambilan gambar, tetapi bukan ditujukan padaku. Melainkan pada Gabriel yang mungkin sedang ada di sebelahnya. "Lo tenang aja, biar ntar gue yang bilang ke dia."

"Sambil nungguin hasil footage dari gue sama Gab, lo bisa nyicil buat scriptnya." Aku hanya mengiyakan, karena tidak ada pilihan jawaban yang lain.

"Oke kalo gitu, gue tutup dulu."

Setelah selesai dengan panggilan telepon, aku mulai mengetikkan sesuatu di layar keyboard ku. Aku mulai mencari informasi mengenai salah satu wisata yang akan kami tampilkan, yang memang belum seterkenal wisata-wisata lain yang ada di pulau yang sebentar lagi akan menjadi ibu kota negara.

Belum ada lima menit sejak dering telfon sebelumnya, ponselku kembali berbunyi. Membuatku mengernyitkan dahi karena biasanya Mas Shua tidak akan melupakan detail-detail terkait pekerjaan, bahkan detail terkecil sekali pun. Makanya dia pasti hanya sekali memberikan instruksi, dan paling akan memberikan masukan jika pekerjaanku sebelumnya sudah selesai.

"Kenapa, Mas?" tanyaku langsung. Aku masih menyambut dengan membaca salah satu artikel yang baru aku klik, mengenai bagaimana persepsi masyarakat sekitar dalam memandang bentang alam yang ada disekitarnya.

"Ini saya,"

Gerakan tanganku di atas mouse terhenti. Sedikit kaget karena orang yang ada di balik telepon berbeda dengan orang yang memiliki ponsel.

To be honest aku tidak tahu bahwa Pak Gama ikut pergi bersama Mas Shua dan Gabriel. Yang aku tahu dia hanya pergi, karena tak pernah terlihat di dalam kantor. "Ada apa, Pak?" jawabku setelah tersadar.

"Untuk scriptnya, tolong nanti kasih beberapa space di bagian tengah dan akhir ya. Saya mau ada beberapa pernyataan langsung dari warga yang diwawancara."

Secepat kilat aku mengambil notes yang berada tidak jauh dariku. Menuliskan semua hal yang Pak Gama katakan terkait dengan pekerjaan yang akan aku lakukan. "Mungkin sekitar tiga atau empat jawaban dari sebuah pertanyaan, jadi make sure aja kalau ada cukup sisa waktu untuk bisa disisipkan."

"Untuk bumper di akhir video, kita pake yang baru ya. Yang baru dibuat sama Joshua Minggu lalu. Kamu sudah dapat?"

"Sudah, Pak." Sepertinya ini adalah Pak Gama versi serius. Semua ucapannya terdengar profesional, tak seperti Pak Gama yang Minggu lalu aku temui.

In other side, aku tidak menyangka bahwa dia akan terjun langsung ke lapangan. Bahkan juga memperhatikan hal-hal detail sekecil ini, padahal jabatannya terbilang cukup tinggi. Maksudnya biar pun dia hanya duduk dan ongkang-ongkang kaki, semua pekerjaan juga pasti akan selesai.

"Ada lagi?" tak mendengar lagi dia bersuara, aku memberanikan diri bertanya. Semakin detail apa yang dia minta akan semakin bagus, sebab aku bisa bekerja dengan gambaran yang jelas.

"Sementara cukup. Nanti kalau misalnya ada tambahan, saya kasih tau kamu atau Joshua."

"Baik, Pak." Selanjutnya tidak ada yang berkata apa pun. Namun entah mengapa, baik aku atau dia tidak ada yang mematikan sambungan telepon.

Mau langsung ku matikan pun tidak mungkin. Selain sungkan karena aku bawahannya, aku juga mengira bahwa mungkin masih ada yang ingin dia katakan.

"Pak," panggilku hati-hati. "Sudah tidak ada lagi info yang harus saya catat kan?" tanyaku bermaksud agar dia segera mematikan sambungan panggilan. Apabila memang sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikannya padaku.

"Tunggu sebentar," jawabnya. Meyakinkan anggapanku sebelumnya bahwa ada yang ingin dia katakan.

"Kenapa, Pak?"

"Kamu mau oleh-oleh apa?" jawabannya benar-benar di luar dugaan. Bahkan dari jutaan kemungkinan perkataan yang bisa dilontarkannya pada situasi ini, dia justru menanyakan masalah sepele yang membuat hatiku menghangat.

Hah?
Ini aku salah dengar gak sih?
Kok kesannya kaya gue ini pasangannya ya?

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang