Aku mengetukkan-ketukkan kaki di atas lantai kamar. Sembari menunggu seseorang di seberang sana mengangkat telfon, aku menggigit-gigit pelan kuku jari.
Sejak semalam, Mas Gama tidak mengirimkan kabar sama sekali. Chatku bahkan belum dibalasnya, dan bahkan panggilanku masih dia abaikan.
Entah kenapa, aku merasa khawatir. Padahal biasanya dia juga bisa menghilang selama berhari-hari jika sedang menjalankan tugas. Namun untuk kali ini terasa berbeda, karena dia tidak memberikan informasi apa-apa.
Aku menghela napas. Ini adalah panggilan kelima ku di pagi ini, tetapi belum ada jawaban yang diterima. Memilih untuk menyudahi saja, sebab rasanya seperti sia-sia. "Apa gue samperin aja ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku merasa ada yang tidak beres. Jadi memutuskan untuk memastikan.
Tiba di depan pintu apartemennya, aku kembali menghubunginya. Tidak ada jawaban — lagi, dan lagi. Bahkan mengetuk pun rasanya tak akan membuahkan hasil, jadi aku lebih memilih untuk menekan nomor pin dan masuk. Gapapa Liv, demi kemaslahatan — pikirku.
"Mas..." aku memanggil Mas Gama. Meletakkan semangkuk soto yang tadi aku beli di jalan, lalu melangkah masuk semakin dalam ke apartemen. "Mas Gama..."
Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang aku temui. Dimana dia?
Aku berjalan semakin masuk hingga tidak terasa sudah sampai di depan kamarnya. Mengetuk pelan, tetapi tetap tidak ada jawaban.
Pelan-pelan aku memegang kenop pintunya. Benar saja, tidak dikunci.
Aku mendorongnya pelan, dan menemukan seseorang sedang bergelung di balik selimut di atas kasur. "Mas," sapaku semakin mendekat.
Mas Gama menurunkan sedikit selimutnya. Membuat wajahnya yang amat pucat terlihat. Reflek aku langsung berjalan cepat mendekat, "Mas kenapa?" tanyaku sembari memegang dahinya. Dan sesuai dugaan, panas.
"Kamu sakit?" tanyaku heboh.
Mas Gama yang baru membuka matanya itu menggeleng, "Cuma kecapean aja."
Aku mendengkus. "Kecapean kaya gimana, ini panas banget."
"Mas punya termometer?" dia menunjuk ke arah laci. Membuatku dengan cepat menariknya, lalu segera mengambilnya untuk digunakan.
"Ini dipakai dulu," aku membantunya menggunakan termometer. "Ini ditunggu sampai bunyi. Aku mau ke dapur sebentar ambil kompres." Aku benar-benar tidak menyangka bahwa si gila kerja ini bisa sakit juga. Untunglah tadi aku bersikeras ke sini, jadi tahu bahwa dia sedang sakit seorang diri. Sangat menyedihkan.
Aku membenarkan posisi selimut dan berjalan ke luar. Mengambil kain dan air untuk mengompres, agar demamnya sedikit turun.
Aku menatap tidak percaya ke arah suhu yang ditunjukkan termometer, 39,4 derajat celcius. Yang berati bahwa dia memang sedang mengalami demam tinggi.
Rasanya aku ingin mengomel, tetapi sekuat tenaga menahannya. Orang yang ingin aku marahi sedang terbaring sakit, jadi aku tidak akan menambah sakitnya dengan mengomel-ngomel.
"Jangan dicopot," pintaku setelah membenarkan posisi kompres. "Mas udah makan?" tanyaku.
Mas Gama menggeleng. "Aku ke dapur dulu ya, mau bikin bubur buat kamu sarapan."
Mas Gama terlihat enggan untuk aku tinggalkan, tetapi tidak mencegah pergi. "Mas punya obat demam?" setelah beberapa langkah berjalan, aku berhenti. Lalu menoleh dan menanyakan, apakah dia punya obat demam atau tidak. Jika tidak, aku akan segera membelinya melalui layanan delivery order, agar bisa dia konsumsi langsung setelah sarapan.
"Habis," ujarnya lemah.
Aku mengangguk. "Istirahat dulu, Mas. Nanti kalau sudah selesai buat sarapan, aku bangunin." Aku tersenyum sebelum meninggalkan ruangan.
***
"Mas," aku menggoyangkan tubuhnya pelan. Meski kasiahan harus membangunkannya, tidak ada pilihan lain yang bisa aku lakukan. Dia butuh minum obat, dan sebelum minum obat dia butuh makan.
Setelah beberapa saat, Mas Gama akhirnya terbangun. "Makan dulu sebentar ya," pintaku.
Aku membantunya memperbaiki posisi. Menjadi setengah tidur dengan menjadikan bantal tidur sebagai penyangga bagian tubuh belakangnya. "Ini aku udah bikin bubur," aku menunjukkan bentuk tampilan buburku yang sedikit kurang meyakinkan, tetapi dari segi rasa sudah kupastikan bisa dimakan. Dan tentu saja juga tidak beracun.
"Enak?" tanyaku setelah memberikan suapan pertama. "Tadi aku udah cicipi kok, lumayan." Dia belum memberikan komentar, tetapi aku sudah memberikan informasi bahwa makananku memang bisa dimakan.
Mas Gama tersenyum, "Iya enak."
"Tapi udahan ya, Mas udah kenyang." Padahal baru empat suapan yang aku berikan.
"Satu lagi ya?" pintaku.
"Udah kenyang," tolaknya halus.
"Satu lagi, Mas. Nanti aku kasih hadiah. " Lanjutku mencoba mempersuasi.
"Bener ya?" ternyata ketika sakit, dia tidak akan jauh berbeda dengan anak kecil.
Aku mengangguk. Lalu menyuapkan suapan bubur terakhir, yang kali ini diresponnya dengan membuka mulut.
"Abis ini minum obat, terus istirahat lagi." Aku sudah membandingkan panas di tubuhnya, dan terasa sudah lebih mereda. Semoga setelah minum obat, panasnya akan semakin menurun.
"Hadiahnya?" dia menganggap serius perkataanku. Bahkan setelah menerima obat di tangannya, dia malah menanyakan janji spontanitas ku itu.
"Nanti setelah kamu bangun tidur," ujarku menyakinkan. "Sekarang mas minum obat, terus tidur."
"Hadiahnya sudah ada kalau mas bangun nanti," lanjutku semeyakinkan mungkin. Padahal belum tau apa yang nantinya akan aku berikan untuk hadiah.
Sipaling manja kalau lagi sakit
Kaya siapa coba?
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Chick-Lit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...