Awal pekan adalah waktu yang paling dihindari oleh banyak orang. Kebanyakan orang mengalami monday syndrome karena sudah terlanjur nyaman dengan akhir pekan yang tidak penuh tuntutan.
Menghabiskan waktu dua kali dua puluh empat jam dalam kondisi santai membuat orang enggan menghadapi hari Senin yang menyibukkan. Kebanyakan orang normal menjadi tidak bersemangat, sebab di otaknya sudah membayangkan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dalam sepekan ke depan — termasuk aku sendiri. Tapi untungnya, Senin kali ini adalah tanggal merah. Jadi waktu liburku bisa bertambah satu hari.
Aku menggoyang-goyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Melirik stand watch yang ada di atas nakas, lalu menggeleng tidak percaya saat melihat bahwa jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. "Gila, beneran tidur kaya kebo gue." Gumamku pada diri sendiri.
Aku tidak menyangka bahwa aku hampir bangun di tengah hari. Meski aku begadang, biasanya aku tak pernah bangun hingga sesiang ini. Apalagi saat di rumah, sebab mama pasti akan selalu ngomel-ngomel di depan kamar.
Memilih untuk tidak lanjut memikirkannya, aku memutuskan untuk keluar kamar. Kerongkonganku butuh dibasahi sehingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih.
"Buset! Gue kira lo pingsan di dalam kamar dek gara-gara gak muncul." Ujar Bang Jeno yang berada di ujung tangga. Sepertinya dia baru dari bawah — entah habis melakukan apa.
Aku mendengkus mendengar sarkasme dari Bang Jeno. Aku paham betul bahwa dia sedang menyindirku yang tak bangun-bangun dan baru keluar kamar setelah waktu tidak bisa dikatakan pagi — lagi. "Bacot!"
Bang Jeno melebarkan matanya, "Mulutnya dek.... tolong ya dijaga!"
"Gue aduin mama ntar biar tau rasa." Lanjutnya mengancam. Meski jahil, dia memang sangat tidak suka jika aku berkata-kata kasar. Apalagi terhadapnya.
Aku hanya memutarkan bola mata jengah. Memilih untuk tidak menjawab karena enggan berdebat. Aku belum punya cukup energi jika harus adu mulut dengan abangku satu-satunya ini.
Terasa sedikit panas, aku mengambil tali rambut yang aku gunakan di pergelangan tangan dan menggunakannya untuk mentali rambutku yang lumayan panjang, lalu mencepolnya secara asal-asalan hanya agar tidak merasa terlalu gerah. "Mama kemana, Bang? tumben gak ceramah di depan pintu gue."
"Pergi sama temen-temennya. Katanya ada acara senam pagi."
Aku mengangguk mengiyakan. Pantas tidurku terasa damai, ternyata alarm paling ampuhku sedang ada acara. "Lo abis dari mana?" aku baru sadar jika penampilan Bang Jeno amat sangat rapi jika hanya berdiam diri di rumah. Meski dia hanya menggunakan kaos dan celana sebatas lutut, bisa dibilang ini adalah penampilan yang cukup proper untuk pergi keluar karena kaosnya itu adalah kaos baru yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu.
Kenapa aku bisa tau? karena dia membelinya bersama diriku.
"Kepo,"
Aku berdecih, "Ya udah sih kalo gak mau jawab. Gue juga cuma basa-basi."
Aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Gara-gara bertemu dengannya tadi, aku memang masih berdiri di ujung tangga seperti dirinya. Bedanya dia ingin ke atas, sementara aku ke bawah.
Baru beberapa langkah aku berjalan, suara Bang Jeno yang memanggilku berhasil menghentikan langkahku. "Kenapa?" tanyaku sembari menoleh.
"Gue saranin lo ganti baju deh!" Katanya aneh. Tidak menambahkan alasan atau apapun, tiba-tiba menyarankanku untuk berganti baju.
Aku mengerutkan dahi, "Kenapa emang?"
"Ada tamu papa di bawah."
"Ya terus?"
Memang tidak ada hubungannya kan antara tamu papa dan baju yang sedang aku pakai?
Kebetulan aku sedang memakai daster — meski warnanya sudah pudar, tapi tetap terhitung sopan kan? lagian papa biasanya menerima tamu di halaman jika siang-siang. Berati tidak akan bertemu juga kan?
"Lo kelihatan kaya gembel, dek." Ujarnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Ekspresinya bahkan tidak menunjukkan bahwa dia sedang bercanda.
"Biarin. Gue kan cuma mau cari minum, bukan cari jodoh." Jawabku tak menggubris.
"Dek!"
"Apalagi?" marahku karena dia kembali memanggilku.
"Masalahnya tamu papa itu...."
"Apasih bang! Gue cuma mau ambil minum doang," tidak sabar aku memotong omongan Bang Jeno. Aku berpikir tidak akan ada hal penting yang keluar dari mulutnya. Yang tanpa aku sadari itu adalah penyesalan yang menimpaku sepanjang hari ini.
"Udahlah, ngobrol sama lo cuma bikin emosi." Aku kembali menuruni tangga dan mengacuhkan Bang Jeno yang sepertinya ingin berbicara sesuatu padaku.
***
"Kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu. Selalu peluhku menetes tiap dekat kamuuuuu." Aku menyanyikan salah satu lagi dari boyband asal Indonesia yang pernah sangat terkenal di masanya. Dengan gaya ala-ala sedang di atas panggung, badanku bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti lagu yang sedang aku nyanyikan.
Entah karena terlalu menikmati lagu atau bagaimana, aku sama sekali tidak menyadari jika aku sedang diperhatikan oleh dua pasang mata yang menatapku dengan penuh keheranan. "Oliv." Aku menghentikan langkah. Tepat saat suara seseorang yang sangat aku kenali memanggil.
Badanku menoleh ke arah sumber suara. Mataku melotot dan badanku terasa begitu kaku hingga sulit digerakkan. Masya Allah, tamunya papa ganteng banget! — batinku ketika menemukan sosok lain yang sedang duduk berhadapan dengan papa.
"Iya, Pa?" jawabku sehalus mungkin. Tentu saja aku tidak setiap saat bersikap seperti itu. Ini adalah usaha untuk memberikan kesan pertama yang cukup baik pada si cowok tampan. Kalo ada si Nana gue yakin dia udah mimisan!
Aku tersenyum pepsodent ke arah laki-laki yang terlihat menawan. Lalu melirik penampilannya yang begitu rapi, mengaguminya dalam diam, lalu tiba-tiba merasa tertampar ketika tersadarkan tentang ingatan terkait bagaimana penampilanku saat ini.
Astaga, gue cuma pake daster emak-emak yang warnanya udah pudar!
Secepat kilat aku mengalihkan pandangan ke arah papa. Menangkap kode dari beliau yang sepertinya mengingatkanku tentang penampilan, lalu segera memutar otak untuk menemukan alasan agar bisa kabur dari sini tapi tetap terlihat normal.
Persetan dengan rasa haus. Aku harus segera menyelamatkan diriku di hadapan calon imam potensial.
"Oliv naik dulu ya, Pa. Ada urusan!" Ujarku spontan. Agak tak masuk akal — karena tidak ada yang bertanya dan menyuruhku untuk tinggal. Namun tentu tidak terlalu aku pikirkan karena ini adalah situasi yang terlalu mendesak
BANG JENO KENAPA LO NGGAK BILANG KALO TAMUNYA PAPA GANTENGNYA KAYA GEGE GEGE DI DRAMA CINA??
Halo gaes ...
So far gimana ceritanya?
Semoga tidak terlalu buruk yaAku mau ngucapin ke semua orang yang udah mau baca, vote, dan juga komentar di cerita ini
Apalagi untuk yang share, aku cinta banget sam kalian!Jangan lupa buat masukin library buat gak ketinggalan updatenya
Jangan lupa juga buat follow aku buat yang belum ya!
Notif dari kalian selalu aku tungguLast but not least, yang mau baca cerita aku yang lain yang di karya karsa kalian bisa pake kode voucher yang aku bagiin ya
Cukup follow aku dan Instagram aku di @coochocinoou kalian bisa dapet potongan 50%Good bye ada see you tomorrow!
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...