Pak To Be Mas

8.1K 534 19
                                        

"Hari ini pulang sama saya ya?" tanya Pak Gama melalui pesan singkatnya.

"Boleh,"

"Tapi nggak ngerepotin kan?" tanyaku pura-pura tidak enak. Padahal mau!

"Kalau repot, nggak usah, Pak. Nanti saya biar naik ojol aja." Ujarku akhirnya. Aku tahu pekerjaannya amat banyak, jadi aku tak mau hanya karena akan mengantarku, dia jadi harus meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai.

Selain itu, aku juga sedang mencoba bersikap dewasa. Latihan jika-jika hubungan kami nanti ter publish, aku sudah  bisa bersikap sesuai yang seharusnya. Dan tidak dicap childish hanya karena umurku yang terpaut jauh dengannya.

"Nanti saya tunggu di basement,"

Aku tersenyum membaca pesan balasannya. Tak perlu basa-basi, dia langsung menentukan dimana kami akan bertemu. "Siap, pak."

Senyumku tak kunjung hilang dari wajah. Hanya dengan berbalas pesan saja, entah kenapa rasanya sudah sangat menyenangkan. Apa emang begini perasaan orang yang lagi kasmaran?

"Kenapa, Liv?" suara dari meja seberang mengalihkan perhatian.

"Kenapa?" tanyaku heran.

Mas Shua mengangguk. "Iya,"

"Lo kenapa? gue liat-liat dari tadi senyum mulu."

"Masa sih, Mas?" aku tidak mengakui tuduhannya. Aku belum punya alasan untuk menjawab pertanyaan ini, jadi aku lebih memilih menghindar.

"Gue lihat-lihat, lo dari tadi lihat hp dan senyum-senyum mulu."

"Lagi chattingan sama pacar ya?" ledeknya sembari menaik turunkan alis.

Aku hanya tersenyum, "Kepo aja lo, Mas." Jawabku singkat. Lalu meletakkan ponsel ke atas meja, dan berpura-pura mengerjakan sesuatu agar Mas Shua tidak banyak bertanya lagi.


***


"Capek," aku mengeluh sembari menempelkan kepalaku di bahu kanannya.

Aku benar-benar tidak menyangka dengan diriku sendiri, karena berani-beraninya bersikap manja seperti ini. Apalagi dengan dia, sosok laki-laki yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

"Hari ini kerjaan kamu banyak?" tanyanya sembari mengelus pelan rambutku. Membuatku merasa sangat nyaman.

Aku menggeleng. "Kaya biasa sih, Pak. Cuma mungkin karena efek lagi tamu bulanan juga. Jadi rasanya lebih capek dibanding biasanya,"

Dating is about being transparant. Makanya aku mencoba untuk membicarakan banyak hal dengannya, termasuk untuk hal-hal kecil seperti ini.

"Mau langsung pulang atau istirahat dulu di tempat saya?"

Sebenarnya aku cukup gemas dengan panggilan kami untuk satu sama lain. Meski hubungan kami sudah resmi, baik aku maupun Pak Gama belum ada yang mengubah panggilan. Aku masih memanggilnya Pak, dah kami berdua juga masih sama-sama menggunakan kata ganti orang pertama dengan saya. Seperti hubungan sugar baby dan sugar daddy.

Aku menoleh ke arahnya, "Emang boleh?"

Pak Gama mengangguk. "Boleh dong," jawabnya gemas.

Aku tidak tahu apakah hubungan seperti ini baik atau tidak. Ini adalah hari pertama kami berubah status menjadi pasangan, tetapi aku sudah berencana untuk mengunjungi apartemennya — lagi.

Bahaya gak ya? belum ada status aja kemarin kelepasan. Apalagi pas udah official gini!

"Bapak bisa masak nggak?" aku cukup penasaran dengan fakta ini. Pasalnya aku pernah bercinta-cita mendapatkan pasangan yang bisa memasak, sehingga kami bisa bergantian untuk membuat menu makan.

"Bisa,"

"Kok bisa?" aku yang bertanya, aku juga yang bingung.

"Saya kan dulu pernah tinggal sendiri pas kuliah. Jadi ya harus bisa masak, biar hemat dan sehat."

Aku mengangguk mengerti. Meski agak kurang relate juga, karena hal itu tidak berlaku untuk abangku yang satu itu.

"Pak, ngerasa ada yang aneh gak?" aku membenarkan posisi duduk agar dia bisa lebih leluasa. Dari tadi kami masih berada di mobil yang diam, dan kali ini Pak Gama sudah menyalakannya.

Pak Gama menoleh dan mengernyitkan dahi. Mungkin bingung dengan maksud perkataanku sebelumnya.

"Bapak ngerasa ada yang aneh nggak sih sama komunikasi kita?" lama-lama obrolan kami terdengar cringe.

Dia menggeleng. Membuatku sedikit gemas, "Komunikasi kita normal. Nyambung juga."

Aku hanya bis mengelus dada.  Siapa juga yang mengatakan kalau komunikasi kita tidak normal?

"Maksud saya panggilan kita untuk satu sam lain."

"Aneh nggak sih kalau manggilnya masih pake kata saya-saya gini?" tanyaku. "Kaya terlalu formal,"

"Tapi kamu juga masih panggil saya Pak "

Aku dibuat bungkam olehnya. Benar juga apa yang dikatakannya ini

Aku meringis. "Ya soalnya udah kebiasaan," elakku.

"Saya juga sudah biasa pake saya kalau ngobrol,"

"Termasuk ke keluarga?"

Pak Gama menggeleng. "Biasanya saya ganti pake nama."

Aku mengangguk mengerti. Jika aku menggunakan kata adek dan Bang Jeno menggunakan abang, tidak mengherankan jika Pak Gama menyebutkan namanya sendiri sebagai kata ganti orang pertama.

"Mau coba gitu juga gak?" aku tidak tahu apakah obrolan ini berfaedah atau tidak. Tapi untuk umur hubungan yang belum genap sehari, sepertinya aku memang harus membicarakan hal-hal kecil seperti ini agar semuanya clear sedari awal.

"Mas Gama, bisa kan?" tiba-tiba Pak Gama mengerem mendadak. Membuat dahiku hampir menabrak dashboard. Namun untungnya gerak reflekku bagus, jadi telapak tanganku bisa dijadikan sebagai bantalan.

"Kamu tadi panggil saya siapa?" ujarnya tak percaya.

"Mas Gama...."

Gemes gak gemes gak?
Gemes lah, masa nggak wkwk

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang