"Senyum ngapa, Gam. Biar modus lo nggak ketahuan"
Aku memukul kepala pelan. Berusaha mengenyahkan pikiran tidak masuk akal, yang sayangnya terus kembali berseliweran di dalam kepala.
Sebagai seorang yang sudah cukup dewasa, tentu aku tidak sepolos itu perihal cinta. Rasanya agak naif jika aku mengatakan tidak paham dengan maksud terselubung kalimat yang dilontarkan Pak Elang, tetapi di sisi lain juga tak berani mengambil kesimpulan sebab dia — laki-laki so call Gama Pradikta yang menjadi subjek utama tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan.
Ya benar!
Pak Gama benar-benar terlihat normal, tidak ada perubahan, bahkan sekedar ucapan singkat meski kami sedang berada di mobil yang sama.Shit!
Ini dia beneran ada ketertarikan sama gue apa gue nya aja yang kepedean?Kepalaku benar-benar pusing memikirkannya. Namun tak berani juga untuk mengonfirmasi, sebab ditatapnya sekilas saja sudah membuat jantungku hampir berhenti. Bukan karena bahagia, tapi karena takut — atau perasaan lain yang belum tahu bisa ku sebut apa.
"Ini langsung kembali ke hotel, Pak?" setelah dipenuhi dengan keterdiaman, lagi-lagi aku lah pihak yang memecah keheningan. Menanyakan apakah ada tempat lain yang akan dia tuju, sebab tak ada informasi apapun yang dia berikan.
Pak Gama menoleh, "Langsung balik ke hotel saja ya."
Lagi-lagi aku mengangguk. Ini laki-laki emang introvert atau emang nggak mau ngobrol sama gue ya?
Rasanya aku tidak berhenti ber-over thinking jika sedang bersamanya. Pasalnya dia terlalu dingin, untuk ukuran orang yang diledek temannya memiliki ketertarikan denganku.
Sepertinya pemikiran lo kejauhan, Liv! Toh laki-laki mapan macam dia, tidak mungkin tertarik dengan bocah seperti lo!
***
"Aaaa!!" Aku memukul-mukul pelan kasurku. Menyalurkan rasa kesal karena bisa-bisanya terus kepikiran hal itu.
"Udah deh, jangan kepedean." Harus aku akui pesona Pak Gama sulit ditolak. Meski jarak umur diantara kami hampir sepuluh tahun, aku tidak merasa bahwa dia sudah tua.
Penampilannya yang selalu rapi justru membuatnya terlihat dewasa, juga sangat tampan di saat bersamaan. Meski tak seterkenal itu, dia adalah salah satu menteri yang cukup populer di generasi seusiaku.
Aku meraih ponsel yang ada di atas kasur. Benda kokoh berbentuk persegi itu terus saja bergetar, membuatku yang sedang sibuk dengan urusan di dalam kepala harus berhenti untuk melihatnya.
Lagi-lagi aku dibuat bingung dengannya. Baru saja meyakinkan diri untuk tidak berpikir yang tidak-tidak, pelaku yang sedari tadi menganggu akal sehatku justru menghubungi. "Halo, Pak?" sapaku sopan. Tetap menjaga nada suara, agar jangan sampai dia curiga.
"Kamu di mana?" tidak membalas sapaanku, Pak Gama justru bertanya di mana keberadaan ku.
"Di kamar, Pak." Jawabku singkat.
"Bisa tolong ke kamar saya sebentar?"
"Hah?" jawabku nge-blank. Terlalu kaget dengan permintaannya yang tidak aku duga.
"Budi lagi di luar, dan saya butuh sedikit bantuan. Bisa tolong ke kamar saya, Oliv?" jelasnya seolah tau kebingunganku.
Tidak sadar aku mengangguk, padahal orang di sebelah sana tentu tak akan bisa melihatnya. "Bisa, Pak." Aku melirik jam yang ada di atas meja, yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sembilan malam. Bantuan macam apa lagi yang dia butuhkan di malam hari seperti ini?
Aku mengetuk kamarnya pelan. Tepat setelah panggilan di akhiri, aku langsung meluncur ke kamarnya tanpa ada persiapan apa-apa lagi.
Butuh sepersekian detik sebelum akhirnya pintu di depanku terbuka. Menampilkan Pak Gama dengan piyama bergambar pinguin, yang membuatku hampir saja tertawa. Untunglah respon tubuhku cepat, sehingga secepat kilat langsung menormalkan ekspresi agar jangan sampai menyinggungnya.
"Tunggu sebentar," belum juga aku mengatakan apapun, dia berbalik. Kembali masuk ke dalam kamar, tetapi tidak menutup pintu.
Aku hanya diam. Tidak berani masuk juga, sehingga memilih untuk diam di depan kamar. Untunglah ponsel di tangan bisa diandalkan, karena setidaknya aku tidak terlihat seperti anak hilang.
"Ini untuk kamu," aku mendongak. Menemukan sebuah paper bag berlogo salah satu restoran Jepang ternama.
"Buat saya?" tunjuk ku pada diri sendiri.
Paka Gama mengangguk. Seolah paham dengan kebingunganku, dia kembali melanjutkan. "Tadi saya pesen online, tapi kebanyakan."
"Buat kamu saja ini sisanya, daripada mubadzir."
Mau tidak mau aku menerima uluran darinya. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, Bapak yang satu ini sudah kembali masuk ke kamarnya. Kali ini bahkan sudah menutup pintu. Menyisakan aku sendiri yang berdiri di depan pintu kamarnya.
Kenapa sih buru-buru masuk?
Aku melongok ke arah paper bag darinya. Membulatkan kedua mata, sebab isi di dalamnya adalah beberapa jenis makanan Jepang kesukaanku. Ini kenapa menunya pas banget sama BM gue? gak mungkin kan ini karena story WhatsApp yang tadi gue buat?
Nah loh, gimana nih menurut kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...