Yang kangen yang kangen 😁
Maaf baru update lagiDisalahkan dan dimaki-maki atas kesalahan yang dibuat ketika bekerja memang bukan hal yang jarang terjadi. Dianggap tidak bisa berpikir kritis atau tidak tanggap terhadap permintaan atasan juga demikian, kerap terjadi di dalam beberapa kasus. Namun karena terbiasa bekerja dengan Mas Shua yang pengertian, aku sedikit kaget ketika mendapatkan bentakan karena sebuah kesalahan kecil yang aku lakukan. Apalagi oleh orang yang baru dua hari ini menjadi atasanku.
I know that I'm wrong, but selfcare is not selffish. Dengan bahasa yang santun dan pelan, aku menjelaskan pada Mbak Sita — atasan sementara ku karena Mas Shua yang mendadak mengambil cuti. Aku bekerja seperti biasa, mengerjakan tugas dengan format seperti sebelumnya, lalu menyerahkan tugas tepat sehari sebelum deadline yang diberikan. Lalu letak salahnya di mana? salahnya karena ternyata, hasil pekerjaan yang aku berikan tidak sesuai dengan standar minimal yang diterapkan oleh atasan baruku tersebut.
Kenapa sih?
Kan bisa dikasih tau baik-baik, terus gue kerjain ulang.Aku menggerutu sendiri. Sembari mengetikkan kata demi kata di keyboard di depanku, aku sibuk mengutarakan kekesalanku dengan menekan-nekan keras keyboard
Aku menyandarkan punggung di kursi. Mengambil napas dalam, sebab akhirnya berhasil menyelesaikan weekly report yang tadi ditolak mentah-mentah itu.
"Udah kelar, Liv?" tanya Mas Robby, salah satu orang yang kebetulan duduk di sebelahku. Dia adalah saksi hidup satu-satunya ketika aku dipermalukan beberapa saat yang lalu.
Aku menoleh ke arahnya, lalu mengangguk lesu. "Udah, Mas. Cuma gatau nih, bakalan disuruh ulang apa nggak." Aku memijit pelan keningku. Tadi malam aku merasa kurang tidur, dan kini efeknya sedikit pusing.
"Nih minum," dia mengulurkan segelas air mineral padaku. "Mba Sita emang begitu orangnya, suka marah-marah gak jelas."
Aku hanya meringis, lalu mengambil sebotol air yang diberikannya. "Gue tau sih, Mas, kalau salah. Tapi bisa kali ngasih taunya pelan-pelan." Curhatku jujur. Pasalnya di rumah pun aku tak pernah dibentak sekali pun, jadi lumayan kaget saja ketika mendapatkannya. Ya meski bekerja dengan orang tidak selalu mulus, tetapi setidaknya aku tidak akan terlalu kaget jika sudah bersiap-siap.
Mas Robbi tersenyum, lalu menggeleng. "Lo nggak pernah dimarahin Shua sih, Liv. Jadinya sekali hadep-hadepan sama Mbak Sita, shock."
Aku mengangguk. "Kerjaan gue dari kemarin emang yang nggak bener, atau Mbak ini yang banyak mau?" aku menarik kursiku. Mendekat sedikit ke arahnya, sebab tak mau jika pertanyaanku barusan di dengar oleh orang lain. Takut.
"Gatau sih, tapi kayaknya cuma kurang lengkap aja kan? bukan salah secara keseluruhan?" aku mengangguk.
"Paling emang suasana hatinya lagi buruk, jadi marah-marah nggak jelas." Dia terlihat mencabut ponselnya yang sedari tadi di cas. "Makanya ketimbang ngasih tau baik-baik, dia butuh objek buat ngelampiasin emosi." Ujarnya menambahkan.
Anjir, egois bener!
"Gue mau ke pantry dulu ya," Mas Robi mengantongi ponselnya. Lalu berdiri sebelum kembali melanjutkan omongan. "Mau ikut nggak?"
Aku menggeleng. "Nggak, Mas. Lo duluan aja," jawabku.
Menghilangkan kebosanan, aku memilih untuk bermain ponsel. Menscroll-scroll tidak jelas, hanya untuk menikmati video-video lucu atau pun gosip terbaru. Sebab sudah tak ada pekerjaan yang perlu aku kerjakan, hanya tinggal menunggu hasil revisian yang semoga tidak diberikan Mbak Sita.
Ting!
Suara tanda pesan masuk membuatku mengalihkan layar ponsel. Dari yang sebelumnya berada di halaman reels Instagram, kini beralih ke aplikasi berwarna hijau yang umum digunakan untuk saling berkirim pesan."Ngobrolin apa tadi sama Robbi?" reflek aku menoleh ke arah kanan dan kiri. Mencoba mencari tahu, di mana kah posisi orang yang baru saja mengirim pesan ini.
Apa dia salah paham?
"Biasa," tulisku singkat. Sebab tak ingin dianggap tukang ngadu jika menceritakannya.
"Keliatan asyik." Tulisnya diakhiri dengan tanda titik. Waduh, jealous kah? kok singkat banget.
Diam-diam aku menarik kedua sudut bibirku. Berniat untuk sedikit mengisenginya, sebab ingin melihat reaksinya. "Iya ih, ternyata Mas Robby enak banget di ajak ngobrol." Aku menambahkan emoticon meringis di akhir kata.
Wih, langsung centang dua biru.
"Mas juga asyik di ajak ngobrol,"
"Tapi ngobrol sama Mas Gama serius-serius, mulu. Kalau sama Mas Robi bisa sambil nggosip, " aku terkikik. Sepertinya keisenganku tidak boleh dilanjutkan, atau si bapak yang satu itu akan melakukan sesuatu.
"Gosip apa? Mas juga bisa."
"Ngomongin orang. Emang Mas Gama mau?"
"Ngomongin orang dosa, Liv. Gak boleh."
"Tapi seru," tentu saja sebagai anak baru gede aku tidak memiliki pemikiran sepertinya. Maksudnya aku tetap tahu kalau membicarakan orang lain itu bukanlah hal yang terpuji. Tapi sesekali, manusiawi bukan?
"Kalau orangnya ngeselin?"
"Pengecualian gak sih?" lanjutku menambahkan.
"Nanti cerita saja sama Mas. Jangan sama orang lain."
Waduh, apalagi nih? posesif sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Chick-Lit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...