Chapter 19 - Pacar Brengsek

128 7 3
                                    

Pagi itu udara sangat dingin. Menurut berita cuaca di televisi, hujan salju akan mulai turun hari ini.

Sean terjaga dari tidur. Ia memindai seisi kamar. Terlihat olehnya Deborah yang sedang mengais pakaian kotor dari keranjang. Bibirnya mengulas senyum. Dipandangi punggung ibunya. Apakah dia masih marah?

"Cepat mandi dan sarapan. Setelah itu urus Bobby sebelum berangkat kuliah," ucap Deborah tanpa memutar tubuh pada pemuda yang sedang duduk di tengah ranjang.
Ia sibuk dengan pakaian kotor di dalam keranjang.

Sean tersenyum lega mendengar ibunya bicara. Dia segera beringsut dari ranjang, lalu memeluk tubuh pendek sang ibu dari belakang.

"Maafkan aku, Bu ..."

Deborah menghentikan aktivitasnya. Dilepaskan pakaian kotor dari genggaman. Tangannya berpindah pada lengan Sean yang masih melingkar di perutnya. Matanya terpejam menahan segala nestapa.

Sakit, hatinya sangat sakit setiap kali mengingat apa yang Sean lakukan di ruang tamu semalam.

Putranya menjilat sepatu Janied seperti seekor anjing! Bahkan pemuda jahat itu menendang Sean di hadapan semua orang.
Ibu mana yang akan tahan?

"Bu," bisik Sean seiring dekapannya yang mengendur. Ia memutar tubuh sang ibu menghadap padanya. Hatinya tersentak melihat wajah Deborah sudah dibanjiri air mata.

"Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu berbohong pada Ibu? Ada apa denganmu, Sean? Kenapa kamu begitu perduli pada Nona Xavia? Bahkan kamu ..."

Deborah tak kuasa melanjutkan ucapannya. Dia tak bisa menguasai emosi yang sedang mengguncang seluruh jiwa. Punggungnya bergetar dalam tangis.

"Bu, aku benar-benar menyesali semuanya. Aku janji tidak akan ikut campur lagi dengan urusan Xavia. Aku janji, Bu."

Sean bicara sambil menatap dalam ke wajah Deborah. Kali ini ia sepertinya bersungguh, karena dia paling tak suka melihat ibunya menangis.

Tangan Deborah merangkum wajah Sean. Ia berusaha menahan tangisnya. Sudah banyak hinaan yang dirinya terima di rumah ini. Namun, ia tak tahan jika seseorang menghina putra kebanggaannya ini.

"Lupakan semuanya. Mandilah, aku akan menyiapkan roti untukmu sarapan," ucapnya lirih.

Sean hanya menjawab dengan anggukan yang disertai senyuman tipis. Deborah tersenyum pahit sebelum melenggang pergi.
...............................................

"Makanlah yang banyak, Bobby.
Aku tak ingin kamu sakit. Ibumu pasti akan membunuhku jika sampai kamu sakit lagi seperti kemarin." Sean tersenyum tipis sambil berjongkok memandangi Bobby yang sedang menyantap sepotong daging.

Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Tak seharusnya ia ikut campur dengan urusan Xavia dan Janied. Namun, kenapa dia tak bisa benar-benar membebaskan diri dari rasa perdulinya pada Xavia?

Cinta?

Apakah dia sangat mencintai Xavia? Bodoh, benar-benar bodoh!

Suara gonggongan Bobby membuat Sean tersentak dari lamunannya.
Ia segera menoleh ke sekitar. Bobby suka menggonggong jika melihat seseorang yang asing baginya.

Pupil kebiruan Sean membulat melihat siapa yang sedang berjalan menuju padanya. Janied?

"Oh, anjing yang pintar. Apakah begini caramu menyambut Tuan Muda di rumah ini, hah?!" Dengan wajah angkuh Janied langsung menendang moncong Bobby yang masih saja menggonggong.

Anjing itu melolong kesakitan.
Sean segera bangkit dengan memasang wajah geram pada pemuda sombong di hadapannya. Janied menyambut dengan tersenyum remeh.

MENANTU MISKIN PRESDIR (return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang