Chapter 151 - Sebuah Kenyataan

85 3 0
                                    

Malam itu pukul delapan. Mobil BMW hitam yang membawa Xavia tiba di pelataran mansion Tuan Hernandez di San Mitero.

Xavia tidak buru-buru keluar dari mobil. Dipandanginya bangunan mewah yang kini berdiri di depannya. Ia tak menyangka jika kini dirinya kembali ke rumah itu. Rumah orang tuanya.

Sambil menggendong Emily yang sudah terlelap, Xavia keluar dari mobil.

Angela berjalan di belakangnya sambil menggendong Jose. Xavia berjalan lamban sambil memindai sekeliling. Sepi dan sunyi. Tak ada yang menyambutnya datang seperti dahulu.

Langkah Xavia memasuki mansion setelah seorang bodyguard membuka kunci pintunya. Hatinya mengharu biru. Air matanya berjatuhan tak tertahan.

Gelak tawa Tuan Hernandez dan ibunya terdengar di telinganya. Seolah menyambut kedatangnya kembali.

Matanya memindai seluruh ruangan. Tak ada yang berubah. Hanya saja, semua furniture di rumah itu masih tertutup oleh kain putih.

Xavia tak sempat meminta para pelayan untuk merapikan mansion karena kedatangannya yang mendadak.

Setelah merebahkan Emily dan Jose di kotaknya, Xavia kembali berjalan-jalan di sekitar mansion.

Angela hanya terdiam memandangi punggung Xavia menjauh. Pasti Xavia sangat sedih karena kembali teringat pada orang tuanya yang sudah tiada.

Langkah kecil sepasang heels warna putih itu tiba di depan pintu sebuah kamar. Kamar Tuan Hernandez. Hati Xavia bergetar hebat saat dirinya mendorong pintu itu ke dalam.

Jantungnya berdegup kencang, air matanya berjatuhan. Potret besar Tuan Hernandez menyambutnya di dalam kamar.

Xavia menangis pilu memandangi potret ayahnya lalu potret ibunya. Kedua potret besar itu terpampang di dinding secara bersisian.

Wajah mereka begitu cerah dan hangat. Mereka masih terlalu muda untuk tiada. Hati Xavia terasa dicabik-cabik mengingat kedua orang tuanya telah pergi untuk selamanya.

"Mommy, Dad ... andaikan kalian masih ada. Mungkin aku tidak akan semenderita ini. Aku ingin bertemu dengan kalian."

Xavia duduk di tepi ranjang luas di kamar itu. Didekap potret kecil ayah dan ibunya. Tangisnya tak jua dihentikan.

Seisi kamar tertutup oleh kain putih. Xavia menyingkap kain putih yang menutupi meja kerja Tuan Hernandez.

Diusap sambil Dipandangi meja kayu itu. Ayahnya selalu menghabiskan banyak waktunya di sana.

Xavia duduk pada kursi tempat biasa Tuan Hernandez mengerjakan tugas kantor. Tangannya membuka laci kecil meja di depannya. Matanya menatap dalam pada sebuah buku yang cukup tebal.

Buku harian Tuan Hernandez.

'Hari ini aku sangat bahagia karena putriku telah menikah. Dia menikahi pemuda yang tepat. Sean, aku sudah menganggapnya sebagai putraku sendiri. Aku yakin Sean bisa menjaga dan membuat Xavia selalu bahagia.'

Xavia membungkam mulutnya dengan berlinangan air mata setelah membaca buku harian Tuan Hernandez.

Halaman demi halaman dibacanya. Ada banyak yang ayahnya tulis, terutama tentang dirinya dan Sean. Juga tentang kehidupan yang dia lalui setiap tahunnya.

'Hari ini sebuah rahasia besar baru terungkap. Aku sangat menyesal, mengapa aku baru mengetahuinya. Paman Andreas mengatakan jika aku memiliki dua orang putri. Xavia, ternyata dia memiliki saudari kembar.'

Kali ini Xavia sangat terkejut membaca apa yang ditulis oleh ayahnya.

Ia membungkam mulutnya sambil menggelengkan kepala. Lalu ia melanjutkan ke halaman berikutnya, berharap ayahnya menulis sambungan dari halaman yang tadi dibacanya.

MENANTU MISKIN PRESDIR (return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang