Chapter 158 - Surel Dari Leah

99 7 0
                                    

Musim panas di San Mitero. Angin bertiup kencang sore itu. Menggoyahkan dahan-dahan pohon maple yang berdiri simetris di sepanjang jalan menuju mansion Tuan Hernandez.

Daun berwarna kuning kemerahan itu berjatuhan ke tanah, terseok angin ke sana ke mari.

Empat tahun telah berlalu pasca insiden penembakan di sungai Salvador Barat yang menewaskan Josh dan Leah.

Upaya pencarian sudah dihentikan oleh team penyelamat dan satuan khusus. Namun, diam-diam Sean masih melakukan pencarian.

Jenazah Leah tidak ditemukan. Ada kemungkinan wanita itu masih hidup. Akan tetapi, pihak kepolisian sudah menyisir lokasi sampai menyelami sungai. Hasilnya, mereka tidak menemukan Leah di sana.

Sungai itu cukup dangkal dan berada di tepi hutan. Hewan buas sering terlihat berkeliaran bebas. Apa mungkin Leah sudah tewas diterkam buaya atau harimau di hutan itu? Entahlah, tak ada yang tahu.

Seajak kejadian itu, Xavia sering murung seorang diri. Kematian Leah menyisakan luka yang dalam di hatinya. Andaikan waktu itu dirinya setuju untuk memberikan Sean pada Leah, apakah saudarinya masih hidup?

Xavia mengusap bulir bening yang terjun di pipi. Sambil duduk di teras balkon kamar, wanita itu memandangi matahari yang hampir terbenam.

Baru saja dirinya merasa senang karena masih memiliki kerabat. Namun Leah harus pergi dengan cepat. Mungkin ini sudah takdirnya, ia tak memiliki siapa-siapa lagi sekarang.

Sean yang baru tiba di kamar menghentikan langkahnya. Dilihat Xavia yang sedang duduk sendiri di teras balkon. Sudah beberapa tahun ini istrinya didera kegalauan. Mungkin Xavia masih belum bisa merelakan kematian Leah.

Dihela napas lasu olehnya. Diletakkan tas kerja pada meja di kamar. Sambil mengendurkan simpul dasinya, Sean melangkah menuju wanita dengan dress selutut warna hitam yang sedang duduk pada sofa di teras balkon.

"Selamat sore, Darling. Apakah aku mengganggumu?" ucap Sean usai mengecup pucuk kepala Xavia seraya mendaratkan bokongnya pada sofa kosong di samping sang istri. Bibirnya tersenyum manis saat manik hijau hazel yang indah itu terangkat ke wajahnya.

"Kamu sudah kembali? Maaf jika aku tidak menyambutmu," ucap Xavia disertai senyuman tipis. Diselipkan anak-anak rambut ke telinga. Pandangannya kembali pada lembayung jingga di ufuk barat.

Sean tersenyum tipis. "Hei, berhentilah murung seperti ini. Empat tahun sudah berlalu, aku merindukan Xavia ku yang dulu," bisiknya seraya meraih jemari lentik dengan nail warna merah di depannya. Tatapan lembut ia sematkan saat Xavia menoleh.

"Aku baik-baik saja, jangan cemas."

"Tidak, kamu tidak baik-baik saja. Aku tak suka situasi seperti ini. Aku merindukanmu," cela Sean. Tangannya berpindah ke pipi licin istrinya. Dibelai rambut hitam Xavia dengan tatapan lembut. "Lupakan semuanya, kumohon."

Xavia mengangguk disertai senyuman tipis. Sean merasa lega melihatnya. Diraihnya bahu sang istri sampai bersandar padanya. Xavia masih membutuhkan waktu untuk memulihkan rasa kehilangan akan kematian Leah.

Empat tahun yang lalu, setelah upaya pencarian dihentikan. Sean mengajak Xavia untuk meninggalkan Salvador Barat dan tinggal di San Mitero.

Tidak hanya mereka saja, tapi juga Deborah dan Nigel. Mereka meninggalkan mansion mewah yang berada di Parmer's City Residence.

Pernah terjadi penembakkan dan puluhan bodyguard tewas di mansion itu. Sean tak ingin Xavia dan anak-anaknya mengalami trauma. Oleh karena itu ia putuskan untuk meninggalkan Salvador dan kembali ke San Mitero.

Sementara, tinggal di mansion Tuan Hernandez adalah permintaan Xavia. Ia ingin membesarkan anak-anaknya di rumah orang tuanya. Di sana Xavia merasa ayah dan ibunya selalu berada di sisi mereka, mengawasi.

MENANTU MISKIN PRESDIR (return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang