Pagi yang teramat dingin di Salvador Timur. Terlihat Xavia yang sedang membersihkan meja makan. Diraihnya piring-piring kotor bekas sarapan, lalu membawanya menuju wastafel.
Kemudian dibersihkan meja itu dengan sehelai kain lap. Sesekali Xavia menyeka peluh yang membuat dahinya lembab. Ia tampak bekerja dengan keras merapikan meja makan.
"Apakah mau aku buatkan secangkir teh hangat?" tanya Xavia pada Nyonya Hernandez yang sedang duduk pada bangku di samping meja makan. Bibirnya tersenyum tipis melihat wanita itu menatapnya.
"Tak perlu," jawab Nyonya Hernandez singkat.
Matanya tetap memperhatikan Xavia yang kembali melanjutkan pekerjaan di dapur. Gadis itu tampak sedang menyibukan dirinya. Entah ada masalah apa dengan Xavia.
Hanya kesedihan yang tampak di mata gadis itu."Aku akan berangkat bekerja. Hari ini mungkin akan pulang lebih cepat. Beristirahatlah dan jangan lupa meminum obat."
Xavia bicara sambil menaruh piring-piring yang baru selesai dicuci pada rak kecil di atas meja kitchen set. Ia menoleh satu kali pada wanita yang masih duduk di samping meja makan.
"Xavia, apakah ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?"
Gadis itu menghentikan aktivitasnya barang sejenak. Pertanyaan ibunya membuatnya terkesiap.
Banyak, ada banyak sekali yang sedang dirinya pikirkan saat ini. Kesehatan ibunya, biaya pengobatan, dan hubungannya dengan Sean. Namun, ibunya tak perlu tahu.
Ditarik napas panjang olehnya.
Ia segera menoleh pada sang ibu sambil tersenyum hangat." Tak ada," jawabnya lalu kembali menghadap pada meja kitchen set dan menyelesaikan pekerjaannya.Nyonya Hernandez menghela napas lesu. Kenapa Xavia berbohong padanya?
Apakah dengan dirinya jujur ia akan lebih cepat mati?
Kenapa harus berbohong?
Kepalanya menggeleng dan segera bangkit dari duduknya.Ekor mata Xavia melirik ke punggung Nyonya Hernandez yang sedang berjalan menuju kamar. Dihela napas lega olehnya.
Syukurlah. Ibunya tidak bertanya banyak padanya. Apa pun yang sedang dirinya rasakan saat ini sebaiknya Nyonya Hernandez tidak perlu tahu. Xavia tak ingin kesehatan ibunya memburuk karena memikirkan dirinya.
Setelah pekerjaan rumah selesai, Xavia segera berangkat bekerja.
Di perkebunan ia bertemu dengan Angela.Gadis itu banyak bertanya padanya. Namun, Xavia tidak menjawab apa pun. Akhirnya mereka hanya saling berdiam diri dalam situasi pekerjaan.
.....................................................
Xavia sedang memetik jeruk di perkebunan. Ekor matanya melirik ke arah Angela yang sedang mengobrol bersama buruh lainnya. Ia merasa tak enak hati karena bersikap acuh pada temannya itu sepanjang hari.
Namun, ia tak ingin bercerita apa pun tentang pernikahannya dengan Sean pada Angela. Ini bukan waktu yang tepat. Pandangannya kembali pada buah-buah jeruk ranum yang sedang bergelantungan di hadapannya.
Pukul dua sore Xavia membawa keranjang yang dipenuhi buah jeruk menuju gudang di mana buah-buah itu akan disimpan sebelum dibawa ke pabrik. Keranjang itu cukup besar dan terasa berat.
Langkahnya sampai sempoyongan mengimbangi agar jeruk-jeruk itu tidak berjatuhan. Biasanya ia menghotong keranjang itu bersama Angela.
Namun, gadis itu tidak kelihatan di sekitar. Mungkin Angela marah karena ia bersikap dingin hari ini. Xavia menggeleng lesu sambil berusaha membawa keranjang itu menuju gudang.
"Maaf! Aduh, jeruknya berjatuhan." Xavia tak sengaja menabrak punggung seorang pria berjas hitam yang sedang berbincang dengan Packual di tengah jalan menuju gudang.
Akibatnya keranjang yang dibawanya jatuh dan memuntahkan jeruk-jeruk ranum di dalamnya. Ia buru-buru berjongkok mengutip semuanya. Astaga, ceroboh sekali! Bagaimana jika Packual marah padanya?
Ia bisa saja dipecat."Xavia?"
Jemari lentik dengan nail warna merah itu berhenti dari aktivitasnya memunguti buah-buah jeruk yang berhampuran di tanah berumput.
Mata Xavia terangkat pada pria berjas hitam yang tadi menyebut namanya. Ia sangat terkejut saat melihat wajah pria paruh baya itu.
"Paman Nigel?"
Xavia segera bangkit. Nigel menatapnya hampir tak percaya. Sedang apa Xavia berada di perkebunan?
Pandangannya turun pada seragam yang dikenakan gadis itu. Hatinya bergetar hebat. Jadi, menantunya bekerja di perkebunan ini?
Xavia hanya menjatuhkan wajahnya. Pandangannya berpaling. Diam-diam ia menyeka titik kecil pada sudut matanya.
Bertemu ayah mertuanya di tempat dan dalam keadaan seperti ini benar-benar membuatnya sangat bersedih dan malu.
Sementara Packual hanya terdiam penuh tanya melihat ekspresi kedua orang itu.
"Kenapa kamu tidak menemui Sean saat melihatnya kemarin? Kamu tahu, Xavia? Sean selalu memikirkan dirimu selama ini, hanya saja ia terlalu takut pada ibunya."
Nigel bicara pada Xavia saat mereka duduk bersisian pada bangku di bawah pohon.
"Paman berbohong. Bukankah Sean akan segera bertunangan dengan gadis lain? Dia sudah melupakanku," balas Xavia dengan wajah murung.
Nigel menggeleng."Tidak, Nak.
Kamu salah paham. Deborah yang memaksanya untuk menikahi gadis itu. Sementara Sean sama sekali tidak mencintai Molly," ucapnya lalu mengusap kepala Xavia."Pulanglah ke rumah suamimu, Xavia. Semuanya belum terlambat. Kembalilah pada Sean," lanjutnya dengan memohon.
Xavia hanya terdiam. Nigel menatapnya penuh harap. Bibirnya tersenyum lega saat gadis itu mengangguk pelan.
~•~
"Aku ingin kamu dan Nyonya Hernandez tinggal di rumah kami. Lagi pula di sini terlalu pengap untuk kalian. Nyonya Hernandez harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit." Nigel bicara pada Xavia dan Nyonya Hernandez saat dirinya tiba di villa kecil Xavia.
"Nigel, aku sudah banyak menyakiti kalian. Aku tak bisa menerima kebaikanmu ini. Tinggalkan saja aku di sini. Namun, Bawalah Xavia bersamamu. Aku tak ingin menjadi beban bagi kalian," tukas Nyonya Hernandez dengan wajah sedih.
Kenapa hidup ini sangat kejam? Dirinya yang dulu memiliki segalanya dan selalu bersikap sombong justru kini berada di titik yang paling rendah.
Sementara pelayan itu kini memiliki segalanya. Pakaian yang bagus, uang yang banyak. Harusnya ini kesempatan mereka untuk membalas semua perbuatan jahatnya dahulu, tapi Nigel masih saja bersikap baik padanya. Dia sangat malu.
"Nyonya, tolong jangan bicara seperti itu. Kami berhutang banyak pada Tuan Hernandez. Aku bersyukur jika Tuhan memberiku kesempatan untuk membalas semua kebaikannya. Kumohon jangan menolak, ikutlah denganku ke Salvador Barat."
Nigel berkata dengan wajah penuh harap pada Nyonya Hernandez yang sedang duduk bersandar di tengah ranjang.
Xavia menoleh pada ibunya sambil mengangguk pelan. Dari tatapan dan senyum tipisnya ia meminta agar ibunya menerima tawaran Nigel. Terlebih ia pun sangat ingin bertemu dengan Sean.
"Baiklah," ucap Nyonya Hernandez dengan pasrah. Terlebih ia memikirkan Xavia.
Nigel tersenyum lega mendengarnya. Pria itu segera menelepon asistennya untuk mengurus keberangkatan Xavia dan Nyonya Hernandez ke Salvador Barat.
Nigel ingin memberi kejutan pada Sean. Meski mungkin Deborah tidak akan suka, tapi bagaimanapun Xavia adalah menantu mereka. Berdosa jika dirinya membiarkan gadis itu menderita.
Siang itu juga Xavia dan Nyonya Hernandez berangkat ke Salvador Barat.
Mobil CRV putih yang membawa mereka meninggalkan villa. Perjalanan dari Salvador Timur menuju Salvador Barat hanya memakan waktu dua jam saja.
Xavia sudah tak sabar ingin bertemu dengan Sean. Ia sangat lega setelah mendengar cerita Nigel tentang hubungan Sean dan Molly. Ternyata Sean masih mencintainya. Ia akan segera datang dan merebut suaminya dari gadis itu.
'Aku datang, Sean. Kuharap apa yang dikatakan Paman Nigel benar adanya, kamu masih menungguku,' ucapnya dalam hati. Bibir kemerahan itu mengulas senyum penuh harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANTU MISKIN PRESDIR (return)
RomanceSean Palmer, putra sepasang pelayan di keluarga Hernandez, konglomerat kaya raya di kota San Mitero. Diam-diam Sean menyimpan perasaan cinta pada putri majikannya, Xavia Price Hernandez. Namun, ia harus mengubur cintanya karena status mereka yang ja...