Chapter 33 - Mulut Pedas Ibu Mertua

161 8 2
                                    

Sean sedang duduk sendiri di tepi ranjang. Dipandangi foto Xavia dalam genggaman. Kenapa Xavia masih percaya saja pada Janied. Bahkan mau dipegang-pegang oleh pemuda brengsek itu.

Apakah pernikahan ini tak dianggap penting dan sakral olehnya?
Apakah Xavia akan kembali pada Janied?

Sean menggelengkan kepala tampak pusing. Dia memang hanya pemuda miskin yang tak mungkin bisa membuat Xavia bahagia dari segi financial. Namun, dengan segenap jiwa ia akan berusaha membuat istrinya bahagia.

Wajahnya menunduk lesu. Kenapa dia harus merasakan perasaan yang seperti ini? Sakit dan hancur sekali saat melihat Xavia dan Janied bertatapan.

Apakah karena Xavia adalah istrinya? Hingga perasaan yang memang tadinya sudah ada itu kini jauh semakin besar.

Dia sangat mencintai Xavia. Namun, apakah sepenting itu peran Xavia dalam hatinya? Hingga kini begitu perih yang ia rasakan. Xavia, kapan dirinya bisa mengatakan perasaan ini padanya?

Kepalanya menggeleng. Dia tak punya apa-apa yang bisa diberikan pada istrinya sebagai simbol perasaannya. Tangannya mengepal kuat. Kenapa Tuhan tidak adil padanya? Kapan ia bisa memiliki segalanya dan mendapatkan cinta Xavia?

Sean terlihat sangat kacau. Tangannya menjambak rambutnya sendiri. Ingin rasanya ia meraung pilu. Namun, ia tak bisa melakukannya. Jika ibunya melihat bagaimana? Deborah pasti akan marah-marah padanya.

"Sean! Apakah kamu di dalam?!" Tiba-tiba terdengar suara Xavia dari luar pintu. Gadis itu mengetuk pintu kamar berulang kali.

Sean sangat terkejut. Astaga, bagaimana ini? Xavia tak boleh melihatnya yang seperti ini! Buru-buru pemuda itu bangkit. Ditaruh kembali foto Xavia ke bawah kasurnya.

Dia segera berlari menuju cermin untuk memastikan penampilannya. Ya Tuhan ... wajahnya sangat kusut sengkiron dengan rambutnya yang juga acak-acakan.

Sean segera merapikan semuanya. Bibirnya tersenyum di depan cermin.
Baik, semuanya sudah lebih baik. Pemuda itu segera berjalan menuju pintu.

"Sean, apakah kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali membuka pintunya?" Xavia sedang menatapnya heran. Dia mencemaskan suaminya. Sean pergi begitu saja dari teras belakang.

Sean hanya terdiam memandangi gadis cantik dengan dress selutut motif bunga di hadapannya. Pandangannya menilik dengan teliti. Apakah si brengsek Janied sudah melakukan sesuatu pada istrinya? Sepertinya tidak.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Sean.
Ia tampak acuh sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Xavia tersenyum lega melihatnya bicara. "Aku mencemaskan dirimu! Tadi kamu pergi begitu saja! Apa kamu marah padaku karena Janied?" tanyanya.

"Marah? Kenapa aku harus marah?"

Sean memalingkan wajah usai bicara. Bodoh! Kenapa dia mengucapkan kalimat itu?

Sama sekali tidak tepat dan terkesan tidak perduli pada Xavia. Padahal, kenyataannya dia sangat murka melihat Xavia bersama Janied. Sean merutuki dalam hati.

Senyum di wajah Xavia langsung padam seketika. "Syukurlah," ucapnya tampak tidak bersemangat. Kemudian ia memalingkan wajah ke lain arah.

Melihat hal itu Sean merasa bersalah pada Xavia. Dia benar-benar tak pandai menghadapi seorang gadis. Bahkan istrinya sendiri. Sepertinya dia harus belajar lagi dan membaca banyak buku. Pasti Xavia berpikir jika ia tidak perduli padanya.

Sekarang bagaimana? Apakah ia ajak bicara Xavia di dalam kamar? Sepertinya itu ide bagus. Sean segera meraih lengan Xavia. Gadis itu menatapnya kaget.

"Xavia, masuklah dulu. Kita bicara di dalam," ucap Sean.

MENANTU MISKIN PRESDIR (return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang