Chapter 72 - Mereka Berpisah

113 5 0
                                    

Hari sudah gelap saat mobil taksi yang ditumpang oleh Sean dan orang tuanya tiba di Salvador. Deborah yang memutuskan mereka untuk kembali ke kampung halamannya.

Sean tampak murung saat keluar dari pintu taksi. Sementara Deborah segera membayar tagihan perjalanan mereka.

"Ayo, Sean! Kita harus segera mencari villa untuk menginap!" Deborah segera melangkah melewati Sean yang sedang berdiri di tepi jalan.

Wanita itu tahu jika putranya pasti sedang sangat bersedih karena harus berpisah dengan Xavia. Namun, ia merasa ini jauh lebih baik daripada terus tinggal bersama Nyonya Hernandez yang kejam itu.

Nigel merangkul bahu Sean. Bibirnya tersenyum pahit saat pria itu menoleh. Sebagai seorang ayah dirinya sangat mengerti perasaan Sean saat ini.

"Sudahlah, jangan dipikirkan terus. Jika kalian memang ditakdirkan untuk bersama, maka Tuhan pasti akan menyatukan kamu dan Xavia lagi. Percayalah," ucapnya, lantas menepuk bahu Sean.

Sean hanya mengangguk satu kali. Nigel kembali tersenyum lalu mengajak pria itu memasuki pelataran villa kecil di hadapan mereka.

Terlihat di teras, Deborah yang sedang bicara dengan pemilik villa itu. Mereka bersyukur tidak kesulitan mendapatkan tempat tinggal di Salvador.

~•~

Matahari sudah terbenam. Deborah sudah berada di dalam villa. Wanita itu sedang merapikan kamar untuk Sean beristirahat. Setelah setuju dengan harga sewanya, Deborah akhirnya mengambil villa itu untuk mereka tempati sementara waktu.

Villa ini sangat kecil, hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur.

Harus bagaimana lagi?

Mereka bahkan tidak memiliki banyak uang. Hanya villa kecil ini yang bisa dirinya sewa untuk mereka tinggali sampai Sean mendapatkan pekerjaan.

Nyonya Hernandez sudah mengusir mereka tanpa alasan yang jelas. Wanita itu memang sudah tidak waras. Bahkan Nyonya Hernandez yang kejam itu tidak memberinya uang pesangon yang sesuai.

Padahal, mereka sudah bekerja hampir lima belas tahun lamanya di rumah itu. Benar-benar tak punya perasaan.

Deborah mencengkeram kuat selimut tebal yang sedang dipegangnya. Pandangannya lurus ke depan dengan manik kecokelatan yang dipenuhi api dendam. Ia bersumpah akan membalas semua ini.

Deborah tersentak dari lamunannya saat tiba-tiba terdengar pintu didorong dari luar. Ia menoleh ke arah pintu.

Sean baru saja memasuki kamar. Wajah putranya tampak masih murung. Ia menggeleng jengah. Sean pasti masih memikirkan Xavia.

"Uang kita hanya cukup untuk menyewa villa ini sampai tiga bulan ke depan. Kuharap kamu bisa segera mendapatkan pekerjaan di sini," ucap Deborah. Tangannya sedang sibuk melipat selimut tebal sambil berdiri di samping ranjang sempit di sana.

"Esok aku akan mencoba mencari pekerjaan." Sean yang sedang duduk bersandar pada sofa menanggapi dengan suara pelan. Wajahnya berpaling saat Deborah menoleh padanya.

"Apakah kamu masih memikirkan Xavia?" tanya Deborah acuh tak acuh.

Sean tidak buru-buru menjawabnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak mendengar pertanyaan ibunya. Dihela napas panjang olehnya, lalu mengembalikan pandangan pada wanita bertubuh mungil yang sedang menatapnya dari samping ranjang.

"Bu, aku sangat mencemaskan Xavia. Aku belum mengatakannya padamu dan pada semuanya jika Presdir telah di tipu. Kini mereka tidak memiliki apa pun lagi, karena Presdir sudah mengalihkan seluruh wewenang perusahaan dan semua asetnya pada Tuan Caldwell." Sean mengusap wajahnya usai bicara.

MENANTU MISKIN PRESDIR (return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang