Xavia mengusap pipinya yang basah. Tak ada gunanya ia menangis. Sekarang lebih baik ia temui Sean dan jelaskan semuanya.
Tega benar ibunya sudah membohonginnya, dengan mengatakan jika Sean yang sedang menunggunya di teras belakang. Nyatanya pria itu adalah Janied, bukan Sean.
Dengan emosi yang sulit dikendalikan, Xavia ingin segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba tangan seseorang mencekal lengannya. Ia menoleh cepat dan langsung menampar wajah pria itu.
Plaak!
"Kurang ajar kamu, Janied! Beraninya kamu muncul lagi di hadapanku. Apakah kamu sudah tidak punya urat malu lagi, hah?!"
Dengan emosi yang membuncah Xavia menatap nyalang pada pria di hadapannya. Telapak tangan itu masih terasa panas usai menampar pria tak tahu malu itu.
Janied hanya menyeringai. Sial! Pipinya teramat perih karena tamparan keras Xavia. Ia tidak akan melepaskan gadis itu karena perbuatannya.
Namun, kali ini ia harus berpura-pura di hadapan Xavia. Tidak boleh ada kekerasan atau pemaksaan di sini. Jika membalasnya sekarang, maka Xavia tidak akan percaya lagi padanya.
Dengan memasang wajah penuh sesal Janied berkata, "Tampar saja! Tampar saja pria brengsek ini, Xavia! Aku sudah membuat hidupmu menderita. Maafkan aku. Namun, kumohon kamu percayalah padaku. Aku sangat mencintaimu. Aku tahu Sean jauh lebih baik dariku, tapi bagaimana denganku? Aku tak bisa makan dan tidur dengan baik setelah kamu menikahinya."
Xavia terdiam mendengar ucapan Janied. Hatinya mulai terasa luluh, tapi ia tidak mudah percaya begitu saja.
Sampai saat pria itu meraih jemarinya sambil berlutut di hadapannya, Xavia hanya bergeming tanpa suara. Hanya tatapan sendu yang ia lontarkan pada Janied.
"Xavia, apa kamu ingat saat pertama kali kita bertemu di kampus? Kamu selalu mencari tahu tentang diriku. Begitupun denganku, aku selalu mencari perhatianmu di antara banyak gadis yang mencari perhatian ku. Hanya dirimu, Xavia. Aku hanya memilihmu dari sekian banyak gadis yang menginginkan ku, karena aku sudah jatuh cinta padamu sejak awal. Semua itu tidak akan berubah. Aku sangat mencintaimu, Xavia. Kumohon kembalilah padaku. Aku janji tidak akan berbuat kasar lagi padamu." Janied mengakhiri ucapannya. Dengan mata berkaca-kaca ia menatap gadis di hadapannya.
Untuk sesaat Xavia merasa tersentuh akan ucapan Janied. "Semua itu sudah berlalu. Kini aku adalah istri Sean. Aku mohon lupakan saja diriku.
Pergi dan jangan lagi muncul di hadapanku. Aku tidak mau kita bertemu lagi," ucapnya. Tangannya segera ia tarik dengan paksa. Kemudian melenggang pergi sambil mendekap buket bunganya di dada.Janied hanya tersenyum tipis. Melihat ekspresi Xavia sepertinya ia sudah berhasil. Pelan-pelan pasti gadis itu akan kembali padanya.
Xavia pasti akan meninggalkan Sean. Janied tahu jika Xavia sangat mencintainya. Gadis itu pasti akan kembali lagi padanya. Tinggal menunggu waktunya saja.
"Oh, shit! Pegal juga kelamaan berakting seperti ini. Menyebalkan! Xavia bahkan menampar wajahku. Aku pasti akan mendapatkanmu, Xavia."
Janied segera bangkit. Bibirnya tersenyum miring. Dipandangi punggung Xavia yang hampir menghilang di kegelapan malam.
......................................................
Sean sedang berdiri di tepi garis jendela kamar. Hanya punggungnya yang dilihat oleh Xavia saat gadis itu memasuki kamarnya.
Diletakkan buket bunga yang dipegangnya pada meja di seberang sofa. Kemudian ia kembali menoleh ke arah pria di tepi garis jendela.
Bagaimana caranya ia menjelaskan semuanya pada Sean?
Dan apakah suaminya itu akan percaya padanya?Perlahan dengan perasaan gelisah Xavia segera menghampiri Sean. Ia tampak kebingungan saat berdiri di belakang punggung pria itu. Sean diam saja. Apakah ia sangat marah padanya?
"Apa yang kamu lihat di teras tadi itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Ibuku yang mengatakan kamu sedang menungguku di teras belakang, oleh karena itu aku datang ke sana. Ternyata Mommy sudah merencanakan semuanya. Aku minta maaf. Aku tak tahu jika pria itu ..."
Xavia sangat terkejut. Ia tidak sempat melanjutkan ucapannya. Sean tiba-tiba memutar tubuh dan langsung memeluknya. Jantung Xavia seakan berhenti berdetak. Ia dibuat mematung di tempat Sean memeluknya sangat erat.
"Kumohon jangan temui dia lagi. Aku tidak suka melihamu dengannya. Aku cemburu, dan aku tak suka perasaan seperti ini," bisik Sean di telinga Xavia. Napasnya terdengar memburu dan panas. Ia seperti sedang ketakutan.
Xavia menghela napas lega. Jantungnya kembali berdetak dengan normal. Perlahan tangannya terangkat ke punggung Sean.
"Aku tidak akan pernah menemuinya lagi. Aku janji. Terima kasih kamu tidak berpikiran buruk padaku. Maafkan aku sudah membuatmu cemas," ucapnya penuh rasa syukur.
Sean mengangguk. Perlahan ia mengendurkan pelukannya. Tangannya mengusap pucuk kepala sampai meluncur ke pipi Xavia.
Dipandangi wajah sang istri yang juga sedang menatapnya dengan sendu. Bibirnya tersenyum menyingkirkan rasa gelisah di antara mereka.
"Aku percaya padamu," ucap Sean. Kemudian ia menggiring Xavia duduk pada sofa panjang di kamarnya.
Mereka duduk bersisian di sana.
Sean meraih jemari Xavia lalu menatapnya dengan lembut. "Kamu sangat cantik malam ini. Selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang."Xavia memalingkan wajah sambil tersenyum sipu mendengar ucapan manis Sean. Kemudian ia menatapnya dengan lembut.
"Sekarang berikan kadonya padaku!" pintanya dengan memaksa dan manja.
"Apakah buket bunga itu tidak cukup untuk menggambarkan perasanku saat ini? Aku tak punya uang lagi, apa yang harus aku berikan padamu," ucap Sean. Bibirnya tersenyum tipis sambil berpaling dari tatapan Xavia.
Entah kapan dirinya punya banyak uang untuk membahagiakan istrinya. Ia menyesali keadaannya saat ini. Di hari istimewa Xavia ia hanya bisa membelikan satu buket bunga saja.
Gaji seorang direktur utama memang cukup besar. Namun, ia baru bekerja satu pekan di Group Hernandez. Mana mungkin ia meminta gaji di muka. Dia bahkan tidak punya nyali untuk itu.
Xavia hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Sean. Jemarinya meremas jemari pria itu. Ia menatapnya dalam-dalam saat Sean menoleh.
"Aku menginginkan kado yang tak bisa kamu beli. Aku menginginkannya sekarang juga! Apa kamu tidak mau memberikannya?" ucapnya terkesan memaksa.
Sean menggelengkan kepala dengan wajah lesu. "Sudah aku katakan, aku tak punya uang lagi. Mungkin bulan depan aku bisa belikan. Maafkan aku," sesalnya putus asa dan malu.
Xavia tersenyum gemas melihatnya. Ia segera memajukan wajah pada Sean. Pria itu dibuatnya tercengang. Xavia menyapu lembut bibirnya dengan sebuah ciuman. Tatapan keduanya saling mengunci setelah ciuman kilas itu berakhir.
"Aku mau kadonya sekarang," bisik Xavia. Kemudian ia membenamkan wajahnya ke dada bidang Sean.
Pria itu tersenyum tipis. Ia baru mengerti. Tangannya segera meraih Xavia ke pangkuannya. Ia langsung mencium bibirnya dengan lumatan lembut.
"Baiklah jika itu maumu. Aku akan memberikan kadonya sekarang juga." Sean berbisik usai menyudahi ciumannya.
Xavia hanya tersenyum sipu dengan bibir yang basah. Menit selanjutnya tubuhnya sudah diangkat oleh Sean menuju ranjang sempit di kamar itu.
"Ah, Sean!"
Xavia tertawa kecil saat Sean menciumi tubuhnya. Sentuhan itu membuatnya kegelian. Ia sedikit berontak saat Sean meloloskan gaun merah itu dari tubuhnya. Buru-buru ia menarik selimut sampai ke leher.
Sean masih berdiri di samping ranjang di mana Xavia sudah terbaring dalam selimut. Pria itu tersenyum memandangi Xavia yang tampak gelisah. Tangannya mulai menanggalkan kemeja putih yang ia kenakan, lalu turun pada ikat pinggangnya.
Sepasang manik hijau Xavia membulat penuh melihat milik Sean yang sudah berdiri. Ukurannya membuat ia ingin pingsan saat ini juga.
Sementara Sean hanya menyeringai dan segera merangkak naik ke atas ranjang. Xavia memekik kaget saat pria itu muncul di dalam selimut.
"Xavia, ayo kita buat bayi," bisik Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANTU MISKIN PRESDIR (return)
RomanceSean Palmer, putra sepasang pelayan di keluarga Hernandez, konglomerat kaya raya di kota San Mitero. Diam-diam Sean menyimpan perasaan cinta pada putri majikannya, Xavia Price Hernandez. Namun, ia harus mengubur cintanya karena status mereka yang ja...