Redistribusi Sipir, Borgol dan Tahanan

3.6K 42 1
                                    

Di harian ini pernah saya tuliskan bahwa tanggal sekian akan terjadi anu, tanggal sekian terjadi ana, selanjutnya ano, ani dan seterusnya. Tentu saja itu bukan ramalan saya, melainkan karena saya diperalat oleh suatu kekuatan yang menginformasikan bunyi-bunyian semacam itu. Sejak dulu saya suka diperalat, dengan dua syarat.

Pertama, untuk keperluan dan perhitungan yang saya pahami dan yakini mengandung kemashlahatan umum. Kedua, yang memperalat saya bukan kekuatan politik dalam konteks negara, bukan kelompok apapun, pokoknya bukan siapa-siapa atau apa-apa yang bisa memaksakan kehendak atas saya.

Lantas sesudah waktu yang saya sebut-sebut itu berlalu dan tidak semuanya terjadi, saya diisin-isin dan ditagih oleh teman-teman. “Mana yang Ente omong-omongkan itu?”

Jawaban saya macam-macam. Ada teman yang saya omongi begini, “Salahnya Ente percaya sama saya. Wong dapurane saya saja kok dipercaya!” Dengan demikian teman ini puas hatinya, senang perasaannya, dan terbebas mentalnya dari kecenderungan membesar-besarkan saya. Saya pun dapat pahala dengan mengubah hal-hal dalam dirinya untuk sesuatu yang lebih baik.

Teman yang lain saya tambahi, “Lha wong yang digaji saja belum tentu bisa dipercaya, apalagi saya yang tidak digaji apa-apa oleh negara, malah sering dicurigai!” Teman yang lain lagi saya sediakan jawaban berbeda. “Ente nagih ini? Kok yang saya tuliskan ternyata omong kosong, begitu?”

“Ya!”, jawabnya mantap.

“Ente lugu sekali. Ente melihat dunia politik seperti menilai orang kasmaran atau orang jual beli di warung. Kalau orang beli rokok di warung dan tanya harga, lantas penjualnya bilang harganya seribu perak, ya itu artinya seribu perak. Tapi kalau politik, tidak begitu…”

“Ente selalu menjerat orang ke dalam argumentasi yang ruwet!” “Lho memang politik itu ruwet. Ia tidak ruwet hanya pada momentum sesaat ketika suatu episode keruwetan bisa kita jinakkan dengan logika dan pemahaman kita. Tapi jangan lupa setiap ketidakruwetan politik bisa mendadak menjadi bahan sebuah keruwetan yang baru…”

“Bahasa jelasnya saja bagaimana!” teman saya membentak, “mana itu kejadian-kejadian yang Ente tuliskan?”

Saya coba menjawab: “Kalau saya umumkan di gardu bahwa si Muntu akan memukul si Amrin hari Kamis sore di sebuah warung rujak—saya jamin kejadian itu akan tak terjadi, karena Muntu bukan anak bodoh. Atau kalau saya umumkan hal itu akan terjadi Kamis sore, malah hari Sabtu sebelumnya si Amrin sudah jadi korban…”

Dia mulai mendengarkan, dan untuk sementara saya biarkan dia mulai menganggap secara tolol bahwa saya ini benar-benar mengerti politik.

Padahal sebenarnya yang saya demonstrasikan hanyalah ketrampilan membuat naskah dialog drama.

“Kalau saya mengumumkan lagi di gardu bahwa si Polan akan meninggal dunia,” kata saya lebih lanjut, “maka entah Muntu entah Amrin atau kelompok Waru maupun Dadap akan pasti meluangkan waktunya untuk merombak kembali hitungan-hitungan dari yang akan dilakukannya. Dia tak akan berani bilang—‘Ah, tak mungkin’. Atau bisa jadi malah yakin—‘Memang benar akan demikian’—maka skenario episode-episodenya akan mengalami perubahan mendasar…”

Jadi, itu semacam dekonstruksi atas suatu bangunan, rancangan atau impian—setidaknya bersifat temporal.

Apa yang kita sangka abadi, yang kita tunggu sedemikian lama tak kunjung usai—bisa kita pastikan ia tidak abadi. Adapun siapapun saja atau kelompok apapun saja atau ‘Satgas’ komposisi jenis kayak apapun saja di sekitar atau di bawah yang tidak abadi itu—juga bisa kita pastikan bersifat temporer, berganti-ganti formasi, berganti-ganti ‘kapten’, bergeser-geser arisan otoritasnya alias giliran pentasnya.

Ini semua tentatif dan relatif.

Kalau kita metaforkan—secara agak ekstrim—bahwa sejarah yang sedang berlangsung ini semacam penjara; maka sipir-sipirnya tentatif dan relatif.

Borgolnya terletak di tangan siapa, juga bisa cepat berpindah-pindah.

Seorang sipir kemarin sore, tiba-tiba pagi ini terborgol tangannya. Semua itu berlangsung sangat dinamis dan serba penuh kemungkinan, sehingga nasehat yang paling diperlukan oleh setiap sipir adalah “Ojo Dumeh”.

Jangan mentang-mentang, jangan over acting, jangan merasa sedang beralamat di keabadian. Yang itu saja tidak abadi, apalagi sekadar yang Ente. Bisa saja Ente bangun tidur untuk kaget ternyata kantor Ente sudah pindah.

Yang agak permanen di antara semua itu hanyalah kaum ‘tahanan’. Siapa itu? Ya saya, Anda dan hampir dua ratus juta sedulur-sedulur kita lainnya.

Proses pengadukan, pembusukan dan sekaligus sublimasi, kristalisasi dan kemudian redistribusi realitas historis bisa berlangsung lambat atau agak cepat—namun para ‘tahanan’ macam kita ini ya tetap saja ‘tahanan’.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang