Nonton Pisyi

135 2 0
                                    

Adik-adik manis, dengarkan ini ada cerita dari desa buat kalian. Cerita tentang kemajuan: bermula dari seorang kakak kalian yang bernama Kang Kanip. Syahdan tersebutlah pada suatu hari, sehabis merantau selama dua tahun ke Kota Surabaya, ia pulang ke desanya, sebuah pelosok di Jawa Timur.

Kepulangan Kang Kanip ini dengan membawa kejutan besar di desanya. Sebab selama hidup belumlah pernah seluruh penduduk desa itu melihat barang seperti yang dibawa oleh Kang Kanip itu: empat kotak besar-besar yang isinya bermacam-macam.

Mula-mula beberapa anak kecil berlari-larian di belakang montor kol yang membawa Kang Kanip sambil sesekali berhenti berjongkok, membungkuk, dan mencium bekas jalannya ban di tanah. Yang dicium tentu saja bukan debu kotor itu, melainkan bauan aneh dari ekor montor, yang mengandung suatu kenikmatan asing dan semacam impian. Ketika Kang Kanip menurunkan barang-barangnya itu dari kol, beberapa anak kecil yang lain mulai berdatangan. Nampaknya Kang Kanip pun sudah tak sabar juga untuk segera membuka kotak-kotak bawaannya kemudian mempertunjukkan isinya kepada mripat-mripat dusun, bahkan kepada pohon dan daun, yang pasti akan takjub karenanya.

Berkerumunlah anak-anak kecil itu sekian banyak. Ada yang bengong saja mukanya, ada yang begitu penasaran dan meremas-remas tangannya, ada yang bergumam-gumam tak menentu di antara mereka. Tapi semua mripat berkilat-kilat. Sementara sedikit demi sedikit, para tetangga kanan-kiri datang melihat.

Kotak pertama berisi benda kotak-kotakan berwarna cokelat yang bagian depannya ada benda hitam dua buah, lantas kotak-kotakan juga yang ada ulirannya, sedang kotak yang terakhir ini mereka sudah pernah melihat: "O, corong! Corong!..." geremang mereka.

Kejutan Kang Kanip, pemuda 25 tahun ini, dalam waktu singkat telah menyebar ke segenap pelosok desa. Di rumahnya hari itu seperti ada kemantin ramainya. Ibunya menangis karena suka cita. Tatkala senja datang, sampailah keramaian itu di puncaknya. Sehabis mengatur-atur bermacam tali-tali yang menghubungkan berbagai benda itu, serta meletakkannya di ruang depan, sementara kedua corong dikibarkan di atas pohon kelapa, maka datanglah keajaiban itu. Anak-anak langsung mengenal dan merumuskannya: "Gambar hidup! Gambar hidup!" teriak mereka. Para tetangga ikut gempar. Tapi Kang Kanip berkata dengan tenang: "Ssst!" ...Sehingga semua berdiam beberapa saat - "Ini bukan gambar hidup, ini televisi! Ti-li-vi-si!..." Anak-anak pun terperangah, "Oo! Pisyi! Pisyi!" mereka melonjak-lonjak.

Rasanya bagai mimpi. Berjam-jam mereka terbelalak matanya di depan kaca ajaib itu. Mereka melihat wong ngomong, pakaiannya bagus dan ramgkep-rangkep, mereka melihat londo, menyaksikan montok muluk, perang, omah tumpuk, anak-anak kecil pakai jas dan minum tujuh up... semuanya menakjubkan dan menggiurkan.

Adik-adik manis sudah tentu menduga bahwa sejak hari itu Kang Kanip menjadi pahlawan desa. Menjadi lakon yang membanggakan, "Ngunu lho, arek enom iku...!" para Bapak dan Simbok berbincang. Tak sedikit di antara mereka yang memerlukan datang ke rumah Kang Kanip untuk ikut menyatakan rasa gembira dan salutnya. Mulai sore itu anak-anak desa itu mendapat nasihat baru dari orang tuanya. "Contohlah Kanip itu, pinter, maju, bisa membantu orang tuanya".

Adik-adik heran bagaimana Kang Kanip bisa membeli itu semua? Jawabnya sederhana saja. Itu hanya soal sregep dan semangat membuka mata terhadap cakrawala dunia. Meskipun sekolah Kang Kanip SD saja tidak tamat, tapi ia cerdas, terampil, dan rajin. Ia suka mengotak-atik segala sesuatu. Ahli memperbaiki apa saja berkat kemampuan alamiahnya, misalnya ndandani sepeda. Mbakyunya, Kanipah, yang sudah lama diambil istri orang dan dibawa ke Surabaya, memanggilnya dua tahun yang lalu untuk ikut kerja ke Surabaya.

Kanip di bawa ke salah satu rumah di kompleks balon atau WTS di mana mbakyunya itu terkenal dengan panggilan Tante Kenny. Ia seorang germo. Kang Kanip mula-mula agak kikuk, maklumlah sejak kecil ia belajar mengaji di surau, sudah menyelesaikan Kitab Turutan, bahkan sudah beberapa kali tamat Al-Quran. Lingkungan ini pasti haram, laknat, dan ditunggu rajam Tuhan. Tapi, untuk sekadar nimba air di sumur atau menyuguhkan teh dan kopi tentu halal, bukan? Nah, Kang Kanip membantu-bantu perlengkapan wisma itu. Tetapi sebutir emas, biar diletakkan di keranjang sampah, akan bersinar jua. Lama kelamaan, karena keterampilan, kecerdasan, dan kesungguhan kerjanya, ia diangkat menjadi wakil manajer dan pemegang utama administrasi. Yakni wakil Mbakyunya sendiri. Kemudian selanjutnya bisa dibayangkan; uang mengalir seperti air dari pancuran. Sebab yang dilayani di wisma ini adalah kebutuhan pokok manusia, di samping makan dan sandang.

Di desanya, kini ia jadi pahlawan. Kang Kanip jadi teladan, menjadi kiblat di desanya. Anak-anak muda sedesa hampir semuanya ingin seperti dia. Ia sungguh-sungguh merintis kemajuan. Memang ada satu dua di antara tetangga yang mempersoalkan perihal hukum pekerjaan Kang Kanip di Surabaya, tapi Kang Kanip tidak ambil peduli: itu hanya suara orang-orang yang iri, cemburu, yang hanya mampu mbacot, karena selebihnya orang-orang itu hanya memiliki kemelaratan dan kemandegan hidup. Kang Kanip sendiri tidaklah terus tinggal di desa. Desa tak cocok dengan tingkat kemajuannya. Ia cukup melemparkan contoh emas hidup di kampung halaman, kemudian pergi lagi seperti siluman. Demikianlah seorang pahlawan: datang sebentar, menyatakan kemampuan dan kekuatan, lantas pergi meneruskan perjalanan. Sementara di desa yang kutinggalkan, terpasang pisyi dan corong, yang ke seluruh sudut desa suaranya berkumandang.

Kesibukan malam anak-anak di desa itu, sekarang, jadi lain. Begitu banyak mereka berkerumun di rumah Kang Kanip. Slang slang mereka mulai maju. Sudah jarang anak-anak berteriak "Gayane boooo!" atau "Komprangane Kang Tooooo". Sudah berganti dengan "Kate Siapeeee? Kateriinaa!". "Skubiduuuu!" atau "Saya Amri...!". Sambil berduyun-duyun dan bermain-main mereka jarang lagi nembang "Angin cilik muliho angin gedhe tekoo ombak-ombak kali segoro bedil muni kapal teko", tapi sudah berganti "Asmaraku asmaramu naninenono..." atau "Cameliiiaaa oooo Cameliiia!"

Putri-putri desa yang punya tradisi dzibaan tiap malam Jumat sekarang mulai banyak yang tak datang. Para pemudanya kini mulai lebih tegas menatapkan pandangannya ke Kang Kanip di Surabaya. Tak sedikit di antara mereka mulai memandang membantu Bapak di sawah bukanlah sesuatu yang ada gunanya.

Adik-adik bisa menduga pemuda-pemuda itu mulai banyak berlarian ke kota. Tentu saja bukan hanya tilivisinya Kang Kanip yang menjadi sebab satu-satunya. Pisyi itu hanya peletus, tetapi keseluruhan hidup memang mulai bergerak ke sana. Ronda tiap malam mulai agak kurang peminatnya. Terbangan, balbalan, kombinasi nanggap pencak, pengajian di langgar, serta keasyikan-keasyikan lain yang selama ini menjadi ajang yang mengutuhkan irama kebersamaan mereka, kini mulai seret jalannya.

Adik-adik manis, berkat kemajuan yang dibawa Kang Kanip, beberapa tahun kemudian wajah desa itu berubah. Makin banyak rumah bagus, makin banyak pisyi, sepeda motor, pakaian mereka juga berubah makin mboys, sementara tingkah laku teman-teman kita juga makin maju.

Kalau di rumah tak ada pisyi, rasanya belum maju, dan "pengsy dooong!". Anak-anak muda berlomba untuk itu. Pokoknya sekarang maju! Kerja! Kerja! Apa pun saja, pokoknya halal, atau tak apalah kalau terpaksa sedikit kurang halal. Yang penting mesti maju. Tunjukkan kemajuan itu di depan mata. Dan, ke kota, maju itu ke kota, ke kota!

Adik-adik manis, dalam kehidupan desa kemudian memang terasa ada yang terurai, ada yang meluntur, mencair, semacam tak kental lagi. Tapi itu semua wajar karena memang ada sesuatu yang bergerak, dan pada akhirnya kita harus insyaf bahwa kekentalan itu berakhir jadi kebekuan. Tidak! Kita harus maju: setidaknya menjadi petani di desa adalah pekerjaan yang paling tidak menarik. []

- Indonesia Bagian dari Desa Saya -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang