To August With Love

95 1 0
                                    

Setiap manusia Indonesia pada dasarnya sangat mencintai saudara-saudaranya sebangsa. Tuhan menyediakan naluri dan benih akhlak untuk saling berbagi, saling menyejahterakan. Manusia dianugerahi bakat untuk merasakan nikmat dalam berjamaah. Tak ada manusia yang aslinya sanggup merasa tenteram jika di sisinya ada saudaranya yang kelaparan, atau mampu tidak gelisah jika di depan matanya ada siapapun yang mengalami luka atau penderitaan.

Metode atau tarikat untuk merawat naluri dasar itu, menurut Tuhan, sangat bersahaja. Ialah, jangan makan berlebihan. Kulu wasyrobu, wa (lakin) la tusrifu. Makan dan minumlah, (tetapi) jangan berlebihan.

Keberlebihan dalam soal-soal keduniaan ini saja yang menjadi sumber segala malapetaka hidup manusia. Ya malapetaka mental, malapetaka ekonomi, malapetaka politik, pergaulan, kebudayaan, peradaban maupun malapetaka keakhiratan atau yang disebut fenomena neraka.

Kalau yang akhirat-haqiqiyah atau rohaniah, misalnya berwirid, kata Allah, lakukanlah sebanyak-banyaknya. Namun dataran akhirat-syar’iyyah pun, menurut Allah, musti dibatasi. Misalnya, salat subuh ya dua rakaat saja, dhuhur empat rakaatlah. Tak usah tanya.

Termasuk kenapa salat sehari harus lima waktu. Sekali lagi tak usah tanya.

Sebaiknya kita belajar memasuki alam ‘kasyaf’ betapa nikmatnya pasrah kepada Allah. Kecuali kalau Allah juga boleh bertanya kepadamu: kalau Ente salatnya tiga kali sehari, Aku juga ambil dua batang jari tanganmu, supaya perangaimu menjadi lucu.

Jadi kalau yang syariat untuk akhirat saja jangan berlebihan, maka apalagi makan, minum, berpakaian, membeli ke supermarket, menjabat sesuatu, menguasai modal, memiliki perusahaan, menghimpun wilayah bisnis, dan lain sebagainya.

Nah, karena tradisi kita adalah tradisi berlebihan, maka yang kita produk adalah juga festival keberlebihan permanen. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak rajin belajar menakar kebutuhan yang pas dan sehat. Dalam berindustri, kita mengideologikan mekanisme untuk memacu manusia, agar melampiaskan nafsu membeli dan memiliki apa saja yang jangan sampai para konsumen memiliki ilmu untuk mengerti batas-batas yang sehat mengenai apa yang diperlukannya. Dalam berpolitik kita mau berkuasa secara belebihan, sehingga yang kita tradisikan adalah juga sikap defensif yang berlebihan, curiga yang berlebihan, su’uzhzhon yang berlebihan, melotot dan menuding yang berlebihan.

Akhirnya di seluruh negara ini yang berlangsung adalah akumulasi dan kompleksitas keberlebihan di segala bidang. Nafsu pemilikan duniawi berlebihan. Nafsu berkuasanya berlebihan. Hipokrisinya berlebihan.

Kejamnya berlebihan. Kufur-akhlak-nya juga berlebihan, meskipun kufur-akidah-nya kelihatan tak berlebihan. Yang lahir dan merajalela kemudian adalah semakin tidak adanya peluang sinergi antar-nilai—misalnya politik-ekonomi-budaya-agama—yang bersifat interkritis.

Masing-masing berjalan sendiri-sendiri, ucul dhewe-dhewe dengan keber-lebihannya sendiri-sendiri pula.

Akhirnya korupsinya juga berlebihan. Kolusinya juga berlebihan. Pembelaan atas korupsi dan kolusi juga berlebihan. Kriminalitas yang merambah juga berlebihan. Perkosaan berlebihan. Membunuh kejamnya berlebihan. Karena merajalelanya rasa sakit hati orang banyak juga berlebihan, sehingga reaksinya pun berlebihan.

Pandangan-pandangan Megawati atas apa yang dimilikinya dalam konteks politik akhirnya juga berlebihan. Ribuan orang mustadl’afin yang membela Mbak Ega juga berlebihan muntahnya, tidak mampu merawat rasa-efektivitas, serta tidak mengerti seratus persen atau apalagi detil, apa yang sesungguhnya mereka bela. Karena yang menyerbu dan mendongkel Mega sendiri pun berlebihan ramuan-ramuannya, tidak sanggup menemukan racikan inisiatif yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut nasionalisme, kenegarawanan dan kearifan kebudayaan politik.

Maka makhluk yang bernama cinta, yang bersemayam secara permanen di dalam diri manusia, akhirnya menjadi ‘binatang’ liar. Ia mencari pemenuhan ke sana ke mari, tanpa suluh, tanpa bimbingan. Sangat banyak hal tak bisa dijawab, tak bisa dijelaskan secara rasional, tak bisa diatasi. Ia membawa manusia lari menyebar ke berbagai macam bentuk dan modus ‘ecstacy’.

Ada ecstacy langsung yang chemical. Ada ecstacy kultural melalui konsumtivisme estetika fatalistik. Ada ecstacy psikis melalui perilaku-perilaku antiteori. Ada ecstacy spiritual melalui kursus pernapasan, tarikat antah berantah.

Masing-masing, ecstacy itu meskipun tidak semuanya berefek negatif dan menghancurkan manusia, tapi juga tidak menggambarkan kesanggupan transendensi intelektual dan spiritual para makhluk yang oleh Penciptanya sesungguhnya sudah dibekali berbagai hal untuk bisa mengatasi itu semua.

Di antara ribuan kristal-kristal cinta yang liar mengembara itu, terdapat beberapa yang tak berhenti pada klenik paranormal atau kosmos kebatinan yang tanpa cakrawala teologi dan teosofi—sehingga kehilangan alamat di tengah kosmos. Mereka mencoba menguak alam ‘kasyaf’ dan mencoba memasuki wilayah ‘bayan’ dan atau ‘mubin’.

Manusia pada dasarnya juga sangat lemah, telinganya bisa disusupi kotoran, penglihatannya juga bisa dipeleseti oleh bias-bias. Tetapi bagaimanapun Allah telah senantiasa menyebarkan amsal-amsal, dari terbalik-baliknya logika suprastruktur sampai sodomi anak-anak penyemir sepatu. Allah selalu menghamburkan ilmu-Nya dan para makhluk tinggal memetiknya dari udara. Cara menangkapnya benar atau tidak, yang ditangkap murni atau tidak, selalu bersifat relatif. Tapi yang baik selalu tetap bisa disortir untuk dijadikan bahan antisipasi, bahan menghikmahi dan acuan untuk mempersiapkan diri terhadap “the coming days of kalau-kalau”.

Maka sejumlah tokoh mendapatkan pemberitahuan mengenai kemungkinan-kemungkinan itu. Misalnya tanggal satu adalah hari perebutan.

Tanggal lima adalah hari penyerbuan. Tanggal enam adalah hari pembalasan.

Tanggal tujuh adalah hari perbenturan. Tanggal tujuh belas dan dua puluh adalah hari kematian. Dijelaskan “ini lho biyang dari semua ini”.

Termasuk dituturkan mengenai seorang yang sesungguhnya merupakan duri di jantung sebuah kelompok sangat besar yang selama ini digadang-gadang oleh mayoritas.

Yang jelas marilah memasuki hari-hari di depan ini dengan persediaan cinta murni yang sebanyak-banyaknya serta dengan kewaspadaan yang setinggi-tingginya. Daerah-daerah bawah sudah telanjur lembab sehingga tak gampang disulut api. Tapi wilayah atas sangat rawan bakar. Namun diantara semua itu terdapat satu hal yang pasti benar dan pasti baik: rekayasa nuklir itu, apapun yang terjadi, demi Allah, jangan teruskan. Siapa pun engkau, sehebat apapun engkau, demi Allah jangan lakukan. Naru jahannam, kholidina fiha. Tak usah kutulis buku besar tentang tasawuf, teologi, kimia, biologi, peradaban nur dan peradaban nar—untuk memohonmu tak meneruskan itu.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang