Dikisahkan kepadaku tentang sensus penduduk yang pertama kali diselenggarakan di muka bumi. Yakni oleh Maharaja Sulaiman, seorang Penggembala Perkasa, seorang Komunikator Agung yang menguasai segala kemungkinan bahasa.
Orang-orang di pasar, di perkampungan, anak-anak di jalanan, dan anak-anak yang masih dalam buaian ibundanya, seluruh manusia, seluruh warga negeri, mendaftarkan namanya. Ular, keledai, nyamuk, kutu-kutu, dan semua binatang, menyebutkan dirinya. Semua jenis pepohonan, bahkan secara khusus semua bebuahan dan kelopak-kelopak bunga, tidak bersedia ditinggalkan oleh catatan Baginda. Batu, kerikil, buangan sampah, puing-puing kayu yang mati dan kering, melaporkan identitasnya. Hantu tak bisa bersembunyi, lelembut tak bisa melarikan diri. Sang Maharaja paham bahasa yang diucapkan maupun yang bisu. Sang Maharaja mendengar alam semesta ini bagaikan berasal dari telinga beliau sendiri. Segenap yang ada di bumi, bumi ini sendiri menyatu di telapak tangan beliau yang dipinjami oleh Allah untuk mewakilkan kekhalifahan kasih.
Dan inilah makhluk paling menggetarkan.
Amat lembut tubuhnya, sehingga kekuatannya bagai tak terlawan. Amat kecil wujudnya, sehingga besarnya tak terkirakan. Amat buruk mukanya, sehingga tak tergambarkan. Amat dekat keberadaannya, bagai tak berjarak dengan selaput mata siapa pun yang menatapnya, sehingga tak mungkin dirumuskan dan diceritakan.
Baginda Sulaiman memberi perhatian amat khusus kepadanya, tetapi tanya jawab berlangsung hanya amat singkat. Tanpa bersedia menyebut namanya, makhluk itu mengemukakan bahwa pekerjaannya di dunia adalah mencucup sperma laki-laki dan membelah dunia menjadi timur dan barat, utara dan selatan, serta atas dan bawah.
Baginda mengucapkan istighfar dan bergumam, "Jadi, inilah Dajal ...."
Baginda hampir menutup muka dengan tangannya. Baginda menyaksikan berjuta-juta anak cucunya menggelepar-gelepar di lautan ludah liur sang dajal. Hati Baginda terkesiap. Mereka menggelepar, timbul tenggelam, mandi liur sang dajal. Baginda terpana jiwanya. Mereka tertawa-tawa dengan muka pucat, kemudian memekik-mekik penuh derita dengan wajah merah padam.
Hmmm. Dajal. Mencucup sperma laki-laki! Membelah dunia menjadi timur dan barat, utara dan selatan, serta atas dan bawah!
Hampir meledak dada Baginda. Tiba-tiba beliau melompat ke masa depan. Jauh, jauh ke depan berabad-abad panjangnya. Seandainya saja tidak ada perintah Allah bahwa untuk menyelesaikan persoalan dunia beliau harus bekerja sama dengan waktu, pastilah beliau telah menulis beribu-ribu lembar makalah mengenai dunia adikuasa dan dunia terkuasai, dunia menindas dan dunia tertindas, dunia dominan dan dunia subordinan, kepemimpinan berhala, dunia pekerjaan manusia yang terkonsentrasi ke perangsangan keluarnya sperma kelakian politik, sperma monopoli ekonomi, sperma suguhan kebudayaan - melalui ratusan macam metodologi yang di dunia hari depan itu hanya beberapa bagian saja darinya yang dikuasai oleh manusia.
Baginda Sulaiman melayang-layang saja di dunia hari depan yang membuatnya sedemikian gatal. Allah menentukan Baginda tak boleh seusap pun menyentuhkan tangannya.
Baginda mendengar seseorang berkata lirih di tengah sahabat-sahabatnta, "Dulu, zaman Nabi junjungan kita Muhammad Saw., iblis dan setan hanya mampu beberapa saat saja bergelantungan di helai-helai rambut sahabat sahabat beliau untuk kemudian segera terpelanting jatuh oleh kekuatan iman para pengikut Rasul Agung. Namun, saksikanlah kini iblis dan setan berdetak di jantung kita, berdenyut di nadi darah kita, bernapas di hidung kita ...."
Kalimat itu berakhir dengan hampa, dan kemudian terdengar suara orang-orang tertawa.
Baginda menyaksikan makin banyak orang memulai membuka mata hati dan kesadarannya terhadap jaringan dajal. Mereka merintis suatu perjuangan melawannya, dengan melibatkan semangat yang harus diperbarui, tenaga yang bagai harus diimpor dari abad mendatang, iman yang tercabik-cabik, uang bermiliar-miliar, kesalahpahaman dan pertengkaran yang tak pernah ada habis-habisnya. Baginda menyaksikan sedemikian terserap perhatian itu oleh pemandangan dajal, sedemikian rupa sehingga mereka mulai tidak lagi sempat dan mampu memandang manusia. Manusia. Manusia.
Alangkah menggairahkan tantangan itu. Baginda ingin berperang tanding langsung melawan dajal. Namun, itu bukan tugasnya. Baginda harus bekerja sama dengan waktu.
"Tetapi wahai Allah kami," beliau berbisik, "tunjukilah hamba-Mu yang lemah ini bagaimana cara untuk tidak bersedih ketika menyaksikan begitu banyak anak-anak cucuku hanya mampu memandang wajah dajal itu justru sebagai keindahan setinggi-tingginya keindahan ...."
- Slilit Sang Kiai -
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AléatoireSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...