Pendekar - seperti juga pejuang dan pahlawan - acap kali terasa sebagai sekadar roman yang membikin kepala kita tengadah. Ia berada di atas kita. Bagai kisah para nabi yang sudah usai, atau telapak kaki setan yang tak mampu menyentuh bumi, tak satu pun pendekar yang ada. Ia hanya obsesi di tengah zaman yang tema pokoknya adalah kemunafikan dan pengkhianatan.
Pendekar itu tidak ada, karena kita semakin kurang mungkin untuk memilikinya. Kita juga pesimistis dan rendah diri, sehingga dengan tertawa kecil kita menafikan kecenderungannya. Tapi siapakah sang pendekar itu? Coba, kita ambil satu kisah dari Taliongto atau Socrates? Kemal Attaturk-nya Turki atau Jamaluddin Al-Afghani pada dekade kebangkitan kembali pemikiran Islam? Atau Lech Walesa atau Khomeini?
Pada awal abad ke-18, orang Inggris melihat suatu paradigma baru "kependekaran": "Negeri ini tidak mengharapkan agar setiap warganya menjadi, melainkan agar setiap orang menjalankan tugasnya". Bendera superioritas kependekaran diturunkan. Kita sekadar membutuhkan disiplin, pelayanan, kesetiaan, dan pengorbanan. Kemanusiaan jangan lagi dihardik oleh ketinggian kekuatan, keberanian, atau kebesaran.
Dengan Renaisans, pemikiran Eropa menempatkan "orang besar" dalam pola baru: kualitas mind serta pengejawantahan sosialnya. Meskipun kemudian terjadi lagi pergeseran-pergeseran konsep, satu dimensi puncaknya tetap membayang-bayangi kita di sini, yakni konsep "genius". Orang macam beginilah yang paling punya kans untuk menyibak lautan sejarah dan naik altar.
Konsep ini bukannya baru berlaku pada kita. Perhatikanlah misalnya konsep tentang wahyu kedaton, Sutawijaya, Panembahan Senopati, pendiri Mataram dalam sejarah Jawa, adalah benar-benar era baru dari "mitologi" tentang wahyu itu. Murid sang Juru Martani ini menjelmakan konsep wahyu ke mitologi Nyai Roro Kidul. Tetapi itu sebenarnya hanya kamuflase bagi kenyataan konsep yang sebenarnya. Seperti pada Zaman Renaisans, Eropa, "wahyu" yang sesungguhnya dimaksud oleh Panembahan Senopati ialah kualitas intelektual, yang dijelmakan ke dalam wawasan sosial dan kemampuan dan keterampilan mengendalikan.
Senopati membungkus hal itu dengan konsep wahyu agar dapat memonopoli kedudukan dan status. Agar para pendekar dari dusun tidak akan berani memimpikan kekuasaan, sebab mereka tidak akan mungkin memperoleh wahyu. Lingkungan aristokrasi itu dipagari sedemikian rupa dengan mitos, dan para pendekar bisa saja menempuh karier, sepanjang ia mengabdi dan berkolaborasi semutlak mungkin kepada lingkaran itu.
Seseorang mengemukakan bahwa sistem sosial dan kultur politik tradisional kita dahulu kurang memungkinkan berlangsungnya proses pewarisan kependekaran secara prima dan intens. Setiap masa mengalami turunnya kualitas dan terjadi akibat distorsi.
Benarkah demikian? Seandainya saya ini sejarahwan, insya Allah akan saya jawab dengan gagah perkasa. Susahnya paling jauh saya hanya sekadar tukang pancing. Tetapi benar bahwa itu semua terjadi di sekolah-sekolah kolonial Belanda. Pribumi yang diperkenankan masuk adalah pribumi yang berada di seputar aristokrasi itu. Kita tahu Kartini diam-diam melawannya dengan mencita-citakan liberasi pendidikan bagi seluruh warga. Kita juga tahu Hatta, Soekarno, atau Dorojatun (Hamengku Buwono IX) adalah contoh-contoh pembelot terhadap lingkaran establishment ini.
Zaman dulu, pendeta-pendeta di dusun diberi gelar Ki Ageng - suatu bujukan untuk merangkul dan memasukkan mereka ke lingkaran itu. Sistem sosial demikian telah kukuh sejak dulu, sehingga di Jawa dikenal konsep ngenger - ketika pendekar dusun menyembah ke keraton untuk menjadi hamba sahaya, atau ngawula. Akhirnya proses pewarisan kependekaran itu tidak "membumi", terpola di lapisan atas dan agaknya akan tumpul.
Dalam prinsip dan format yang berbeda, kita mencatat Para Pendekar Angkatan 28, mereka tergolong mumpuni dan konsisten. Pendekar semacam ini pula yang akhirnya berhasil menelurkan kemerdekaan, pada tahun 1945, meskipun lantas berlanjut, karena "hukum alam", menjadi establishment baru. Angkatan 66, dibanding dengan Pendekar Angkatan 28, telah mengalami distorsi. Mereka seperti tokoh Ki Ageng Mangir, dalam sejarah Mataram, yakni jago dari luar establishment yang diundang ke dalam dan kemudian ditewaskan. Tetapi mimpi tentang kependekaran 28 masih terasa sebagai nostalgia yang manis dan memilukan.
Sebagian orang lebih suka memilih jadi Mahesa Jenar, jagoan dalam kisah silat Nagasasra Sabuk Inten: mengundurkan diri dari lingkaran establishment dan memilih membentuk pengabdian yang lebih steril. "Kami mengurusi pendidikan saja," ujar bekas singa-singa pendekar, dan Muhammadiyah, misalnya, menyodorkan modifikasi yang hampir mutlak untuk hal ini. Sebagian yang lain jadi Pasingsingan Tua, juga dari cerita silat yang sama: bertapa, dan memimpikan suatu hari akan mampu tampil kembali sebagai arsitek zaman. Namun, gambaran kedua tokoh itu agaknya terlalu mulus untuk bisa benar-benar terwujud pada zaman mutakhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...