Larinya Eddy Tansil sangat melukai rakyat Indonesia. Dan luka itu bisa sedikit berkurang apabila pemerintah menunjukkan sikap rendah hati dengan pernyataan resmi meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Kalau perlu, diulang-ulang agar bisa menjadi semacam pendidikan politik yang memaparkan proporsi fungsi-fungsi, kewajiban dan hak dalam organisasi negara.
Salah satu tanda kedewasaan mental, kebesaran jiwa serta memadainya wawasan pada suatu pihak yang bersalah, adalah seberapa jauh ia menunjukkan perasaan bersalah. Orang yang punya komitmen terhadap kebenaran, akan dengan sendirinya bersikap blingsatan jika ia melakukan kesalahan atau apalagi ketidakbenaran. Minimal ketidakbecusan. Semakin parah blingsatannya, semakin tercermin kedalaman komitmennya terhadap kebenaran.
Situasi blingsatan nasional itu tak begitu terasa. Pak Oetojo Oesman sudah siap ditindak apapun oleh Kepala Negara, tapi seberapa jauh ia menunjukkan rasa malu kepada rakyat? Malahan khalayak ramai diimbau untuk bersama-sama mencari kemungkinan menangkap kembali si buron itu. Bahkan terdengar juga semacam ancaman—meskipun yang mengancam kemungkinan besar tak merasa bahwa ia mengancam, “Awas kalau masyarakat menyembuyikan Edy Tansil!”.
Lho, pigimane sih. Kalau soal membantu pemerintah, rakyat kebanyakan ini jangan pernah dikhawatirkan. Sebagian mereka membantu dalam bentuk disengsarakan pun selama ini mau-mau saja. Rakyat umum ini ndak ikut makmur, rangsum strukturalnya sangat rendah, ndak ikut kenduri, minta supaya semua saja yang terlibat dalam kasus Golden Key diadili tak terpenuhi kok malah direpoti diajak nguber buron dan malah dianggap ada yang akan melindunginya.
Lha dulu siapa yang salah sampai si Tansil bisa pinjam duit sak dabreg begitu itu—hanya dengan selembar surat sakti? Di mana yang namanya disiplin nasional ketika itu? Politik perekonomian dan budaya politik macam apa yang memanjakan taipan-taipan itu? Feodalisme pasal berapa dalam ilmu sosial yang bisa menjelaskan kenapa “tamu-tamu sejarah” malah mendapatkan kemudahan-kemudahan proyek yang keterlaluan? Nepotisme dan modus operandi kolusi tingkat elite berdasar ayat berapa dalam buku-buku mafia resmi yang memungkinkan sedulur-sedulur sendiri malah sangat kecil peluangnya?
Apakah itu yang bernama nasionalisme? Universalisme? Deprimordialisasi? Bahwa semua manusia itu sama derajat dan haknya? Ya, semua manusia sama derajatnya, kulit apapun, kecuali ketika mau pinjam duit di bank.
Dan kalau mereka-mereka yang mengalami kekalahan struktural itu tiba di puncak kedlaifannya, lantas dihina dengan akan disantuni melalui 2,5 persen penghasilan orang-orang yang dimanjakan. Dan mereka semua bersyukur atas penghinaan itu, karena saking laparnya dan saking kaburnya wawasan mengenai hak-hak struktural mereka.
Jadi sesungguhnya Eddy Tanzil bukanlah hanya ada sekadar Eddy Tanzil. Ia, sejak menyodorkan tangannya untuk menerima surat sakti, sejak melangkahkan kakinya di pelataran bank yang kemudian dipecundanginya, sampai ia kabur kini—bukanlah sekadar Eddy Tansil. Ia adalah simbol dari sejumlah kebobrokan managemen bangsa dan negara kita ini.
Tidak penting apakah Eddy benar-benar kabur karena memang berniat kabur.
Ataukah karena ia ‘dikaburkan’, lantas direncanakan untuk ‘dimusnahkan’ meskipun kemudian luput. Yang manapun skenario yang sesungguhnya sedang berlangsung—wajah Eddy Tansil adalah pantulan dari wajah kita sendiri.
“Bukan! Bukan wajah kita!” mungkin Anda memprotes kalimat saya itu, “Wajah saya tidak begitu. Saya bekerja halal, kecil-kecilan, dan tak pernah berdekatan dengan kemudahan, kecuali atas keajaiban kehendak Tuhan pada momentum-momentum tertentu. Jumlah saya berpuluh-puluh juta, dan wajah saya tidak merupakan pantulan dari wajah Eddy Tansil maupun siapa saja yang terlibat secara sistemik dari skandalnya!” Ya, saya paham. ‘Kita’ yang saya maksudkan bukanlah semua kita bangsa Indonesia. Melainkan sebagian kecil dari kita, yang memegang kendali-kendali utama rupiah, kekuasaan dan segala macam asset dan akses.
Saya sendiri adalah warganegara yang sedemikian bodohnya dalam soal ekonomi. Ekonomi adalah memberikan seribu lima ratus rupiah dan saya dika-sih sebungkus rokok. Sampai di situlah tingkat pengetahuan dan ilmu ekonomi saya.
Justru karena itu maka kalau bisa kita jangan sampai pernah lupa bahwa Eddy Tansil bukanlah sekadar Eddy Tansil. Di bidang yang sama dan yang melakukan hal sama dengan Eddy Tansil, berapakah jumlahnya? Apakah mereka juga memperoleh keadilan sebagaimana Eddy Tansil ditimpa keadilan, sehingga ia masuk penjara. Yang lain-lain ditimpa ketidakadilan, sehingga tidak masuk penjara. Bagi mereka, ketidakadilan lebih menyenangkan dibanding keadilan.
Kemudian di bidang bidang lain, pada dataran yang berbeda-beda, seberapa ragamkah ‘wajah Eddy Tansil’ di negeri ini? Sesungguhnya larinya Eddy Tansil hanyalah salah satu ‘bunyi instrumen musik’ di tengah orkestrasi besar yang sedang berbunyi semakin gemintang. Meningkatnya kriminalitas, membengkaknya perkelahian massal, semakin maraknya demonstrasi-demonstrasi, robek-robeknya dinding nilai yang selama ini terawat mungkin bermaksud “litundzira qauman ma undzira aba’uhum fa hum ghafilun…”. Untuk sekadar mengkelebatkan peringatan bagi suatu ‘kaum’ sebagaimana dulu telah pula diperingatkan kepada ‘kaum’ sebelumnya.
Tak tahu apa maunya Tuhan sebenarnya, tapi ayat itu dilansir sesudah ayat yang menyebut kata “Tanzil”. Tentu anda menganggap saya sedang melakukan otak atik gathuk: mempeleset-pelesetkan. Sebagaimana ketika pernah mengungkapkan secara ‘iseng’ bahwa bukan tak sengaja nama Adam Smith diizinkan oleh Tuhan untuk dipakai oleh seorang bapak untuk menamai anaknya. Karena lahirnya kapitalisme sebenarnya sudah terjadi jauh sebelumnya, dan tidak di dunia, melainkan di sorga. Yakni ketika Adam, yang memperoleh fasilitas mutlak seluruh sorga kecuali ‘pohon’ itu—toh si Adam masih sedemikian rakusnya, sehingga didekatinya juga pohon itu.
Manusia pertama ini memang bapak kapitalisme. Entah berapa ratus perusahaan dan berapa dahsyat omset ekonomi seandainya beliau hidup di zaman Orba di Indonesia. ‘Pohon’ tinggal satupun akan diambilnya pula.
Maka peringatan Allah itu mestinya berlaku menyeluruh. Ketika menatap wajah Eddy Tansil, imajinasi dan kecerdasan kita harus mengembara ke jaringan-jaringan konteks dan sistem yang melingkupnya—meskipun kalau menulis Eddy Tansil, para wartawan sudah tidak lagi serius dan sadar menyebut Sudomo, umpamanya.
Kebanyakan kita sekarang ini memang sudah ‘kewalahan’ oleh gejala dan membanjirnya kenyataan-kenyataan yang tak terjawab. Kalau di awal tulisan ini saya menyebut ‘luka’, sesungguhnya kebanyakan rakyat juga sudah tidak merasakan luka itu, karena luka sehari-hari mereka lebih langsung dan lebih riuh rendah.
Kita orang-orang kebanyakan yang tidak memanggul tanggung-jawab primer atas organisasi sejarah—karena kita sudah menugasi soal itu kepada buruh-buruh kita, yakni pemerintah—kini tinggal pasif menunggu kehendak Tuhan, karena terlalu banyak soal-soal yang kita tak mampu menangainya.
Tapi mereka-mereka yang memanggul tugas-tugas utama itu, karena mereka digaji dan memperoleh sangat banyak kemudahan dan kemewahan karena tugas-tugas itu—kita doakan jangan sampai tergolong dalam apa yang Allah sebut di ayat sesudah ayat ‘Tansil’ dan ayat ‘peringatan’ di atas:
“Sudah gamblang kebenaran itu sejak dulu, tapi mereka tak percaya.”
Rakyat kecil di pinggir-pinggir jalan sudah omong sejak dulu. Kaum intelektual sudah memakalahkan kebenaran sejak dulu. Kaum seniman dan pujangga sudah menuturkan ‘haq’ sejak dulu. Para Ulama pastor, pendeta, bikhu, sudah menyanyikannya pula sejak lama. Tapi mereka tak percaya.
“Maka aku pasang belenggu di leher mereka, sehingga tangan mereka terangkat ke dagu dan kepala mereka menengadah”. “Kami taruh dinding di depan mereka, kami letakkan tembok di belakang mereka, kami tutup mata mereka sehingga tak bisa melihat”. “Sama saja bagi mereka, engkau lantunkan peringatan atau tak kau lantunkan peringatan, mereka tetap saja tak percaya…..” []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
De TodoSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...