Raksasa itu menggeliat, dari kedalaman bumi. Apakah ia Dajjal yang segera akan muncul ke permukaan bumi? Atau justru Dabbah, lawannya, karena Dajjal justru sudah merajalela menghancurkan manusia di muka bumi?
Dajjal mengancurkan negeri demi negeri, dihanguskan dengan serbuan dan peperangan. Dengus napas dan bau busuk mulutnya menjadi wangi di hisapan hidung manusia. Dajjal menyihir dunia, membakar hati ummat manusia, menjungkir-balikkan akal sehat mereka. Dajjal, era demi era, menjebak manusia ke dalam kurungan ilmu yang bodoh. Menggiring manusia menuju kemajuan yang menghancurkan. Kemudian memenjarakan mereka di sel-sel paranoya dan sisoprinia…
Tapi persetan. Siapa ini yang menggeliat nun dari dalam sana, meretakkan susunan bebatuan, mengubah struktur tanah, dengan irama yang tak kira-kira? Lidah siapa itu yang tiba-tiba saja menjulur dan menjilat pantai dan kota-kota manusia?
Rumah-rumah, bangunan dan segala benda ambruk. Ribuan jasad manusia dilemparkan, dibanting, dihimpit, diperhinakan dengan mencampurkannya ke reruntuhan batu bata dan besi. Patahan kayu-kayu bercampur tulang belulang, daging tercabik membusuk bercampur sampah, darah sirna dalam kotoran air dan lumpur.
Teriakan-teriakan takut dan kengerian bertabrakan dengan angin badai dan terpental ke langit. Bagai kiamat kecil. Bukan-ini kiamat besar! Siapa gerangan yang tega hati menyelenggarakan kehancuran ini? Makhluk apa gerangan yang tak punya nurani menghajar manusia dengan sambaran raksasa kengerian ini?
Kenapa tak ditabrakan saja bumi ini dengan rembulan dan matahari. Juga seluruh benda-benda langit—persetan apapun nama benda-benda itu serta bagaimana semula susunannya. Kami semua siap mengalami satu kali ledakan dari benturan itu, kemudian langsung mati. Langsung mati tanpa terasa. Daripada harus meraung-raung berkepanjangan, daripada teriris-iris hati ini, tercabik-cabik perasaan ini, terguncang-guncang jiwa ini mendekati wilayah kegilaan. Siapakah yang akan menyalahkan kami jika sekarang kami menjadi gila? Siapakah yang bisa membawakan kami beberapa keranjang ilmu untuk kami pakai menanggung penderitaan yang bahkan sangat tak cukup untuk disebut sekedar dengan kata penderitaan—ini?
Ribuan ruh-ruh terpental dari jasadnya. Mereka terjerembab, terbanting, terlempar, terseret, nafas mereka terengah-engah, tersengal-sengal…
Bahkan tatkala jasad sudah hancur lebur, ruh masih bisa tersengal-sengal. Bahkan hati ini masih ada – apakah yang bisa diberati oleh duka maha duka ini, jika bukan hati, di dalam ruh kami? Bahkan jiwa kami terang benderang memeluk gambar nyata nasib kami. Bahkan akal kami tak ikut mati—sebab sangat jelas dan sangat berat terpanggul di pundak kami rasa tidak mengerti atas semua ini. Rasa tidak mengerti yang paling tidak mengerti dibanding segala tidak mengerti.
Satu ruh memekik sangat keras. Satu ruh meraung sangat panjang. Satu ruh menggeram sangat dalam. Satu ruh menghardik, berteriak-teriak. Ketika hardikan dan teriakan itu memuncak, tiba pada suara tanpa kata. Kata hanya masa silam yang bodoh. Yang bisa lolos ke alam ini hanya bunyi dan ledakan-ledakan aneh.
Pekikan itu, raungan itu, geraman itu, hardikan dan teriakan itu, bunyi dan ledakan-ledakan itu—akhirnya muncul tak hanya dari satu dan satu ruh. Tetapi dari puluhan lainnya. Dari ratusan lainnya. Ribuan lainnya. Sedemikian keras dan bergemuruh—lebih dari dahsyatnya gempa dan hempasan air yang melemparkan mereka ke daerah itu.
“Ini bukan Dajjal!” terdengar suara satu ruh.
“Bukaaaan!” sahut ratusan ruh lain.
“Ini juga bukan Dabbah!”
“Bukaaaan!” ribuan ruh lain menyahut bersamaan.
“Ini Tuhan!”
“Tuhan!”
“Yaaaa! Tuhaaaan!” suara seluruh ruh itu membahana.
“Tuhan yang melakukan semua ini!”
“Tuhan yang bikin perkara!”
![](https://img.wattpad.com/cover/138685203-288-k588709.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
De TodoSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...