Manusia, Islam, Budaya

441 9 0
                                    

Cuci Darah, Turun Mesin

Islam yang ‘daya perlu’nya selalu realistis, yang relevan abadi dan yang maqam ruang-waktunya senantiasa aktual, kini ditatap oleh para pemeluknya dengan rasa malu, rasa bersalah dan rasa penasaran kepada diri sendiri. Kaum Muslimin dewasa ini amat sibuk berkaca, menatapi wajahnya di cermin, baik untuk sekedar bersolek maupun untuk merenung.

Ada rasa asing kepada diri sendiri: sebuah arus besar membawa mereka, berabad lamanya, entah ke mana. Maka alhamdulillah untuk rasa asing itu. Kata Sang Nabi Si Pembawa agama pamungkas ini, Islam melangkah pertama dalam dan dengan keasingan. Kemudian di tengah perjalanannya ia akan berjumpa dengan keasingan demi keasingan.

Tentu saja alhamdulillah: keasingan itu suatu excitement, yang jika diolah, di ujungnya akan ada sesuatu. Keasingan itu semacam keadaan hamil, keadaan untuk melahirkan kembali. Beruntunglah orang-orang terasing, karena dengan demikian dari jarak tertentu ia memiliki peluang untuk mengingatkan, memperbaiki dan menyelamatkan dirinya sendiri maupun dunia.

Ummat Islam di Indonesia, di seluruh muka bumi, hari-hari ini sedang hamil amat tua. Mereka bukan hanya sibuk mempersiapkan kelahiran barunya atau siap menjadi ‘dukun’ bagi bayi sejarah baru ummat manusia: air kakang kawah itu sudah mulai mengalir membasahi beberapa tempat di muka bumi, sehingga tidak mengenakkan beberapa ‘orang tua’ penghuni dan penguasa sejarah yang mau tidak mau memang sudah semakin udzur dan undur. Islam tampaknya akan semakin merupakan pemimpin alternatif bagi sejarah dunia manusia.

‘Kakang Kawah’ itu bahkan tidak akan pernah mengenakkan bagi ‘Ibu’nya sendiri. Kaum Muslimin merasa jengkel dan curiga terhadap “aliran air yang mengakibatkan risih di selangkangan” yakni gerak-gerak yang mengejutkan, gejala atau kecenderungan yang muncul dari kalangan sendiri. Tentulah proses melahirkan selalu merupakan periode paling sakit dari kehidupan. Sudah pasti tidak semua Kaum Muslimin menyadari bahwa mereka sedang hendak menjadi Ibu, namun bahkan bisa tanpa kesadaran yang penuh: ‘bayi’ itu akan sungguh-sungguh lahir.

Makin jelas bahwa Kaum Muslimin menggerakkan dirinya dari posisi Muslimin-Ban yang selalu dikalahkan dan dijadikan objek dari Muslimin-Bin yang selalu dibawahi dan dikendalikan, menuju posisi Muslimin-Bun yang mulai berusaha menjadi fa’il, subjek, pelaku dari setiap langkahnya sendiri. Untuk peristiwa pergeseran itu mereka kini ibarat motor yang sibuk turun mesin, ibarat badan cuci darah serta jiwa yang suci batin.

Islam-defensif itu kini sedang merubah dirinya menjadi Islam-inisiatif tentu saja bukan watak hikmah wa al-mauʻizhah hasanah Islam untuk bernama Islam-ofensif. Namun apa gerangan itu?

Mungkin sedang dirintis suatu sikap baru dalam memeluk Islam. Mencari cara mencintai Islam secara lebih tepat. Mencari budaya etos baru di dalam meng-Islam. Mungkin dari pemeluk Islam dengan budaya teologi menuju budaya kehidupan atau budaya kasih sayang. Agama dengan budaya fiqih menuju budaya syariah-muamalah. Budaya intuitif menuju budaya nalar. Budaya spontanitas menuju budaya organisatoris. Budaya personal menuju budaya sistemik. Atau memperkembangkan budaya substansial dengan budaya metodologis. Juga kita saksikan betapa budaya distribusi semakin gencar mengkritik budaya monopoli dan akumulasi, sementara budaya kalah-menang, budaya superioritas-inferioritas akan semakin ‘ditonjok’ oleh budaya fastabiq al-khairat.

Kalau Kaum Muslimin menjadi Imam Dunia (“najʻaluhum aimmah” kata Allah), mereka bukan menguasai, melainkan memimpin. Jauh, sungguh jauh jarak makna dan jarak pola pewujudan antara ‘kekuasaan’ dengan ‘kepemimpinan’. Seperti kelompok masyarakat Amatoa yang menguji kepemimpinan calon Kepala Suku mereka: ‘komunitas’ tawon, lebah, digiring untuk menyerbunya. Kalang sang calon terluka, maka berarti ia tak akan mampu memimpin lebah (: alam). Kalau lebahnya yang mati sesudah menyengat, berarti ia destruktif kepada yang ia pimpin. Maka pemimpin adalah seseorang dalam demokrasi ‘kosmis’ yang tidak sekedar memberi wewenang kedaulatan hanya kepada makhluk manusia yang tidak melukai dan mampu terlukai.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang