Religiusitas Sebagai Inti Kualitas Hidup Manusia

210 2 0
                                    

Religiusitas ialah rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak.

Sesuatu yang abstrak ialah yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa dan hati. Ia abstrak, tapi ada secara amat riil, sehingga justru terasa paling konkret. Kita tahu dan merasa bahwa ia ada, tetapi kita hanya mampu merindukannya. Sering kita merasa mampu menyentuhnya, tetapi itu sebenarnya hanyalah ujung jangkauan rohani kita. Seperti langit, ia hanyalah batas pandangan indera mata kita. Ia sebenarnya berada di luar semesta di mana kita berada. Atau justru bagaikan ada di sisi kita, bersama kita, di dalam diri kita, tetapi gagal kita memegangnya. Apa yang pernah kita pikirkan, kita rasakan dan per->hati>-kan, sebenarnya bukan ia, melainkan hanya 'bahasa ' kita tentangnya.

Kita tak mampu merumuskannya, kecuali bahwa Ia berada tak di mana-mana, atau sekaligus berada di mana-mana. Ia seperti duduk bersila nun jauh di sana tak terhingga, tersenyum atau geleng-geleng kepala memandangi kita. Tetapi, ia berada juga di sekitar kita, di antara kehidupan sehari-hari, di antara benda-benda dan peristiwa-peristiwa. Segala sesuatu yang berada di sekeliling kita ini, bahkan ada yang berada di dalam tubuh dan jiwa kita, banyak sekali mengandung sesuatu yang tak tertangkap oleh pikiran, rasa dan hati kita. Sekaligus ia juga berada di luar semesta di mana kita berada, tetapi tidak secara kosmos. Sebab ia bukan kosmos. Ia bukan dari segala bukan. Ia bukan berada di luar semesta bintang-bintang atau di ruang yang lebih kecil dari atom, melainkan berada di mana saja yang kita tak mengerti. Ia berada di luar sistem fisika maupun metafisika serta segala sistem yang mampu kita bayangkan. Atau ia ada dalam dimensi dari sistem fisika belaka, tetapi yang tak mampu kita raba. Ia bagaikan meludah saja, dan semesta inilah air ludahnya. Tetapi, pasti ia tak terumuskan oleh bahasa, tak terucapkan oleh apa saja.

Pada suatu hari ini sesuatu itu menjawab kerinduan kita, dan tangan kita menggenggam wujud jawaban itu. Maka, kerinduan dan mengejawantah menjadi sesuatu yang konkret menurut pengetahuan manusia. Tapi, esok pagi, atau beberapa detik saja sesudah jawaban itu. Ia menimpakan kepada kita kerinduan demi kerinduan yang baru lagi.

Ia bagaikan bayangan yang berkelebat saja di batin kita

Pada suatu hari istri Anda sakit keras. Kita harus membawanya ke rumah sakit yang pasti akan menodong ongkos uang kita. Pelbagai usaha kita tempuh untuk mencari bayaran itu, tapi tak berhasil juga. Pada saat itulah kita merasa rindu kepada sesuatu itu. Kemudian ketika muncul pertolongan, mendadak kita pun sadar bahwa Ia-lah yang sedang menjawab kerinduan kita.

Siapakah Ia?

Tuhan. Demikian kita sering menyebut namanya.

Putra pertama Anda lahir ke dunia pada dini hari yang bening dan sejuk. Tanpa sadar Anda memejamkan mata sesaat. Anda ditempa rasa rindu yang sangat terhadap sesuatu yang melahirkan anak Anda itu lewat rahim istri Anda. Oleh siapakah nyawa bayi itu ditiup jika tidak oleh-Nya? Bagaimanakah alam semesta bisa tercipta dan kebudayaan manusia bisa dilangsungkan jika tanpa tangan sesuatu itu di belakangnya?

Kita sering menyebutnya bahwa itu hukum alam yang terjadi dengan sendirinya

Apakah yang dinamakan 'hukum alam', dan apakah esensi kata 'dengan sendirinya'? Kita yang makin cerdas dan bernalar memahami dan menerima hal itu sebagai sesuatu yang masuk nalar, tetapi dengan cara pemahaman yang tidak masuk nalar. Bukti-bukti hidup kita mencerminkan bahwa kita cenderung hanya menerima segala hal yang rasional, tetapi dengan diam-diam kita memanfaatkan peran sesuatu yang irasional.

Kita dilahirkan, dibesarkan, bertemu jodoh, berumah tangga beranak cucu dan kemudian sampai kepada ajal yang bakal membawa kita entah ke mana. Semua itu tidak karena kita. Kita sekadar diadakan, sekadar bertugas menjalankan apa yang dianugerahkan.

Siapakah di antara manusia di muka bumi ini yang naluri murninya tidak merasakan esensi ini? Apakah ia seorang marxis atau seorang humanis saja pun. Tetapi, memang tidak semua memelihara dan mengemban rasa dan kesadaran ini, sehingga kualitas kemakhlukannya menjauhi harkat sejatinya. Tidak semua kita berproses sungguh-sungguh mencari dan menemukan jabaran dari pemeliharaan dan pengembangan rasa kesadaran itu melalui problem sehari-hari kita, melalui rumah kita, beras kita, profesi kita, peluang-peluang hidup kita.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang