Tanah Halal Air Halal

119 2 0
                                    

Baru saja aku meletakkan badan, di suatu dini hari, tiba-tiba segaris cahaya lurus menembus atap bilikku, meluncur ke bawah bagai anak panah milik Malaikat Syakhlatus Syams, meledak tepat di sisi kepalaku.

Aku sangat kaget. Tetapi, karena kehidupanku di negeri ini senantiasa ditemani oleh kaget demi kaget dari hari ke hari, maka aku tak acuh tak acuh saja.

Aku digertak!

Dan kali ini tak bisa lagi kusembunyikan kekagetanku, tetapi sesaat kemudian kuusir lagi rasa kaget itu, dan aku tertawa terbahak-bahak meskipun hatiku merasa agak jengkel.

Yang datang adalah, seperti biasa: Kiai Sudrun.

Kali ini penampilannya agak rapi. Pakai serban, semacam jubah atau mantel putih panjang bak Superman. Terompahnya bertali, diikatkan ke kedua kakinya. Bahkan agak romantis: di atas daun telinganya ia selipkan semacam kembang, entah apa, berwarna hijau tua.

“Ada apa lagi ini, Kiai?” aku menyapa sambil mempersilakannya duduk.

Kiai Sudrun tersenyum dan tetap berdiri.

“Apakah Kiai akan mengajakku untuk merayakan peristiwa historis yakni bersalamannya telapak tangan Pak Harto dengan Gus Dur?”

Wajah Kiai Sudrun tidak menunjukkan reaksi apa-apa.

Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Tetapi diurungkannya dan ia nyeletuk:

“Ah, enggak usah aja deh…”

“Ada apa Kiai?” saya bertanya.

“Sebenarnya saya sudah bikinkan kacamata baru untuk Gus Dur, karena kacamatanya yang sekarang mungkin sudak agak aus lensanya.”

“Maaf, Kiai,” saya merespons, “saya bukan ahli optik, jadi tidak paham apa-apa mengenai kacamata. Tapi kalau kedatangan Kiai ke sini malam ini dalam rangka siap-siap menghadiri pelantikan Pangab yang baru, saya boleh ikut dong?”

Tiba-tiba, entah bagaimana ceritanya, saya sudah tidak lagi berada di bilik, melainkan melayang-layang entah di mana.

“Kiai bawa ke mana aku ini!” aku berteriak.

Tanganku berpegangan di kibaran serbannya. Kiai Sudrun terbang melesat menembus, melewati dan melampaui galaksi-galaksi ruang dan waktu.

“Kiai! Kiai!” aku meronta-ronta, “jangan terbangkan aku terlalu jauh. Pagi ini aku harus menulis teks untuk pementasan di Aryaduta Jakarta…”

Terdengar suara tertawa keras Kiai Sudrun. Ia kemudian bertengger di semacam tempat, namun sebenarnya bukan tempat. Aku lepaskan tangan dari serbannya. Kami duduk.

“Aku heran kau masih saja kerasan bersibuk-sibuk dengan masa silam,” katanya, meneruskan pembicaraan.

“Masa silam bagaimana Kiai?” aku membantah, “ini pementasan justru untuk merintis masa depan. Kami dari Yogya mangayibagya gerakan kaum Muslimin progresif yang berupaya menghalalkan konsumsi umat manusia di dunia!”

“Apa yang mereka konsumsikan selama ini masih haram?” Kiai Sudrun bertanya.

“Ada sebagian yang jelas halal. Sebagian lain makruh. Sebagian lagi haram. Tapi yang paling banyak adalah yang tidak jelas halal haramnya.”

“Astaga! Aneh benar!”

“Kenapa aneh, Kiai?”

“Abad 20 adalah abad puncak ilmu pengetahuan, abad kulminasi kecerdasan dan ketajaman otak. Bagaimana mungkin produk utama mereka adalah ketidakjelasan?”

Sekarang ganti aku yang tertawa, “Mungkin karena akal Kiai memang kurang cerdas,” kataku.

Kiai Sudrun nyengir. “Kurang cerdas bagaimana?”

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang