Dalam diskusi di sebuah universitas, seorang pemrasaran tamu mengemukakan pikirannya dengan berapi-api. "Saudara-saudara, siapakah gerangan makhluk yang bernama universitas? Ialah gudang pemberitahuan yang serbaragam tentang segala persoalan, yang mampu memilah-milahkan bagian-bagian sekaligus menyodorkan keseluruhan, yang siap memperdalam spesialisasinya sekaligus memperluas cakrawalanya.
Siapa universitas? Yaitu, komunitas unggul yanh tidak pernah sedetik pun terpisah dari lingkungan. Ialah para dosen yang tidak punya waktu untuk mandek mengamati gerak zaman, yang tak punya alasan mapan dan jumud, yang tidak memiliki peluang sedikit pun untuk tidak melihat persoalan di sekelilingnya.
Siapa universitas? Ialah mata bayi, yang bening dan jujur menatap setiap kebenaran dari kenyataan. Ialah mata orang dewasa yang tegar, yang selalu dipertahankan untuk tidak terkatup kelopaknya, agar tetap menjadi sahabat setia dari nilai kebenaran, betapapun menyakitkan. Ialah mata orang tua yang bijak, yang sesudah mengalami beban dan ranjau sepanjang jalan menjumpai bahwa kebenaran saja yang layak dipertahankan.
Siapa universitas? Yaitu, kertas-kertas tulisan yang tersusun di atas timbangan yang adil, yang setia mengemban idealisme intelektualnya, yang senantiasa hampir berhasil mengatasi godaan untuk menyembunyikan kebenaran dan manipulasi kenyataan.
Siapa universitas? Ialah mahasiswa-mahasiswi yang melahap persediaan informasi, yang senantiasa berusaha menemukan ilmu alam semesta dan ilmu kehidupan yang mengaturnya lewat mulut informasi yang melimpah persediaannya. Ialah para kader yang lebih mengutamakan pengolahan informasi dibanding dengan konsumsi-konsumsi superfisial yang ampuh daya rangsangnya. Ialah anak bangsa yang menginsafi dirinya sebagai pemegang amanah kewajiban pendidikan masyarakatnya, agar hari depan yang cemerlang tidak lolos dari genggaman. Ialah mandataris dan pemegang toga yang agung, tingkah laku yang penuh kecerdasan, gengsi, prestise, mitos-mitos tentang cahaya surya hari depan ...."
Ia mengusap busa di bibirnya dan melanjutkan, "Tetapi yang terjadi agak berbeda. Kutu-kutu lebih rajin membaca buku dibanding dengan mahasiswa, juga dosen-dosennya. Perpustakaan bekerja amat santai, bahkan ada hari ketika perpustakaan menganggur sama sekali. Mahasiswa hanya konsumen komoditas eceran di pasaran ilmu. Waktu ke pasar mereka cukup membawa kantung telinga, otaknya disimpan dalam almari besi.
Mereka menjadi tumpukan kertas di mesin cetak, onderdil yang ditumpuk dalam tabung-tabung, diberi minyak pelumas untuk suatu saat siap pakai di mesin-mesin birokrasi. Mereka menjadi korban: begitu banyak yang tidak mencintai universitasnya, kecuali nama dan ijazah yang diberikannya. Begitu banyak yang telah tereduksi cakrawala kemungkinannya, terbingkai olah kreatifnya, terkapar menjadi suku cadang baling-baling raksasa yang tidak mereka pahami makhluk apa gerangan itu.
Begitu banyak yang mengubah kodratnya dari Beras Rajalele menjadi Beras PB. Begitu banyak yang terlalu merelakan diri dipegang, diarahkan, dan dibina oleh elite di luar dirinya. Begitu banyak yang akhirnya memutuskan bagaimana bisa menjadi bagian elite itu. Begitu banyak terdorong untuk berbuat tidak adil!"
Seorang mahasiswa tak lagi bisa menahan kemarahannya. Ia berdiri. "Cukup! Harap Saudara hentikan permainan kata-kata yang hanya mengandalkan retorika itu. Yang Saudara kemukakan itu tidak mempunyai kredibilitas ilmiah. Sebagai referensi amat lemah karena tidak ada literatur yang jelas yang menjadi sumber kutipan. Kesimpulan tidak didasari data yang konkret. Tidak bisa dipertanggungjawabkan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AcakSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...