Sobirin terperosok masuk sumur. Lebih akurat rasa bahasanya dalam Jawa: kejegur atau kejebur sumur. Bahasa Indonesia mengadaptasinya menjadi ”tercebur”, tapi secara tata bahasa itu dipaksakan.
Alhasil, Pak Sobirin harus ditolong, para tetangga beramai-ramai mengupayakan berbagai cara untuk mengentaskan beliau dari dasar sumur yang sangat dalam itu. Ributlah seluruh kampung siang itu. Tetapi itu tak cukup. Ada keributan yang lain. Di beberapa rumah berlangsung juga keriuhan banyak orang karena rumah-rumah itu adalah posko tim sukses beberapa calon lurah. Keributan di sumur Sobirin bahkan sebenarnya dikalahkan oleh riuh rendah posko-posko.
Bahkan ketika orang-orang di sekitar sumur ribut panik dan teriak satu sama lain untuk menolong Sobirin, lewatlah rombongan kampanye calon lurah. Sungguh dinamis dan hangat suasana demokrasi di kampung itu. Yang segerombolan sibuk mengerjakan tugas kemanusiaan menolong orang tercebur sumur, sejumlah rombongan lain sibuk membangun desa, meneriakkan yelyel, memasang dan membawa gambar-gambar besar wajah-wajah calon lurah. Benar-benar terjadi apa yang Muhammadiyah sering pakai dari Alquran, fastabiqul khoirot: berlomba-lomba menjalankan kebaikan.
Yang satu mengerjakan pertolongan, lainnya mengerjakan pembangunan: visi, misi, konsep pembangunan desa, perspektif ke depan, dengan slogan-slogan yang penuh optimisme.
Berlangsunglah apa yang Tuhan sudah firmankan, ”Innallaha maʻa ash-shabirin (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar)”. Siang itu penduduk menafsirkan bahwa ayat itu berlangsung lebih akurat. Bukan hanya shabirin, orang-orang sabar yang disayang Tuhan, tapi benar-benar Tuhan menyelamatkan Sobirin dari kematian di dasar sumur yang dalam.
Nyata di depan mata, betapa Tuhan ada bersama Sobirin. Adapun para calon lurah beserta tim sukses dan komunitas pendukungnya tidak perlu ikut melakukan pekerjaan kecil dan lokal menyelamatkan Sobirin. Sebab mereka bertugas di wilayah yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih jauh ke depan.
Mereka agent of change. Mereka pemegang tongkat zaman. Mereka penentu masa depan seluruh kampung. Itu division of labour yang rasional: satu kelompok melaksanakan pekerjaan-pekerjaan lokal kecil dan remeh seperti menolong Sobirin, kelompok lain melaksanakan pekerjaan-pekerjaan regional, nasional, internasional, global.
Saya ketemu Sobirin-Sobirin dari Sidoardjo, Surabaya, Cilegon, dan lain-lain, serta dipangguli mandat amanat untuk mensupport proses mengentaskan kaum Sobirin dari dasar sumur penderitaan, kesengsaraan, kebuntuan, dan terus terang saja: keputusasaan.
Di Jawa Timur saya berbagi tugas dengan Karwo, Naryo, Ahmadi, Haris Sudarno, mungkin Saifullah Yusuf. Mereka memegang kendali konteks-konteks makro dan rancangan pembangunan regional lima tahun ke depan. Saya bagian mengupayakan dadung (tali tampar) untuk memungkinkan Ashabus-Shobirin keluar dari sumur. Gambar sangat besar wajah-wajah mereka dipasang di ribuan perempatan jalan dan tempat-tempat strategis untuk menyebarkan kesadaran kepada seluruh masyarakat, betapa pentingnya berpikir ke depan, untuk jangka panjang. Betapa pentingnya kebersamaan, persatuan, dan kesatuan untuk membangun provinsi.
Betapa urgennya keteladanan kepemimpinan, dan mereka tampil sebagai uswatun hasanah, teladan yang baik. Slogan-slogan yang menyertai gambar wajah-wajah mereka mencerminkan tinggi dan cerdasnya visi misi mereka ke depan demi kepentingan seluruh rakyat.
Para petugas di lapisan rakyat kecil, termasuk kasus Sobirin tercebur sumur, mohon maaf kepada seluruh kalangan bahwa tatkala sibuk menolongnya, semua orang yang terlibat tak ada yang ingat untuk membawa tustel, sehingga tak ada dokumentasi foto wajah Sobirin ketika ketakutan dan kesakitan di dasar sumur.
Oleh kealpaan itu, tidak bisalah didirikan baliho atau spanduk-spanduk dengan wajah Sobirin. Juga andaipun ada fotonya, mereka para penolong Sobirin tak punya biaya untuk membayar digital print-out gede-gede wajah Sobirin. Energi rakyat kecil terbatas dan kecerdasannya rendah. Setengah mati mereka menolong Sobirin, setelah itu kepala terasa kosong, tak mampu memikirkan apa-apa lagi. Sobirin bisa diselamatkan dari dasar sumur saja sudah merupakan rezeki tak terkirakan.
Perkara pilkades, pilkada, pilpres tahun 2009 nanti—itu membutuhkan pelaku-pelaku dengan tingkat kecerdasan intelektual tinggi, bahkan kecerdasan spiritual, juga mentalitas yang tangguh. Pak lurah lama maupun yang calon rata-rata mentalnya sangat tangguh. Keributan orang menolong Sobirin tidak membuatnya goyah, sehingga dia dengan konstituennya terus kampanye tanpa terpengaruh kejadian di sumur. Bahkan Pak Lurah, ketika anaknya masih opname di rumah sakit, dia tetap dengan mental baja melakukan acara lamaran kepada calon istri kedua.
Di seluruh negara ini makin banyak manusia-manusia bermental tangguh yang berpikir dan berlaku efektif ke suatu tujuan. Apa saja landasan berpikirnya adalah 2009, pilkades, pilkada, pilpres. Mereka meludah dengan pertimbangan 2009. Buang angin dengan orientasi pencitraan 2009. Melihat dan menangani masalah apa pun selalu ”istiqamah” untuk orientasi 2009.
Seputar Indonesia, 14 Desember 2007
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...