Kali ini saya menulis tentang sejumlah kelemahan pribadi saya. Ini saya pandang perlu, karena prinsip kebersamaan hidup di antara manusia adalah keharusan untuk saling menyelamatkan. Dan dengan mengungkapkan kelemahan pribadi saya ini, saya berharap orang memahaminya kemudian menghindarkan dirinya masing-masing dari keadaan seperti yang ada pada saya. Kalau tak saya ungkapkan, maka saya bisa akan menjerumuskan.
Kalau dipikir-pikir, saya ini tidak tergolong pribadi yang mandiri. Saya tidak termasuk manusia modern yang merdeka, yang independen dan profesional, yang bergerak karena ingin bergerak, yang melakukan sesuatu karena sadar untuk memilih sesuatu itu dan mengerti segala sesuatunya, termasuk risikonya.
Sangat banyak hal telah dan sedang saya lakukan, namun sangat sedikit di antara hal-hal itu yang memang benar-benar merupakan keinginan saya, konsep saya, target saya atau buah kemerdekaan pribadi saya. Kecuali yang menyangkut jenis pakaian, selera makan atau hal-hal kecil lain, saya lihat-lihat kok sebenarnya bukan aktualisasi dari kemerdekaan pribadi saya.
Bidang-bidang pekerjaan yang saya lakukan yang berkaitan dengan masalah sosial masyarakat, politik, keagamaan, pemberdayaan ekonomi atau kesenian—yang selama ini menghabiskan hampir semua waktu dan tenaga saya—rasa-rasanya kok pada umumnya bukan wujud inisiatif saya sendiri.
Ternyata saya ini seorang budak. Seorang pesuruh. Seorang pekerja pesanan.
Seorang khadim yang hampir tidak memiliki kebebasan pribadi.
Misalnya saya banyak menulis sesuatu kemudian akhirnya terbit menjadi berpuluh-puluh buku—saya lihat-lihat itu sesungguhnya adalah pekerjaan suruhan. Mungkin saja yang menyuruh adalah Tuhan, karena memang Dia yang menciptakan saya dan hanya Dia satu-satunya yang berhak menyuruh saya.
Tapi kalau saya bilang bahwa semua yang saya kerjakan ini adalah atas suruhan atau perintah Tuhan, tentu saya jadi tampak mbagusi dan berlagak seperti Nabi atau Rasul. Jadi kita katakan saja yang menyuruh saya mungkin adalah teman-teman saya, mungkin satu dua koran dan majalah, mungkin sejumlah orang, mungkin sebagian masyarakat—melalui ratusan surat-surat yang mengeluhkan berbagai problem.
Misalkan Anda menampung anak-anak muda untuk Anda bikinkan badan usaha sehingga mereka bisa cari nafkah. Misalkan Anda mendirikan gedung-gedung sekolah dan pesantren, menampung anak-anak yatim, membuat yayasan-yayasan pemberdayaan, atau mungkin juga mini-bank tanpa bunga untuk tetangga-tetangga sekitar, termasuk bikin pengajian dengan belasan ribu jamaah, dan lain sebagainya. Saya yakin Anda lakukan itu karena kesadaran Anda atas prinsip-prinsip moral dan pemahaman Anda mengenai banyaknya anggota masyarakat yang memerlukan hal-hal semacam itu.
Tapi kalau saya yang mendirikan upaya-upaya seperti itu, ternyata bukan karena kemerdekaan pribadi saya, melainkan karena saya disuruh. Saya mungkin suatu jenis makhluk yang lahir ke dunia untuk tidur, meskipun kemudian terpaksa jarang dan sangat sedikit tidur karena disuruh orang lain untuk melakukan hal-hal yang ia sendiri tak pernah menginginkannya.
Barusan saya menyelesaikan 71 halaman naskah drama untuk “Gelar Budaya Rakyat” dalam rangka ulang tahun Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertemakan “Pemimpin itu Harus Bagaimana”. Ketika pekerjaan itu saya selesaikan, saya baru sadar bahwa saya benar-benar orang suruhan.
Saya disuruh menulis naskah oleh para pemain drama yang berkumpul, karena memang hampir mustahil mereka temukan orang lain yang bisa disuruh seperti saya.
Itupun saya menulis tidak dengan kemerdekaan. Temanya sudah ada terlebih dulu. Semua alur, adegan dan dialognya tidak bebas saya tuliskan, melainkan harus saya sesuaikan dengan jumlah pemain, kapasitas mereka yang berbeda-beda, serta berbagai kemungkinan artistik yang berpedoman pada komposisi para pemain dan sutradara yang ada. Jadi saya sama sekali bukan penulis yang merdeka.
Dan tatkala kemudian saya lihat-lihat apa yang saya kerjakan selama hidup saya, umpamanya dalam hal yang bersentuhan dengan dunia kesenian—ternyata memang sama sekali bukan hasil kemerdekaan pribadi saya. Bukan kreativitas murni saya. Bukan keinginan dan karier saya. Hampir semuanya pesanan, hampir semuanya hasil suruhan.
Diam-diam keadaan itu membuat saya menjadi bahan tertawaan banyak kawan-kawan. Tapi alhamdulillah mereka punya rasa pakewuh dan sisa rasa sayang kepada saya sebagai manusia, sehingga saya tidak diejek semena-mena. Kalau ada festival, perlombaan, konstelasi, kompetisi dlsb, saya tentu saja tidak akan pernah bisa masuk—tetapi ternyata diam-diam saya dilibatkan di dalamnya—meskipun sekadar sebagai bahan olok-olokan.
Misalnya saya disuruh membagi-bagikan nasi kepada sejumlah orang yang pada suatu siang memang sangat membutuhkan nasi. Pada saat itu ada acara Festival Nasi Tumpeng, di mana setiap unsur nasi dan lauk di setiap tumpeng dinilai berdasarkan ideologi estetika tumpeng. Kemudian karena kebetulan sejumlah orang yang saya kasih nasi itu sedang nonton festival nasi tumpeng—teman-teman menyangka saya juga sedang berpartisipasi dalam festival tersebut.
Padahal saya tidak pernah punya urusan dengan festival, dan nasi yang saya masak hanya saya orientasikan untuk orang lapar yang sedang memerlukannya.
Sementara orang yang sibuk berfestival pastilah tidak punya problem lapar nasi.
Sekarang saya mulai tahu bahwa saya memang tidak profesional. Tidak modern dan tidak independen. Sekarang saya mulai sadar kenapa selama ini apa yang saya kerjakan kok tidak laku, sulit, dan payah.
Susahnya saya sudah terlalu tua untuk mengubah diri, sehingga saya amat pesimistis bahwa saya akan mengubah diri dari tradisionalisme dan konservatisme yang membuat saya akan digilas zaman ini. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AcakSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...