Politik Cakruk Episode II

28 1 0
                                    

Di Pondok Modern Gontor, ada dua wilayah kepemimpinan. Yang pertama kepemimpinan hati, kedua kepemimpinan akal. Yang satu kepemimpinan nurani, lainnya kepemimpinan intelektual.

Dulu zaman saya nyantri di sana, yang pertama direpresentasikan oleh KH Achmad Sahal, yang kedua oleh KH Imam Zarkasyi. Sekarang, kepemimpinan hati atau nurani terletak di keteduhan KH Hasan Sahal, yang kepemimpinan intelektual digenggam oleh KH Syukri Zarkasyi. Yang satu rohaniah dan kultural, lainnya organisasional sistemik.

Ada semacam persaingan di antara mereka. Ada juga romantika kecemburuan, sedikit konflik atau terkadang situasi-situasi “love hate relationship” yang manusiawi. Tapi persaingan mereka tidak berwatak “kawan dan lawan”“kami dan mereka” melainkan bernuansa fastabiq al-khairat. Bersaing, berlomba, dan berpacu dalam memperluas kebaikan dan mempertinggi fadhilah, ma’unah dan karamah.

Kalau saya diminta untuk datang, persentuhan saya tentu dengan badan kepemimpinan yang kedua. Jadi bisa terseret untuk lebih akrab dengan ‘sayap’ ustadz Syukri. Nanti saya tak boleh abai untuk juga berakraban dengan ustadz Hasan. Bahkan saya juga akrab dengan ‘sempalan’ paranormal ustadz Abbas. Pun seandainya ada waktu, pasti saya juga akan akrabi ‘sayap-sayap’ yang lain: nostalgia dengan kubu Pak Miran, Pak Gudel, Pak Carik, ‘kubu’ Warok dan Pande Besi, atau apa saja dan siapa saja. Ya di Gontor, Gandu, Malo, Mlarak, termasuk hantu legendaris ‘Si Kaki Tiga’.

Keakraban kemanusiaan ke semua pihak di Gontor itu tidak melahirkan julukan bagi saya, misalnya pro-Syukri, pro-Abbas, pro-Gudel, atau pro-Hantu Kaki Tiga.

Mental politik cakruk tidak menggebu-gebu di Gontor sebagaimana yang saya jumpai dalam prikisme perpolitikan kota-kota besar.

Kota besar itu koin antara kedewasaan dan kekerdilan sekaligus. Koin antara kosmopolitanisme dan ultraprimordialisme sekaligus. Kota besar di Indonesia, karena metode dan mekanisme transformasi nilai-nilainya serba tanggung—akhirnya melahirkan sifat kekanak-kanakan global yang lebih dahsyat dibanding segala sifat kekanak-kanakan yang pernah ada di muka bumi.

Kota besar melahirkan aktivis-aktivis yang sangat canggih pemikiran dan ideologinya, namun sangat kerdil aktualisasi watak dan perilakunya. Kalau diterapkan teori “Negara dan Rakyat”, maka kalau Anda tampak sering bersama rakyat Anda disimpulkan sebagai antinegara. Sebaliknya sekali saja ngobrol dengan Pak Pemerintah di cakruk atau di warung, Anda akan dicurigai sebagai pro-negara.

Kalau sekali saja Anda tampak bercengkerama dengan kelompok Tony, golongan Bony akan gelisah dan tersakiti hatinya. Sebaliknya kalau Anda sekali waktu guyon sama Bony, orang-orangnya Tony mencatat Anda sebagai orangnya Bony. Lebih gawat lagi gara-gara pertemuan dengan Tony, lantas anak buah Tony langsung menyimpulkan Anda Tony-minded. Juga jika itu terjadi pada Bony.

Penguasa yang menggenggam nasib Anda ada dua, atau bahkan lebih. Kalau Anda mengritik pemerintah, Anda adalah musuh pemerintah. Kalau Anda tidak taat, tidak sepaham, tidak selangkah, tidak setrategi dengan kelompok antipemerintah, maka Anda adalah orangnya pemerintah.

Kesimpulannya gamblang: kalau Anda setuju seseorang atau suatu kelompok, maka Anda baik. Kalau Anda berbeda, Anda tidak baik. Yang punya ‘undang-undang’ macam ini tak hanya pemerintah, tapi juga mereka yang melawan pemerintah.

Tidak ada jalur untuk independensi. Dan jalur politik ini sendiri sangat flat, datar, stereotip, mono-dimensional, dan bermata kuda. Tidak ada ngelmurangkep, tidak ada strategi beyond, tidak ada common intellegence, tidak ada manjing ajur ajer. Setiap orang begitu lemah kepribadiannya: kalau ia masuk air pasti basah, kalau menyentuh api pasti terbakar. Tak ada fenomena kesaktian untuk tidak basah oleh hujan dan tak hangus oleh api. Kalau “Perahu Retak” yang kritik frontal itu tak dilarang, kesimpulan gampangnya begini, “Habisnya Emha memang orangnya pemerintah!” Seolah-olah kalau saya adalah orangnya Bapak saya maka kepala Bapak saya boleh saya jundhu dan aibnya boleh saya tonjok-tonjok.

Aktivis-aktivis hanya siap bermusuhan: aku atau dia, kami atau mereka. Tak ada kulturalisme kita dan spiritualisme manunggal. Hanya siap jadi kawan atau lawan. Itu pun tanggung: mestinya kalau memang musuh, ya musnahkan. Kenapa dipelihara. Adapun saya tidak memusuhi siapa-siapa. ICMI dan NU bukan musuh saya. ABRI warna apapun bukan musuh saya. Militer dan sipil bukan musuh saya. Kapuspen ABRI bukan musuh saya. Orang Katolik bukan musuh saya. Mereka adalah partner untuk bermesraan, berdebat, bersaing, mempergulatkan segala nilai dan mekanisme untuk menuju kebenaran yang sejati.

Jangankan manusia. Iblis dan setan pun kadang-kadang saya merasa kasihan.

Kalau malaikat kan jelas baik dan penghuni utama sorga. Kalau manusia punya kemungkinan: memilih pencahayaan atau penggelapan. Kalau iblis dan setan: sudah telanjur bersumpah untuk buruk, jahat, penjerumus manusia, penghasut, dan menantang api neraka. Ada saat-saat hati kecil iblis dan setan menyesal, karena pada hakekatnya mereka adalah makhluk Allah juga.

Ketika menyesal, mereka menangis—tapi segala sesuatunya sudah telanjur.

Maka dalam suatu pementasan di Gontor, spontan saya minta Kyai Hasan Sahal maju ke depan. Spontan beliau baca puisi karangan mendadak. Spontan teman-teman Kyai Kanjeng mengiringi dengan musik. Selesai baca saja, saya hampiri beliau, saya rangkul pundaknya, saya tahan jangan turun panggung dulu. Mikropon saya ambil, saya baca shalawat nabi, pada kalimat ketiga mikropon saya sodorkan ke depan bibir Pak Kyai, dan begitu beliau meneruskan shalawat—saya loncat lari dari panggung. Mau tak mau beliau meneruskan dengan segala improvisasinya yang semakin lama semakin matang.

Kyai Syukri bertepuk tangan, dan semua ‘warganegara’ Gontor tidak menuduh saya ‘pro Hasan’ dan ‘anti-Syukri’. Mereka rileks. Hati mereka jembar.

Otak mereka tidak dilendiri oleh prejudis dan prasangka. []

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang